Kamis, 18 Desember 2014

"Gula"

Gula identik dengan rasa manis. Kemanisannya mengundang selera semut untuk datang mengerumuninya, merasakan, dan memakannya sampai habis. Namun, bagi sebagian orang, gula menjadi bencana bagi hidupnya. Mereka menganggap gula sebagai malapetaka bagi kesehatannya. Dan akhirnya, mereka-mereka ini "mengutuk" gula sebagai sumber penyakit. Padahal.... yang salah adalah dirinya sendiri yang kurang mampu mengendalikan nafsunya. hahahaa... Kita sebagai orang beriman akan Yesus Kristus sering berpandangan dan berpikiran yang sama seperti di atas. Misalnya, ketika gagal, sakit, atau mengalami hal-hal yang kurang menyenangkan, kita menganggap Tuhan Yesus tidak peduli dan meninggalkan kita. Ia membiarkan kita sendirian. Menderita. Kesakitan, dan seterusnya. Kita dengan sangat cepat dan lincah mengalihkan penyebab-penyebab kegagalan dsj kepada yang ada di luar kita. hahhaaa.. Benarkah sikap yang demikian? Sebagai orang beriman, tentu sikap dan cara kita berpikir demikian sangatlah keliru. Karena jika demikian, kita menjadi pribadi-pribadi yang "lempar batu sembunyi tangan", "tong kosong nyaring bunyinya", dan "gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman diseberang lautan tampak". Tuhan Yesus mengajari dan mengingatkan kita bahwa "diri kita adalah bait kediaman Roh Kudus. Mesbah Allah. Gambar Allah yang nyata dalam dunia." Karena itu, kita mesti menjalani hidup ini menurut cara, jalan, dan cahaya Allah yang senantiasa mengantar dan menunjukkan yang baik kepada kita. Kita hidup menurut cara Allah, bukan menurut cara yang kita ingini. Kita menziarahi hidup ini bersama Allah dan merencanakan masa depan kita juga bersama Allah. Jangan "habis manis sepah dibuang". Kalau gagal kita salahkan Allah (dan orang lain). Tetapi kalo sukses, kita dengan angkuh mengaku bahwa itu murni kerja keras kita...... Akhirnya "hiduplah dalam Allah, bersama Allah, dan bagi Allah", maka hidup kita akan bahagia .... Jadikan hidup kita seperti gula, yang menarik, dicintai, dan dinantikan kehadirannya .... God bless you....

Jumat, 04 Oktober 2013

Meniti Tugas Perutusan

Tugas perutusan kita lahir ke dunia ini adalah mewujudnyatakan "wajah" Allah yang mahamurah, mahacinta, mahakasih, dan maharahim. Melalui kehadiran kita yang menyenangkan, membahagiakan, dan menginspirasi, sesama dapat mengalami kehadiran Allah. Tuhan Yesus ketika mengutus para murid-Nya menegaskan bahwa tugas perutusan kita sebagai murid-murid-Nya adalah "mewartakan damai sejahtera kepada setiap orang" dan "menyembuhkan orang-orang sakit yang dijumpai di tempat perutusan." Dalam menjalankan tugas perutusan itu, Yesus menegaskan: "jangan membawa pundi-pundi atau barang atau bekal atau kasut...tetapi makan dan minumlah apa yang disiapkan oleh tuan rumah." Tugas perutusan membutuhkan kejernihan hati dan kesederhanaan untuk membiarkan diri dikuatkan dan dikuasai oleh kekuatan Allah.

Kamis, 03 Oktober 2013

Kekekalan

Ketika Yesus naik ke surga, para murid bengong memandang ke langit. Mungkin dalam hati mereka menyimpan seribu macam rasa yang akan dihadapinya. Perasaan pertama , rasa takut mendalam. Takut akan ancaman orang-orang yang membenci mereka. Takut mereka mengalami nasib yang sama dengan gurunya: disiksa, dianiaya, di salib. Perasaan kedua , bagaimana janji akan datangnya Roh Penghibur dapat dipenuhi, sementara Yesus pergi meninggalkan mereka. "jangan-jangan, apa yang diucapkan Yesus adalah janji kosong, sekedar hanya menghibur mereka sesaat." Perasaan yang ketiga, seperti apa Roh Kudus itu? Roh Penghibur yang dijanjikan Yesus itu sungguh diluar daya jangkauan pikiran mereka. Seperti apa itu? Seperti apa wujud fisiknya? Apakah Roh itu nanti mampu menjaga dan melindungi mereka? Pertanyaan-pertanyaan itu merupakan reaksi/tanggapan manusiawi yang normal akan sesuatu yang misteri. Yesus dengan tegas mengatakan kepada para murid-Nya bahwa "Aku akan pergi ke Bapa" dan "Aku akan memberikan Roh Penghibur kepadamu." Pernyataan Yesus ini, bila kita pahami dengan baik, mempertegaskan keyakinan iman kita bahwa: "perpisahan dunia (fisik) adalah pasti, untuk memasuki perjumpaan yang abadi (surgawi, kekal). Perpisahan duniawi bukanlah akhir dari peziarahan hidup manusia, tetapi membuka jalan baru menuju pada kehidupan baru (surgawi)." Perjumpaan surgawi ini tentu akan dapat terealisasikan bila Roh Kudus memiliki ruang dalam hati kita. Kita memberikan ruang seluas-luasnya kepada Roh Kudus untuk membimbing dan menuntun kita pada "Jalan, Kebenaran, dan Hidup."

Selasa, 11 Juni 2013

Ah...

Kehidupan manusia semakin "sulit" dan penuh dengan tantangan. Sulit bukan karena banyak hal yang menyulitkan, tetapi karena manusia menciptakan kesulitannya sendiri. Manusia menciptakan "yang lain" yang menantang dan mengasingkan dirinya dari dunia kehidupannya, sehingga perlahan-lahan manusia tertekan-stress-"mati prematur". Anjurannya: kenalilah dan hormatilah dirimu sebagaimana ia adanya dan berjuanglah bersamanya untuk meraih sukses.....