Kamis, 22 Desember 2011

"Lahir Kembali"

Ada sebuah kisah yang cukup menarik untuk kita renungkan berkaitan dengan "perubahan-pengosongan" diri yang gelap agar "cahaya" kehidupan dapat "menembus" kedalaman hati kita yang penuh dengan "kegelapan." Hati yang gelap ibarat sebuah ruangan yang tidak memiliki jendela, tidak memiliki lampu, dan juga tidak memiliki ventilasi udara. Ia menjadi semacam tempat yang tidak akan ada seorang manusia pun yang ingin menempatinya. Bukan hanya itu, mungkin serangga-serangga yang lain juga tidak tahan tinggal di dalamnya. Di suatu negeri Antaberantah, hiduplah seorang petani yang sangat sederhana. Kesehariannya ia hanya pergi ke sawah, membersihkan ladangnya atau memanen hasil ladangnya. Ia belum mengenal adanya listrik atau apalah namanya yang sudah dipakai oleh orang-orang di kota. Pikirannya lugu dan lurus, tanpa mengenal adanya perumpamaan atau bahasa kiasan. Pada suatu ketika, ia kedatangan seorang tamu dari kota. "Slamat siang, Pak" sapa Jo. "Siang, nak!" jawab Pak tani. "Boleh kita ngobrol-ngobrol sebentar", pinta Jo. "Boleh...", jawab Pak Tani. "Pak, kalau kita ingin meningkatkan kualitas hidup, kita perlu melakukan perubahan-perubahan dalam hidup kita", tutur Jo. "Apa itu, nak?", tanya pak tani. "Bapak harus lahir kembali, supaya menjadi manusia baru....", jawab singkat Jo. "Lo, kamu ini gila apa? Bagaimana saya bisa lahir kembali! Saya sudah setua ini kamu suruh masuk lagi ke rahim perempuan, ya?", sanggah pak tani. "oh... maaf Pak. Bukan itu maksud saya. Tetapi, lahir kembali maksudnya kita perlu merubah cara-cara hidup kita yang lama kepada cara-cara hidup yang baru. misalnya, selama ini bapak hanya memakai lampu semprong untuk penerangan rumah, sekarang perlahan-lahan mulai memakai listrik. Atau biasanya bapak hanya menukar hasil kebun bapak dengan beras atau barang-barang lainnya, sekarang perlahan-lahan bapak bisa menjualnya dan menerima uang. Seperti itu Pak", tutur Jo. "Oh...ho..ho... Nak, Jo, berarti kalau kita ingin hidup lebih baik, berarti kita harus mengubah pikiran kita, cara hidup kita, dan berani menerima perubahan-perubahan hidup", jawab Pak Tani. "Betul, pak. Kebaranian untuk mengubah dan menerima perubahan hidup akan semakin memampukan kita menjalani hidup secara lebih baik. Seperti Gembala yang dengan gembira menerima Kabar Gembira kelahiran Sang Mesias, dan bergegas datang kepada-Nya. Kita perlu memiliki dua sikap ini, yaitu menerima Kabar Gembira Keselamatan dan mau datang kepada Kabar Gembira itu. Dengan itu, Sang gembala menerima kesukaan dan kemuliaan besar", tutur Jo. "Oh...ho.. Terima nak Jo", ungkap Pak Tani. "Sama-sama Pak. Mari kita mengubah sikap kita dengan berani menerima sesuatu yang baik dan berani datang atau melakukan yang baik itu, maka kita akan menerima kebahagiaan dan kemuliaan yang besar....", pesan Jo. Untuk menjadi manusia baru, kita perlu membuka diri terhadap yang baru , yang baik dan membahagiakan, serta berani untuk melakukannya dalam hidup kita. Selamat Natal 2011

Sabtu, 19 November 2011

Hening

Meditasi identik dengan keheningan. Rekoleksi atau retret juga identik dengan keheningan. Bahkan dalam Retret lebih hening lagi, yaitu silentium magnum (berdiam diri seratus persen). Tidak ada suara sedekit pun. Apa tujuannya? untuk menemukan diri yang otentik, tanpa dipengaruhi atau ditopengi oleh hal-hal yang ada diluar diri. Diri yang otentik adalah diri yang sebagaimana adanya. Bukan yang bagimana diadakan. Penemuan diri yang otentik memberikan kekuatan dan keberanian kepada individu untuk juga menemukan panggilan hidupnya yang otentik pula. karena dalam keotentikan itu, diri yang sesungguhnya berinteraksi secara real dengan diri yang bergerak, bekerja, dan berpikir. Disinilah penting kita hening, hening, dan hening. Keheningan diri menuntun diri kita pada ide-ide yang luhur, cemerlang, dan luar biasa. Bukan hanya itu, keheningan juga memampukan kita untuk menemukan kekuatan guna melaksanakan dan merealisasikan ide-ide yang besar itu. Hening, hening, dan heningkanlah hidup kita, agar kita tercerahkan menuju kebesaran...

Senin, 14 November 2011

“Membentuk” Karakter Siswa

Pendahuluan Kita semua (mungkin) sependapat bahwa perubahan zaman yang sangat cepat dan spektakuler telah “menciptakan” dunia sebagai sebuah “panggung pertunjukkan kolosal” yang melibatkan semakin banyak orang sebagai pemain. Namun sayang, sang pemain seringkali tidak mengenal dirinya lagi. Sang pemain menyembunyikan dirinya di balik topeng, pakain-busana, dan perannya (jabatan, kekuasan), sehingga ia menjadi orang asing bagi dirinya sendiri, ibarat seorang kerasukan (trance). Akibatnya, sang pemain melakukan apa saja yang “diperintahkan”, dilihatnya, didengarnya, dibacanya, atau ditontonnya tanpa kontrol diri. Korupsi, bom bunuh diri, seks bebas, perkelahian antarpelajar, perampokan, narkoba, pemerkosaan merupakan contoh-contoh aktual masalah ini. Kita juga (mungkin) sependapat seperti Marshall McLuhan bahwa kemajuan di bidang komunikasi dan internet telah menjadikan dunia sebagai sebuah “a global village” karena semua orang dari berbagai macam bangsa dan Negara dapat saling berhubungan dan berkomunikasi seperti bertatapan muka (face to face). Ibarat tidak ada lagi sekat-sekat yang menghalangi “perjumpaan” itu bahkan sampai pada hal-hal privat. “Keterbukaan” dunia ini tentu membawa berbagai macam pengaruh, baik yang positif maupun yang negatif. Positif karena ia memberikan berbagai macam kemudahan dan kenyamanan bagi hidup manusia (mulai dari fasilitas di tempat tidur sampai pada fasilitas di luar rumah). Negatif karena keterbukaan itu “membius” manusia-manusia muda pada sikap dan perilaku menyimpang, seperti narkoba, kumpul kebo, premanisme, perkelahian antarpelajar, seks bebas, dsj. dan perlu segera mendapatkan penanganan. Di sinilah pentingnya pendidikan (sekolah). Pendidikan (sekolah) yang masih dipercaya sebagai salah satu institusi yang paling efektif dalam membina, membentuk, membimbing, dan mengembangkan anak didik ke arah kedewasaan-kematangan perlu mengambil sikap dan tindakan untuk meminimalisir masalah tersebut. Salah satu tindakan yang perlu dilakukan adalah membangun karakter siswa. Pilihan ini tentu merupakan pilihan yang sulit karena melibatkan masyarakat (orang tua siswa, masyarakat umum) dan seluruh stakeholders sekolah. Untuk itu, tulisan ini akan membicarakan dua hal itu, yaitu pendidikan karakter dan keterlibatan aktif masyarakat (orang tua siswa) dalam membangun karakter anak. Pendidikan Karakter Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat (Suyanto, 2010). Individu sadar, memahami, dan mengerti untuk apa ia melakukan atau membuat suatu tindakan atau keputusan. Untuk tujuan inilah kita membutuhkan pendidikan karakter. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut (Kemendiknas, 2010). Pendidikan karakter “membentuk” anak didik agar memiliki (1) keteraturan interior, sehingga anak didik mampu mengukur tindakannya berdasar hierarki nilai. Artinya nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakannya; (2) koherensi. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Dengan memiliki koherensi anak didik menjadi berani, teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko; (3) otonomi. Anak didik menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain: (4) keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih (bdk. Doni Koesuma A. Kompas Cyber Media). Dengan demikian, pendidikan karakter bermuara pada: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development)(Kemendiknas, 2010). Artinya pendidikan karakter melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif (Suyanto, 2010). Oleh karena itu, pendidikan karakter perlu dilaksanakan secara sistematis dan terstruktur dengan “melibatkan semua komponen (pemangku pendidikan), termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan” (Kemendiknas, 2010). Dalam dinamika itu, pendidikan karakter menjadi suatu kemendesakan untuk dilaksanakan di sekolah. Sekolah perlu mendesain sedemikian rupa aktivitas-aktivitasnya (proses pembelajaran, ekstra kurikuler) agar mengarah pada pembentukan, pembinaan, dan pematangan karakter anak didik. Karakter mempengaruhi sukses dan tidaknya seseorang. Seperti yang ditegaskan oleh cendekiawan China Lu Kun (1536-1618) pada Dinasti Ming, Saigo Takamori (1827-1877), serta Kazuo Inamori, pendeta, pebisnis, dan salah satu guru manajemen terkemuka dunia pada saat ini bahwa “kunci keberhasilan hidup yang sesungguhnya ternyata terletak pada attitude, karakter atau watak. Setelah watak, baru keberanian (courage), lalu kemampuan (ability). Bukan semata-mata pada kepintaran, inteligensia, maupun kerja keras” (TM. Luthfi Yazid, Gatra, 27/XVII 27 Mei 2011). Dengan demikian, karakter seseorang perlu terus menerus dibina, dibentuk, dikembangkan, dan “dilatih” agar menjadi kebiasaan yang terbatinkan, terinternalisasikan dalam diri anak didik. Tentu saja usaha ke arah itu dapat dicapai bila para orang tua (masyarakat), para pendidik dan lembaga pendidikan mengondisikan karakter baik dalam seluruh aktivitasnya. Bukankah sumbangan terbesar dari apa yang terjadi berasal dari hasil meniru dan belajar, baik di lingkungan keluarga, lingkungan pergaulan, lingkungan sekolah, dan lingkungan tempat tinggalnya? Di sinilah pentingnya partisipasi aktif masyarakat. Partisipasi Masyarakat (Parental involvement) "Parental involvement, in almost any form, produces measurable gains in student achievement" (Dixon, 1992, p. 16). Membentuk, menanamkan, membiasakan, dan memelihara karakter baik pada anak (siswa) membutuhkan kerjasama yang baik antara sekolah dan masyarakat (terutama orang tua siswa). Masyarakat membutuhkan sekolah; dan sekolah membutuhkan masyarakat. Masyarakat dan sekolah tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Masing-masing saling memengaruhi dan sekaligus menghidupkan. Antarkeduanya ada interrelasi dan interkorelasi. Kesalingtergantungan ini menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam kegiatan dan kehidupan sekolah menjadi salah satu faktor penting yang memengaruhi proses pencapaian prestasi anak didik di sekolah. The main benefit of parental involvement is the improved achievement of the student (LaBahn, J. 1995). Juga terpelihara atau terbina keseimbangan dalam membentuk karakter anak. Misalnya aturan sekolah mengharuskan anak untuk hidup disiplin. Aturan ini dapat berjalan dengan baik jika masyarakat turut menjaga putra-putrinya agar bersikap dan berperilaku disiplin. Mulai dari bangun pagi, berangkat ke sekolah, belajar di rumah, dan istirahat malam. Tanpa peran serta masyarakat, aturan ini sulit untuk ditegakkan. Akibatnya, di sekolah anak-anak mengalami kesulitan untuk disiplin. Maka ketika di sekolah anak-anak dipaksa untuk disiplin, mereka memberontak. Membolos. Sering tidak masuk sekolah. Oleh karena itu, masyarakat (orang tua) perlu menjalin kerjasama dengan sekolah agar proses pembinaan dapat berlangsung kontinu dan sejalan. Masyarakat juga perlu menyadari bahwa keberhasilan putra-putrinya dalam menempuh pendidikan tidak dapat dilimpahkan sepenuhnya kepada sekolah. Masyarakat perlu memberi pendampingan, bimbingan, dan berpartisipasi aktif dalam “kehidupan” sekolah putra-putrinya. Maka menjadi ironis ketika masyarakat cuek atau bahkan acuh tak acuh terhadap kehidupan sekolah; ketika masyarakat “membiarkan” putra-putrinya bersikap dan berperilaku di luar batas-batas norma masyarakat; atau ketika masyarakat cuek terhadap undangan sekolah guna membantu putra-putrinya memecahkan masalah yang dialaminya. Partisipasi aktif orang tua dalam kehidupan sekolah menunjukkan bahwa mereka memiliki komitmen dalam mendidik dan membimbing putra-putrinya untuk mencapai prestasi yang gemilang. Loucks (1992: 19) menegaskan bahwa keterlibatan orang tua dalam kehidupan sekolah menghasilkan peningkatan pencapaian prestasi anak. “... parent involvement in the school results in improved student achievement." Untuk itu, Campbell (1992: 2-3) memberikan 10 karakteristik yang dapat menjadi acuan (blueprint) bagi para orang tua dalam usaha membantu putra-putrinya memeroleh hasil yang lebih maksimal di sekolah. Kesepuluh karakteristik itu adalah: 1. A feeling of control over their lives. 2. Frequent communication of high expectations to children. 3. A family dream of success for the future. 4. Hard work as a key to success. 5. An active, not a sedentary, lifestyle. 6. Twenty-five to 35 home-centered learning hours per week. 7. The family viewed as a mutual support system and problem-solving unit. 8. Clearly understood household rules, consistently enforced. 9. Frequent contact with teachers. 10. Emphasis on spiritual growth. Dalam konteks ini, peran serta masyarakat dalam kehidupan putra-putrinya di sekolah sangat penting dan terus menerus harus ditingkatkan dan disegarkan. Partisipasi aktif masyarakat dalam kehidupan sekolah telah diyakini dan dibuktikan dapat meningkatkan prestasi anak dan meningkatkan sikap dan perilaku baik anak. Dengan partisipasi aktif itu, sekolah dan masyarakat memiliki kesetaraan dalam kepedulian, solidaritas, dan cinta (love, care and solidarity). Sekolah dan masyarakat menjadi team kerja yang baik dan solid. “When parents, students, and the school work together, it is possible to accomplish great things at the secondary level. Everyone reaps the benefits! "When both parents and teachers work together, communicate and build a family and school partnership, parents, teachers and children benefit from the outcome" (Gelfer, 1991: 167). “The more the parent becomes involved and learns about the school, the more the parent can help the student. The parents are able to "increase their understanding of child development in areas of physical, social, emotional and cognitive development" (Ibid, 164).

Jumat, 09 September 2011

KEBAHAGIAAN

Alex, Nico, Rena, dan Cheryl, empat sekawan yang saling memerhatikan dan membantu dalam suka dan duka. Mereka rata-rata berasal dari keluarga yang sangat sederhana, namun taat dan patuh pada Tuhan. Orang tua Patrick bekerja sebagai buruh tani yang penghasilannya tidak menentu. Orang tua Nico bekerja sebagai buruh bangunan. Orang tua Rena bekerja sebagai guru di pelosok kampung yang jauh dari keramaian. Sementara, orang tua Cheryl bekerja sebagai buruh pabrik.
Dalam kesederhaan itu, empat sekawan ini saling membantu dan mengasihi satu sama lain, seperti orang tua mereka yang juga saling mengasihi dan menyanyangi satu sama lain. Bahkan ketika mereka tidak cukup makan tiga kali sehari, mereka tetap bahagia. Bagi mereka kebahagiaan bukan karena memiliki banyak harta, tetapi memiliki kehidupan dan kasih sayang.
“Kebahagiaan berasal dari dalam diri kita, bukan dari luar diri kita”, tegas Patrick. “Bila kita ingin bahagia, kita harus merasa cukup dengan diri kita”, sambung Nico. “Kita harus menjadi pribadi yang penuh syukur, bebas dari berkeinginan yang berada diluar kemampuan kita”, tutur Rena. “Kita bahagia dengan apa yang kita miliki, bukan dengan apa yang ingin kita miliki”, tegas Cheryl.
Mereka hidup luar biasa. Fokus kehidupannya bukan pada apa yang ingin mereka miliki, tetapi pada apa yang mereka miliki. Menakjubkan. Luar biasa. Dimana pun mereka berada, mereka menikmati hidupnya dengan apa yang dimilikinya.
Melihat kenyataan itu, banyak teman-temannya yang iri. Misalnya, ketika mereka di sebuah taman sambil bersenda gurau dengan tertawa-tertawa kecil bahagia, tiba-tiba datanglah seorang teman sekolahnya. “Eh..orang-orang miskin, ngapain lo di sini?”, ejeknya. “Kami sedang bersenda gurau. Mau ikutan?”, jawab mereka. “Tidak. Malu-maluin main sama orang-orang miskin, seperti kalian! Puek!”, ejeknya. “Ya… terserahlah. Kami hanya menawarkan saja. Memang kami miskin harta, tetapi kami kaya kasih sayang dan cinta”, ujar mereka. “Puek! Puek! Puek!”, ejeknya sambil pergi meninggalkan mereka.
“Kasihan teman kita itu, ia kaya tapi hatinya tidak bahagia. Jahat”, tutur Patrick. “Karena itu, kebahagiaan bukan ditentukan oleh harta benda yang kita miliki, tetapi oleh cinta dan kasih sayang yang kita berikan kepada sesama”, sambung Nico dan Rena. “Iya betul, betul sekali. Kebahagiaan hidup hanya dapat kita raih dan rasakan ketika kita merasa cukup dan bahagia dengan apa yang kita miliki”, lanjut Cheryl. “Seperti kita ini, miskin harta, tapi kaya cinta dan kasih sayang”, puji Patrick. “Inilah yang ditegaskan Yesus dalam khotbah-Nya di bukit (Mat 5: 3-12): ‘Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur. Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi. Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan. Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.’", tambah Nico.

Kebahagiaan hidup dapat diraih dalam cinta dan kasih sayang yang kita bagikan kepada orang lain. Kita bahagia ketika kita merasa cukup dengan apa yang kita miliki. Untuk itu, jadilah pribadi yang penuh syukur, penuh kasih, dan penuh dalam keberadaan kita, maka kita akan bahagia.

BERDOA

Menjelang istirahat malam, Lukas memanggil kedua orang tuanya dan seorang kakaknya. “Pak, Bu, Kakak cepat ke sini”, teriak Lukas. Mereka kaget. “Jangan-jangan…”, pikir Ibunya. “Ah… ngelantur”, seru Bapaknya. Dengan perasaan agak cemas, mereka perlahan-lahan mendekati kamar Lukas. “Pelan-pelan…”, bisik sang Bapak.
Sesampai di pintu kamar Lukas, mereka diam dan dengan sangat hati-hati melongok ke dalam kamar. “Ada apa, Pak?”, tanya Ibunya. “Gak ada apa-apa. Lukas sedang membaca Kitab Suci. SSSttt…”, seru Bapaknya.
Melihat kejadian itu, mereka diam dan memutuskan untuk kembali lagi ke kamarnya masing-masing. “Ayo kita tidur lagi. Biarkan Lukas membaca Kitab Sucinya. Besok baru kita tanya-tanya dia”, ajak sang Bapak. “Ayooo…”, jawab sang ibu dan kakak.
Namun sebelum sampai di kamarnya masing-masing, Lukas berteriak lagi dengan suara lebih keras. “Pak, Bu, Kak….. cepat ke sini!!! Kalian ngapain sih koq gak sampai-sampai di kamarku? Cepetannnnnnnnnnn!!”, teriak Lukas. “Ya, ya, ya, Nak”, jawab ibunya.
Mereka segera bergegas menuju kamar Lukas. “Ada apa, Nak? Malam-malam koq teriak-teriak”, tanya ibunya. “Bapak, Ibu, sama Kakak cepet masuk ke kamarku!”, teriak Lukas.
Mereka segera masuk ke kamar Lukas. Lalu duduk dan siap mendengarkan apa yang mau disampaikan Lukas.

Bapak : “Ada apa Nak. Ceritalah pada kami.”

Ibu : “Ia, Nak. Malu kita mendengar teriakan malam-malam.”

Kakak : “Ia, ngapain sih teriak-teriak begitu?”

Lukas : “Bapak selalu bilang kalau kita berdoa jangan pendek-pendek. Sementara Yesus memberitahu para murid-Nya, berdoa itu jangan panjang-panjang. Ibu juga selalu bilang jangan lupa berdoa dimanapun kita berada. Sementara Yesus memberitahu para murid-Nya kalau berdoa masuk ke dalam kamar dan kuncilah kamar itu. Kakak juga selalu bilang sama aku, kalau berdoa jangan doa Bapa Kami terus, padahal Yesus mengajarkan kepada para murid-Nya kalau berdoa, berdoa Bapa Kami. Bagaimana itu?”

Bapak : “Ya. Bapak tahu. Tapi, Yesus juga tidak melarang kita berdoa lebih panjang dari doa Bapa Kami, kan? Yesus ingin kalau kita berdoa, berdoa dengan tulus dan rendah hati. Jangan dibuat-buat seperti orang munafik. Seperti orang-orang Farisi. Kalau dilihat orang rajin berdoa. Tetapi kalau tidak ada orang tidak pernah berdoa. Yesus juga menghendaki agar di saat kita berdoa, kita berdoa dengan penuh syukur, memuliakan Allah, dan mengakui bahwa kita adalah orang berdosa. Karena itu, kita perlu berdoa dengan penuh syukur, iman, dan penuh harapan untuk menerima pengampunan atas segala perilaku kita yang tidak baik.”

Lukas : “Tapi, Pak, Yesus juga sering berdoa sendirian. Kenapa Bapak selalu nyuruh aku berdoa bersama?”

Bapak : “Ya, semuanya baik. Doa pribadi baik. Doa bersama juga baik. Dalam doa pribadi kita berdialog dengan Tuhan secara pribadi dan lebih intensif. Dalam doa bersama kita membangun persekutuan dengan Tuhan dan sesama. Bersama dengan sesama kita memuji dan memuliakan Tuhan. Yesus juga melakukan hal sama, kan? Kadang Ia berdoa sendirian dan lain waktu Ia berdoa bersama para murid-Nya. Jadi semuanya baik.”

Lukas : “Oh… berarti kalau kita berdoa, kita tidak boleh marah, ya Pak?”

Bapak : “Marah sama siapa?”

Lukas : “Sama teman atau siapa saja yang menjadi musuh kita.”

Bapak : “Saat kita mau berdoa, hati kita mesti rela untuk mengampuni. Maka Tuhan memerintahkan kita untuk berdamai terlebih dahulu dengan sesama sebelum kita bersekutu dengan-Nya. Kalau tidak, kita menjadi orang munafik. Seperti yang ditegaskan oleh Yesus: barangsiapa mengaku mengasihi Allah, tetapi membenci sesamanya yang kelihatan, ia munafik.” Jadi dalam berdoa hati kita harus tertuju kepada Allah, penuh syukur, penuh pengampunan untuk memuliakan Allah.

Lukas : “Ya, ya….”

Dalam berdoa kita patut bersyukur, memuliakan Allah, dan menyampaikan dengan rendah hati pengharapan kita. Doa yang baik perlu diawali dengan hati yang tulus, rela mengampuni, dan menerima sesama sebagai saudara.

Pencobaan

Pak Jusuf, seorang tukang kayu yang hidupnya jujur dan baik. Sehari-sehari pekerjaannya adalah membuat kusen jendela dan kusen pintu. Ia juga menerima pesanan untuk memerbaiki lantai atau dinding rumah yang rusak. Juga ia sering dipanggil tetangga-tetangganya untuk mengecat rumahnya. Baginya apa pun pekerjaan, akan ia lakukan selagi ia bisa mengerjakannya. Ia menekuni pekerjaannya sejak ia menamatkan sekolah di STM.
Suatu hari, ketika ia sedang mengecat dinding rumah Pak Johan, ada seorang kaya memerhatikannya dengan seksama. Orang kaya itu berhenti dan turun dari mobilnya hanya untuk memerhatikan cara Pak Jusuf mengecat rumah. Orang kaya itu mengamatinya selama beberapa hari dan pada suatu hari ia akhirnya memerkenalkan diri kepada Pak Jusuf.

“Maaf, Pak. Kenalkan saya Pak Marthen”, sapa Pak Marthen.
“Saya Jusuf, Pak”, sahut pak Jusuf.

Setelah perkenalan itu, mereka ngobrol serius tentang pekerjaan, honor yang diterima Pak Jusuf, bila mengerjakan pekerjaan seperti itu (mengecat rumah).

Pak Marthen : “Pak Jusuf sudah berapa lama menekuni pekerjaan ini?”
Pak Jusuf : “Sudah hampir 26 tahun, Pak. Sejak saya tamat STM”
Pak Marthen : “Lho, kenapa Bapak tidak lanjut kuliah?”
Pak Jusuf : “Orang tua saya tidak memiliki biaya untuk kami sekolah. Kami semua tamat STM, Pak”
Pak Marthen : “Ya, ya, ya. Tapi kalau Bapak bekerja seperti ini, Bapak dibayar harian atau borongan?”
Pak Jusuf : “Tergantung Pak. Ada yang harian, ada yang borongan”
Pak Marthen : “Kalau harian, Bapak dibayar berapa? Kalau borongan, satu rumah begini berapa?”
Pak Jusuf : “Harian: perhari 75.000; Borongan: 4.000.000;”
Pak Marthen : “Oh… murah sekali… (sambil mengangguk-anggukkan kepalanya). Bagaimana kalau Bapak mengerjakan rumah saya? Untuk harian saya bayar Bapak 150.000 dan Borongan saya bayar 6.000.000. Bagaimana?”
Pak Jusuf : “Maaf, Pak. Saya belum bisa. Saya harus menyelesaikan pekerjaan ini.”
Pak Marthen : “Bagaimana kalau hariannya 200.000; dan borongan 6.500.000?”
Pak Jusuf : “Maaf, Pak. Saya belum bisa. Saya harus menyelesaikan pekerjaan ini.”

Meskipun Pak Jusuf sudah memberikan jawaban tidak, namun Pak Marthen tetap mengejarnya dan mengejarnya agar Pak Jusuf mau meninggalkan pekerjaannya dan segera mengerjakan rumahnya. Pak Marthen memberikan honor yang fantastik untuk menarik Pak Jusuf.

Pak Marthen : “Ayolah Pak. Bapak minta berapa? 250.000/ hari? Silahkan. Yang penting rumah saya segera selesai. Soalnya tukang-tukang lain, pekerjaannya kurang bagus.”
Pak Jusuf : “Maaf, Pak. Untuk ketiga kalinya saya harus mengatakan tidak. Saya harus menyelesaikan pekerjaan ini. Saya bertanggung jawab atas apa yang saya setujui dengan Pak Johan. Perjanjian harus ditepati kan, Pak? Meskipun upahnya lebih rendah, tapi tanggung jawab harus dilaksanakan dengan baik.
Pak Marthen, dalam hidup saya juga selalu ingat sabda Guru Agung saya: ‘Kita hidup bukan hanya dari roti saja, tetapi dari setiap Firman yang keluar dari mulut Allah.’
Meskipun Bapak membayar saya mahal, tetapi saya tidak bisa membohongi kesepakatan saya. Saya ingat apa yang dialami oleh Guru Agung saya waktu Ia ditawari berbagai macam kemegahan, kekuasaan, dan harta, Ia tetap setia pada pilihan-Nya. Bahkan Ia dengan keras menegur pembujuk-Nya: ‘Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbhakti!’ Jadi, Pak Marthen, saya mohon maaf, dan mudah-mudahan saya bisa belajar setia dengan hidup saya, seperti Guru Agung saya itu.”
Pak Marthen : ?????????????

Kesetian pada pilihan/panggilan hidup dan dibarengi oleh kekuatan iman akan memampukan kita mengatasi berbagai macam cobaan hidup yang hadir menyapa kita. Dalam kesetian dan kekuatan iman kita dapat menemukan indahnya kehidupan karena Allah memampukannya.

Senin, 22 Agustus 2011

PENYESALAN

Penyesalan selalu datang kemudian. Karena penyesalan pada hakikatnya merupakan akumulasi sikap dan tindakan kita yang jauh dari harapan Allah. Dan celakanya, penyesalan yang kemudian itu menjadi semacam “duri dalam daging” yang menusuk-nusuk dan melemahkan kita. Atau bahkan penyesalan kadang menjadikan kita linglung, stress berkepanjangan, atau bahkan mematikan kekuatan kita. Diri kita kehilangan nilai-nilai luhurnya. Lemah. Lumpuh. Gelap.
Pengalaman seperti ini lama saya geluti. Saya mencoba untuk melupakannya, tetapi sungguh sulit. Bahkan semakin saya berusaha untuk melupakannya, semakin intens pula dia menghampiri saya. Ibarat udara, semakin banyak saya buang saat bernafas, semakin banyak pula saya hirup kembali. Sungguh ia menjadi bagian dari proses hidup kita yang selalu hadir, hadir, dan hadir lagi.
Beberapa tahun lalu, dalam satu episode kehidupan saya, ketika saya merasa diri lebih pandai dan lebih sempurna dari adik saya yang bisu, saya selalu merendahkannya. Bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan sikap dan tindakan saya yang kasar kepadanya. Sungguh menyedihkan. Sampai Ibu saya sering marah kepada saya. “Jangan kamu sombong. Adikmu kan tidak tahu. Jangan dimarahi. Kasihan dia.”
Namun, celakanya, saya tidak menghiraukan sapaan Allah yang “mengalir” dari mulut Ibu saya. Saya tetap saja menjalankan aksi-aksi kasar sampai dua hari sebelum adik saya diambil dan dipeluk mesra oleh Allah (meninggal). Adik saya, entah kenapa bisa lepas dari pengawasan Ibu, meninggal karena tenggelam di kolam di samping rumah. Mungkin waktu itu ia ingin mencoba menyeberangi kolam tersebut. Karena kami (saya dan kakak) diperhatikan sering menyeberangi kolam itu untuk memberi makan malam pada ternak kami: sapi dan kerbau. Itu menjadi tugas saya dengan kakak.
Sayang, entah bagaimana proses kejadiannya, ia ditemukan Ibu di kolam sudah tidak tertolong lagi. Saat itu, Ibu menangis sejadi-jadinya. Sementara saya tenang-tenang saja. Bahkan dalam hati ada perasaan senang: “hilang sudah penggangguku.” Oh..Tuhan. Sungguh jahat dan kejamnya saya. Saya sungguh menyesal. Namun, penyesalan selalu tinggal penyesalan.
Penyesalan akan sikap dan tindakan saya itu menghiasi dan mewarnai keseharian hidup saya. Kadang saya berhenti dari segala aktivitas saya dan diam seribu bahasa. Hati sedih dan menangis, tetapi yang ditangisi telah berlalu. Saya mencoba untuk menenangkan diri dengan mengambil beberapa retret pribadi. Saya ingin membuka dan membuang jauh-jauh sejauh yang saya bisa pengalaman itu serta memohon bantuan Allah agar saya dikuatkan untuk mampu menerima pengalaman itu sebagai bagian dari pembelajaran.
Saya memulai usaha dengan berdoa mohon agar Roh Kudus berkenan hadir, masuk, diam, dan membimbing saya kepada yang Dia kehendaki. Setelah itu, saya membaca sabda Tuhan dan merenungkannya. Saya diam, diam, dan diam sambil menikmati heningnya malam dengan angin sepoi-sepoi sampai pada suatu titik, saya merinding. Tubuh saya gemetar. Bulu-bulu berdiri semua. Detak jantung semakin kencang. Sekujur tubuh saya seperti bintik-bintik.
Walaupun saya mengalami pengalaman itu, saya tetap diam, diam, dan diam. Tetapi, secara perlahan-lahan saya mulai menikmati makna sebuah penyesalan. Ia menghadirkan makna indah bagi saya. Ia membuka kekelaman hati saya untuk menerima dan memelajari apa pun yang terjadi dalam hidup ini: entah baik atau pun buruk. Karena semuanya membantu kita menjadi seperti sekarang ini. Nilai-nilai yang dihadirkan dan ditempakan dalam diri kita beranekaragam. Yang semuanya menjadi bagian pembentuk dan pendewasa diri kita sekarang. Kita menjadi lebih peduli dan cinta terhadap sesama yang berkekurangan. Kita menjadi lebih ramah dan bersahabat dengan orang lain apa pun itu kondisinya.
Penyesalan mendekatkan saya dengan Allah secara lebih pribadi. Ia menyinari mata hati kita sehingga kita dapat memandang setiap “yang lain” (the others) sebagai bagian dari hidup kita. Penyesalan menembus tembok hati kita sehingga kita dapat “menguyah” sabda Yesus: “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu” (Mat 7:1-2). Sabda Yesus ini semakin menegaskan kepada saya maksud Allah menjemput adik saya itu, yakni Allah tidak tega melihat anak yang dikasihi disakiti terus menerus. Allah menyelamatkan adik saya dari siksaan duniawi yang dilakukan oleh saudaranya sendiri. Allah lebih memilih mengambil anak-Nya yang kudus dari cengkeraman kekerasan dunia. Allah segera menyelamatkan anak-Nya sebelum jatuh dalam genggaman dunia yang angkuh dan sombong.
Sungguh luar biasa. Allah menggendong dan memayungi adik saya dengan kepakan sayap-Nya yang kudus dan mulia. Dan kini, saya bahagia karena Allah memuliakan adik saya di surga. Juga saya bahagia, karena Allah mencegah saya untuk terus-menerus berbuat dosa. Sungguh Allah kita adalah Allah yang hebat. Ia begitu dekat dan peduli dengan kita. Bahkan Ia rela mengosongkan diri, mengambil rupa seorang hamba dan menjadi manusia.

Terima kasih Bapa,
Engkau begitu baik dan peduli dengan hidupku,
Engkau begitu mengasihi dan mencintaiku,
Engkau juga begitu setia menjaga dan melindungiku,
Bapa,
Aku mohon, tariklah dan tegurlah hamba-Mu ini,
Bila hamba-Mu ini berpaling dari jalan-Mu,
Bila hamba-Mu melanggar perintah-Mu,
Bila hamba-Mu ini ingin menang sendiri,
Bila hamba-Mu ini merendahkan orang lain,
Bapa,
Jadikanlah hamba-Mu ini,
jalan bagi kemuliaan-Mu,
saluran bagi cinta-Mu yang tulus dan suci,
bejana bagi kabaikan-Mu,
sehingga dengan demikan,
hamba-Mu ini dapat terus memuji dan memuliakan nama-Mu,
dalam seluruh aktivitas hidup sehari-hari,
bersama dengan Putra-Mu dalam persekutuan dengan Roh Kudus,
kini dan sepanjang masa.
Amin.


Bukit rahmat, 11 Agustus 2011
Pukul 0.00 -02.30 wita

Kejadianku yang Dahsyat dan Ajaib

“Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya” (Mzm 139:14)

Malam pertama menenangkan diri di rumah retret “Bukit Rahmat”, Samarinda, menghadirkan berbagai pengalaman hidup tentang dikasihi dan dicintai dengan tulus murni oleh orang tua, seperti “sang surya menyinari dunia.” Sungguh luar biasa. Sungguh mulia dan suci cinta dan kasihnya hanya demi kebahagiaan kita, anak-anaknya.
Air mata perlahan tapi pasti mengalir jatuh membasahi pipi bagaikan air terjun. Kesedihan hati meluap dalam isak tangis sesal. Pertahan dan tembok-tembok kesombongan dan keangkuhan mulai terkuak dan tertelanjangi di hadapan orang tua yang begitu baik dan sayang kepada kita. Kebohongan dan kebebalan kita terbongkar di hadapan ketulusan dan keluhuran cinta kasih mereka. Mereka menjaga dan merawat kita selama Sembilan bulan dalam kandungan. Mereka kerja membanting tulang, menahan rasa kantuk saat kita rewel atau sakit, menahan diri untuk membeli kebutuhannya demi makanan dan susu kita, rela berjalan dan mengantri berjam-jam di dokter demi kesehatan kita, bahkan rela tidak makan dan minum demi memenuhi kebutuhan harian kita.
Cinta dan kasihnya dicurahkan untuk kita tanpa “mengharap kembali.” Mereka bahagia bila kita bahagia. Mereka tersenyum dan bangga bila kita sehat dan pandai. Mereka bangga dan bahagia sekali bila kita dipuji oleh orang lain: “oh… anaknya Bapak-Ibu luar biasa baik dan pintarnya.” Mereka girang ketika kita menghargai apa yang mereka berikan kepada kita. Sungguh luhur dan agung kasihnya untuk kita, anak-anaknya. Mereka tidak pernah “mengharap kembali” apa yang telah mereka curahkan kepada kita dengan cucuran keringat dan air mata. Itu semata-mata hanya demi “hidup” kita.
Namun, pernahkah kita berterima kasih kepada mereka? Pernahkah kita berpikir untuk menghargai mereka? Atau apakah kita sudah melaksanakan apa yang mereka dambakan atau harapkan? Apakah kita sudah tersenyum kepada mereka?
Kalau kita jujur dan tulus mengakuinya, kita justru lebih banyak menyakiti mereka. Bahkan yang lebih menyakitkan hatinya, kita menghina dan meremehkan mereka. Mereka kita “lawan, fitnah, bohongi, atau bahkan permalukan di depan banyak orang” dengan sikap dan perilaku kita yang tercela dan melanggar norma-norma kesopanan. Kita “menikam” mereka dengan tindakan kita yang bodoh seperti mengonsumsi narkoba, seks bebas, malas belajar, berkelahi, tawuran, dan ugal-ugalan di jalan. Oh… sangat memalukan. Bahkan kita “menghancurkan” mereka dengan keangkuhan dan kesombongan kita. Sungguh kita bagaikan si “Malin Kundang” dan si “anak sulung” yang menghambur-hamburkan harta mereka demi memenuhi hawa nafsu kita….
Kita menutup mata hati kita terhadap pengorbanan mereka. Bahkan terhadap pengorbanan dirinya. Mereka telah rela berkorban seperti Yesus sendiri “mengorbankan nyawa-Nya demi kebahagiaan dan keselamatan kita.” Dalam dan melalui mereka, Allah menjadikan kita dahsyat dan ajaib; Allah merawat, mencintai, dan mewariskan cinta kasih-Nya yang tulus murni, tanpa syarat kepada kita. Allah mengajarkan kepada kita betapa agung dan luhurnya pengorbanan demi kebahagiaan dan keselamatan sesama. Allah mengaktualisasikan keluhuran dan kemisterian-Nya melalui perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib. Bahkan Allah berkenan merendahkan diri dan menjadi pelayan bagi kita. Seperti yang Ia tegaskan “… sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Mat 20:28; Mrk 10: 45).
Untuk itu, dalam kesunyian dan keheningan malam, kita perlu merendahkan dan membuka diri agar Allah Roh Kudus memasuki dan membongkar tembok-tembok keangkuhan, kesombongan, dan egoisme diri kita yang menjauhkan kita dari ketulusan, keluhuran, dan kesucian kasih Allah yang telah mengorbankan diri-Nya demi kebahagian dan keselamatan kita. Kita menyediakan diri diubah, disucikan, dan dibentuk oleh Allah, seperti yang Ia ingini. Kita “menjemput” dan “merangkul” orang tua kita dan memohon ampunan darinya. Sehingga kita dapat bersamanya menghidupi, mewartakan, dan melaksanakan cinta kasih Allah yang tulus dan mulia dalam sikap dan perilaku hidup kita sehari-hari. Seperti St. Paulus, kita pun dapat berujar: “… Allah menjadi semua di dalam semua” (I Kor 15: 28). “Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (2 Kor 12:10).

Bukit rahmat, 10 Agustus 2011
Pukul 23.00-01.18 Wita

Membuat Keputusan

Orang-orang sibuk, kerapkali mengalami kesulitan dalam membuat sebuah keputusan. Mereka bahkan sedapat mungkin menghindari membuat keputusan. Namun, orang-orang penting justru harus membuat keputusan.

Dalam situasi sulit, kita (mungkin) sepakat bahwa membuat keputusan adalah sesuatu yang sangat sulit. Sulit karena hati dan pikiran kita berada dalam ketegangan dan emosional yang tinggi. Sehingga kita tidak mampu melihat maksud dan tujuan baik dari sebuah keputusan yang harus kita buat.

namun kesulitan itu dapat diatasi dengan "keheningan",
menenangkan pikiran dan hati agar keputusan kita tidak dipengaruhi oleh emosi atau perasaan kita.... tapi ditentukan oleh maksud dan tujuan kita membuat keputusan.

anjurannya: tenanglah dalam memutuskan sesuatu. Karena dalam ketenangan kita dapat memutuskan sesuatu dengan jernih...

Selasa, 26 Juli 2011

Sekolah Kehidupan

Sekolah kehidupan merupakan sebuah medium yang memroses hidup kita menuju pada diri kita yang sekarang. Dari hidup, kita belajar memaknai hidup kita yang senantiasa berproses menuju kehidupan yang lebih baik. Namun, sayang, kita sering lupa bahwa sekolah yang paling efektif membentuk hidup kita adalah pengalaman keseharian hidup kita. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi.

Hal ini menunjukkan bahwa terbentuknya hidup kita seperti sekarang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang bersinggungan dengan kehidupan harian kita. Jadi, rawatlah hidup anda maka anda akan merayakan hidup anda.

Minggu, 10 Juli 2011

KEBAHAGIAAN

Alkisah, ada seorang murid yang hendak menemukan kebahagiaan. Ia menyusun suatu rencana indah dalam hidupnya dan menuliskannya dalam buku agendanya. "Ada satu hal yang harus aku temui dalam hidupku, yaitu kebahagiaan. Sebelum aku menemukannya, hidupku tidak ada nilainya." Setelah dia menuliskan niatnya itu, ia kemudian memersiapkan segala keperluan yang ia butuhkan dalam perjalanan menuju kebahagiaan. Pakaian, beras, air, senter, dan sepatu. Semua keperluannya dimasukan dalam satu koper besar. "Ah... semua sudah beres. Besok pagi-pagi aku harus berangkat. Sekarang aku istirahat dulu..."

Jam 04.00 ia sudah bangun dari tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi. Jam 04.30, ia sudah siap untuk berangkat. Koper yang sudah disiapkan semalam sudah ditempatkan di depan pintu, sambil menunggu mobil menjemputnya. Jam 05.00, mobil yang menjemputnya belum datang. Ia mulai gelisah. Keluar-masuk kamar sambil sesekali melongok ke luar. Jam 05.10, tamu yang tak diundang menghampirinya. "Selamat pagi anak muda", tegur pak tua. "Pagi Pak. Ada apa pagi-pagi begini sudah ke sini!!!" sahutnya dengan nada suara yang tinggi. "Maaf, anak muda. Seandainya saya mengganggu ketenangan anak muda, saya akan segera pulang. Tetapi seandainya tidak, saya ingin menemani anak muda di sini sampai bus datang menjemputmu", pinta pak tua. "Oh.. Tidak. Pak tua tidak mengganggu saya. Tapi saya terganggu karena bus belum juga menjemput saya. Padahal saya sudah pesan pagi-pagi.", jelasnya. "Baiklah kalau begitu. Mungkin kita bisa berbagi cerita atau apa sajalah sambil menunggu jemputan anda", pinta pak tua. "Baiklah... mari Bapak silahkan masuk...", sahut anak muda.

Sambil menunggu bus yang menjemput anak muda itu, mereka bercakap-cakap di ruang tamu.
Pak Tua: "Maaf, anak muda mau kemana? Pagi-pagi begini sudah rapi?"
Anak muda: "Saya mau mencari dan menemukan kebahagiaan yang sudah lama saya impi-impikan."
Pak Tua: "Dimana anak muda akan mencari dan menemukan kebahagiaan itu?"
Anak muda: "Di seberang laut itu. Menurut cerita di sana ada nenek tua yang akan memberikan itu (kebahagiaan)."
Pak Tua: "Apakah anak muda percaya dengan semua itu?"
Anak muda: "Percaya Pak. Makanya saya sudah memersiapkan semuanya untuk menuju ke tempat itu. Konon di kalu kita sudah sampai di tempat itu, kita akan memeroleh kebahagiaan."
Pak Tua: "Anak muda... maafkan saya. Kalau boleh saya sarankan, sebaiknya anak muda tidak usah berangkat ke sana. Sebab kebahagiaan itu bukan untuk dicari atau ditemui, tetapi untuk dilahirkan dan dirasakan dari dalam diri kita sendiri. Kebahagiaan itu sudah ada dalam diri anda, tetapi anda harus melahirkan dan merasakannya melalui sikap dan perilaku anda yang terpuji. Itulah kebahagiaan."
Anak muda: "????"

Kita menjadi bahagia, bukan karena berapa banyak harta yang kita miliki, tetapi seberapa tulus kita merasakan bahwa kita sudah bahagia. Sebab kebahagiaan bukan pertama-tama karena kita kaya, banyak harta benda, tetapi masalah perasaan kita (bahwa kita bahagia atau menderita). Kebahagiaan adalah pancaran jiwa yang tulus untuk menghargai hidup dan apa yang kita miliki sebagai anugerah/karunia istimewa dari Allah. Oleh karena itu, seperti anak muda di atas, kalau kita ingin bahagia, pulihkanlah perasaan kita pada kebahagiaan. Jauhkan perasaan kita dari kesengsaraan.

Minggu, 26 Juni 2011

SEJUK

Sejuk menawarkan ketenangan, kesegaran, dan kedamaian. Ketika rumah kita sejuk, kita menjadi betah di rumah karena jiwa kita tenang, bahagia, dan segar. Atau ketika udara di sekitar kita sejuk, kita ingin berlama-lama menikmatinya.

Kesejukan memang meruangkan hati untuk mengenali dirinya dan memancarkan cahaya cinta ke luar dirinya. Hati yang sejuk, damai, akan memancarkan kedamaian, kebaikan yang menyejukan orang lain. Dalam kesejukan akan mengalir aliran-aliran air damai yang mencerahkan dan menyuburkan kehidupan dunia.

Bangunlah kesejukan di dalam dan melalui diri kita, maka kita akan menikmati indahnya kehidupan ini.

Kamis, 16 Juni 2011

Kejujuran yang Tertendang

Kisah buram negeri ini semakin hari semakin mengerikan. Para pemimpin kita merancang kehidupan bangsa ini dengan paradigma dan moralitas rendahan. Mereka mengabaikan prinsip-prinsip moral dan keadilan yang berke-Tuhan-an yang maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Kita bisa belajar dari kasus di surabaya (orang tua yang jujur diusir) atau kasus pengemplangan pajak. Betapa kejujuran diremehkan dan bahkan ditendang. Memang inilah wajah buram negeri yang didesain oleh pemimpin yang berwajah buram. Keburaman wajahnya dengan mudah mengabaikan kejujuran, meniadakan keadilan, dan bahkan mensosialisasikan sikap dan perilaku yang melawan moral hidup masyarakat. Seperti korupsi, penggelaman uang rakyat, penindasan rakyat atas nama kerakusan, memecahbelah persatuan indonesia atas nama kepentingan. Sungguh ironis nasib negeri ini. Negeri yang berlimpah "susu dan madunya" dihancurkan oleh pemimpin yang rakus akan uang, rakus akan kekuasaan, rakus akan harta benda. Sungguh mengerikan.

Akan tetapi, apakah kita hanya harus mengeluh, mengeluh, dan mengeluh terus?
Sikap ini juga kurang bijak. Kalau kita hanya mengeluh, hasilnya adalah keputusasaan. Keputusaan menghasilkan teror dan brutalitas. Teror dan brutalitas menghasilkan penderitaan dan kesengsaraan. Penderitaan dan kesengsaraan menghasilkan kematian yang prematur, yaitu kematian yang belum pada waktunya.

Oleh karena itu, kita mesti menghasilkan sesuatu yang mampu meredam dan meminimalisir keadaan itu. Kita mesti, seperti Sang Guru Kebijaksaan yaitu mulai menghargai dan mencintai kejujuran. Kita mesti menghormati dan mencintai sesama seperti kita hendak diperlakukan. Kita mesti mulai bersikap dan berperilaku adil terhadap diri kita sendiri, lalu kepada sesama, dan kemudian kita persembahkan kepada Allah.

Marilah kita mencintai kejujuran, keadilan, dan ketulusan. Ketiga keutamaan ini akan melahirkan kasih yang tulus, iman yang kokoh, dan harapan akan kebaikan. Keutamaan ini dapat kita temui dalam keheningan diri, dengan menelanjangi diri, dan dengan penghormatan akan keberadaan yang lain. Hening, diam, hening, diam, dan berbuatlah yang baik seperti yang anda inginkan orang lain berbuat itu untuk diri anda.

Salam

Rabu, 15 Juni 2011

Menemukan yang Hilang

Masih ingat lagu Mutiara yang hilang? Kira-kira syairnya begini: lama sudah aku mencari; kesenangan di dalam hati; ... kala kusendiri. Mutiara yang hilang...dst. Syair lagu ini mengingatkan kita akan suatu masa yang hilang.

Kehilangan apa pun itu, kerapkali membuat kita bingung bahkan sampai stress. Dan itu tidak dapat dimungkiri. Namun kita juga mesti memahami bahwa sejarah (peziarahan) kehidupan tidak berjalan semulus yang kita bayangkan. Banyak duri dan kerikil-kerikil tajam yang menyertainya. Itulah hidup. Hidup tanpa tantangan adalah hidup yang kurang indah. Sebab hidup yang indah dibentuk dan dihiasi oleh perbagai macam pengalaman suka-duka. Dan masing-masing pengalaman itu membentuk dan mewarnai keberadaan hidup.

Untuk itu, hidup harus ditemui. Hidup harus digali dan disegarkan dengan berbagai macam warna-warni kehidupan dunia. Penemuan diri atas kehidupan berarti kita menemukan kekuatan untuk mengubah hidup kita. Sebab hidup hanya dapat diubah dengan kekuatan diri kita. Dan dengan kekuatan diri, kita dapat menemukan kembali diri kita yang hilang di telan zaman atau hawa nafsu...

Jadikan hidup kita inspirer bagi perubahan dan perbaikan hidup kita sendiri.

Selasa, 07 Juni 2011

Hati yang Memilih

Yoalinda adalah seorang gadis manis yang menawan. Sikap dan perilakunya anggun. Senyumnya manis dan memikat. Luar biasa. Orang-orang yang mengenalnya memberi julukan putri kayangan, bidadari dari kayangan. Karenanya, ia menjadi idola dan dambaan setiap orang di desanya. "Setiap orang ingin bertemu dengannya setiap hari", ujar seorang sahabatnya.

Lain halnya dengan Sipa. Wanita yang sok cantik, sok pinter. Sikap dan perilaku seenak gua. Senyumnya menjjijikan karena tidak tulus. Orang-orang yang mengenalnya memberi julukan "gadis neraka yang menyeramkan." Karena itu, ia sangat dihindari orang. Orang-orang takut berjumpa dengannya. "Kita takut dan malas bertemu dengan orang itu. mengerikan. Sok pintar. Ingin menang sendiri", tutur tetangganya.

Sikap dan perilaku dua gadis di atas sangat bertolak belakang. Kita semua mungkin juga setuju dengan apa yang diungkapkan oleh teman kedua gadis itu; bahwa sikap dan perilaku baik selalu dirindukan, sementara sikap dan perilaku egoisme, seenaknya sendiri, meremehkan orang lain, dsj. selalu dihindari. Kita sadar bahwa hidup yang bergairah adalah hidup yang dijalani dengan penuh cinta dan kasih sayang. Penuh keramahan dan akrab dengan orang lain. Menghargai orang lain seperti dia menghargai dirinya sendiri.

Bagaimana caranya kita menjalani hidup yang demikian?
Bagi saya sangat sederhana, yaitu menentukan pilihan hati pada yang baik. Hati yang memilih Kebaikan mampu mengendalikan ego dan sekaligus mendorong kita untuk berada pada jalur kebaikan. Hati yang memilih kebaikan menghindari kita dari sikap individualistis yang eksklusif karena hati akan "menarik" kita untuk ke jalur kebaikan.

Oleh karena itu, hidup yang bahagia, penuh kasih, penuh cinta, dapat kita jalani dan kita hidupi jika kita memilih untuk melakukannya. Jika kita memilih untuk mewujudkannya. Jika kita memilih untuk berada di dalamnya. Jika kita memilih untuk bersahabat dan bercinta dengan kebaikan.

Jadi, pilihlah cinta, kebaikan, kasih, ketulusan jika hidup kita ingin bahagia. Lakukan ini, maka kita akan tahu manfaatnya. Ingat, pilihan melakukan yang baik, niscaya akan menghasilkan kebaikan. Pilihan melakukan hidup kebahagiaan, niscaya akan menghasilkan kebahagiaan.

selamat untuk memilih menjadi bahagia....

Selasa, 31 Mei 2011

Hening Diri

Perubahan zaman melahirkan perubahan-perubahan yang lain, yang menyertai zaman itu. Seperti sikap, perilaku, atau pola pikir. Perubahan itu tentu memang diharapkan, karena manusia senantiasa berubah: dari saat ke saat. Tidak ada seorang pun yang ingin hidup dan diam dalam zaman yang begitu-begitu saja. Misalnya miskin, penuh percekcokan, dll.

Yang paling dahsyat adalah perubahan dalam pola pikir, sikap, dan perilaku manusia dalam menghadapi atan merespon suatu kejadian. Perkelahian, tawuran, pembakaran, pembunuhan, dsj, merupakan contoh-contoh tindakan yang terjadi akibat perubahan itu.

Mengapa hal itu terjadi begitu marak di negeri kita?
Salah satu sebabnya adalah kita kurang mengheningkan diri. Kita sibuk dengan urusan-urusan kita untuk memenuhi tuntutan "hawa nafsu", yang tidak pernah dapat dipuaskan. Dari kekayaan sampai kekuasaan.

Untuk itu, marilah kita mengheningkan diri sejenak. Dalam keheningan itu, kita akan menemukan diri kita yang sesungguhnya. Kita akan menemukan serpihan-serpihan kebaikan yang terkoyak oleh hawa nafsu kita, dan kita "merangkainya" kembali menjadi kebajikan. Kita akan menemukan diri yang kotor oleh sikap dan perilaku kita yang congkak, sombong, bebal, dsj, dan kita memutihkannya menjadi kebijakan hidup.

Heningkan diri untuk meraih kebajikan dan kebijakan hidup. Sebab dalam keheningan itu, kita berjumpa dengan diri kita yang sesungguhnya dan DIRINYA YANG ABADI. Heningkan diri, maka kita akan terpesona oleh keindahan Tuhan. Kita akan memeroleh kekuatan yang mengubah diri kita.

Meraih Kepastian

Kepastian bernegasi dengan kebimbangan. Orang yang bimbang merencanakan hidup dengan penuh kebimbangan. Ia tidak berani memutuskan sesuatu yang harus diputuskan. Ia selalu berada dalam kegelisahan yang tidak pernah berakhir. Karena, ia tidak berani membuat atau memutuskan tentang hidupnya mau dibawa atau dibuat apa. Kebimbangan menjadi salah satu penghambat perkembangan diri.

Lain halnya dengan orang yang berani memastikan atau membuat keputusan tentang hidupnya. Kepastian membuat seseorang berani melangkah atau menolak sesuatu yang berkaitan dengan hidupnya atau hidup keluarganya. Ia berani melakukan eksperimen, eksplorasi, atau cara-cara lain yang dapat membantunya mencapai "sesuatu", yang telah ia pastikan sebelumnya. Kepastian membawa atau membimbing orang pada kepercayaan diri untuk mencapainya.

Bagaimana caranya?
Caranya adalah dengan memastikan diri mampu meraih kepastian itu. Sebab kepastian hanya dapat diraih bila kita memastikan diri untuk kepastian itu.

Oleh karena itu, pastikanlah diri anda untuk menjadi pasti dalam mencapai kepastian. Kepastian diraih dengan memastikan diri untuk kepastian itu. Jauhkan diri dari kebimbangan, karena kebimbangan hanya akan menjatuhkan anda dalam kebimbangan itu. Kebimbangan tidak pernah menghasilkan kepastian. Kebimbangan hanya menghasilkan kebimbangan yang berujung pada kebimbangan.

Senin, 30 Mei 2011

Percaya tanpa Melihat

Dalam Yoh 12: 44-50, ada dua kata penting: “Percaya” dan “Melihat” Untuk mendalami dua kata ini baik kita melihat dan mencermati kisah berikut:

1) Koran kompas hari ini menurunkan berita: Surga atau kehidupan kekal itu Cuma dongeng (Stephen Hawking).
• Kematian terjadi setelah otak berhenti bekerja dan komponennya rusak. Tidak ada kehidupan setelah itu.
•"Kita harus menemukan nilai tertinggi dari tindakan kita,"

2) Konon di suatu zaman ada seorang genius yang terus mengembara, tanpa mengenal lelah, untuk mencari Tuhan. Ia punya keyakinan Tuhan itu ada di tempat X. Ia terus berjalan dan berjalan. Dalam pengembaraannya itu, ia berjumpa dgn beberapa orang tua dan berkata kepadanya: “untuk apa kamu mencari Tuhan, jika kamu tidak percaya?”
sang genius menjawab: “saya mencari Tuhan karena saya ingin melihat-Nya. Saya ingin memastikan bahwa Tuhan memang ada.” Ia kemudian meneruskan perjalanannya. Menjelang tengah hari, ia merasa lelah, kakinya bergetar. Ia kemudian beristirahat di bawah pohon yang rindang. Ia membaringkan dirinya hendak tidur. Namun tidak lama kemudian, ada seorang tua menjumpainya dan berkata: “kalau kamu mencari Tuhan, kamu tidak akan menemukan-Nya. Karena Tuhan tidak ingin menemui anda. Tetapi, kalau kamu percaya kepada-Nya, Ia telah menemui kamu. Berbahagialah orang yang tidak melihat namun percaya.” Setelah berkata demikian, orang tua itu langsung hilang dari pandangannya.
Si genius itu, lalu diam, diam, dan diam selama beberapa hari. Sampai akhirnya ia sadar bahwa: Tuhan yang dicarinya, sebenarnya sudah ia temukan dalam hidupnya. Hanya ia tidak percaya.

Injil hari ini menegaskan: percaya kepada Yesus = percaya kepada Bapa = melihat Bapa = memeroleh hidup kekal.
Namun, barangsiapa menolak Yesus = tidak melihat Bapa = menerima hakimnya sendiri.

Kasih Yang Tetap Tinggal

Dalam Yoh 15: 9-11, ada dua kata penting yang patut kita renungkan: “Tinggal” dan “Kasih” Untuk merenungkan kedua kata itu, saya akan awali dengan sebuah kisah.

“Anak Kecil, si Malaikat”

Konon ada sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dgn satu anak yg baru berumur 6 tahun. Pada suatu hari, sang ibu mengeluh kesakitan. Ia kemudian memeriksa diri ke dokter. Dokter mendiagnosa ibu ini menderita sakit berat, yg berakibat pada kelumpuhan. Dan memang akhirnya ibu ini lumpuh.
Menyadari dirinya sudah tidak mampu lagi berbuat sesuatu untuk suami dan anaknya, ibu meminta kepada suami dan anaknya untuk meninggalkannya sendirian agar ia cepat mati tanpa harus menyiksa suami dan anaknya.
“Ayah pergilah. Bawa serta anak kita. Biarlah anak kita bahagia dengan teman barunya. Aku kasihan melihatnya” pinta sang ibu. “Kenapa?” Tanya sang suami. “Ia, ayah dan anak kita boleh menikmati hidup yg bahagia, tanpa harus mengurus orang lumpuh. Biarlah mama sendirian, toh Tuhan sudah mendampingi mama”, jawab sang istri.
Mendengar alasan itu, sang suami terdiam sejenak dan akhirnya menuruti permintaan istrinya. Ia pergi mencari kerjaan di kota. Sementara sang anak tidak mau meninggalkan ibunya. Ketika dibujuk oleh ayahnya, ia berkata: “Aku mau tinggal sama ibu. Ayah pergi saja. Aku mau ibu melihat aku besar” pinta sang anak. Sang Ibu, juga merayu si anak, agar ia pergi ke kota bersama ayahnya. Namun, si anak menjawab: “ibu, aku mau tinggal sama ibu. Meskipun ibu sakit, aku akan merawat dgn kasih, sama seperti ibu telah merawat saya.” Sang ibu menangis dan memeluk putrinya. “Trima kasih anakku” puji ibunya. “Ya, bu. Aku juga berterima kasih bu. Karena ibu mengijinkan aku untuk tinggal bersama ibu dan merasakan apa yang ibu rasakan.”
Ketika sang ayah sudah pergi ke kota dan tidak pernah kembali lagi, sang anak dengan tekun merawat ibunya. Ia memasakkan ibunya sebisanya. Setiap hari ia pergi ke hutan mencari tanaman yg kiranya bisa makan. Sampai pada suatu siang yang panas, ia merasa capek dan lelah. Ia duduk disamping keranjangnya. Tiba-tiba datang gadis cantik menghampirinya. “Kenapa anak manis?” “saya capek habis ngambil bahan masakan ini (sambil nunjuk keranjangnya)” “kenapa kamu sendirian?” “Ia. Ayah saya pergi ke kota dan tidak pernah kembali. Ibu saya sakit lumpuh. Saya harus merawatnya.” “Bolehkah saya membantumu?” “Boleh. Saya senang sekali. Apalagi kalo kakak mau tinggal di gubuk kami.”
Mereka lalu pulang. Sesampai di rumah, sang anak menghampiri ibunya. “Ibu, aku punya kakak. Ia membantu aku tadi.” Gadis cantik itu menghampiri sang ibu dan berbisik: “terima kasih sudah menerima saya di rumah yg indah ini. Mari kita duduk.” Sang ibu menjawab: “maaf nona, saya tidak bisa duduk. Saya lumpuh.” “ia saya tahu, tapi sekarang ibu boleh duduk”
Sang ibu sembuh. Sang anak lari memeluk ibunya sambil berkata: “terima kasih, ibu sudah mengijinkan saya dan kakak ini tinggal dan melayani ibu”
“Terima kasih untuk semua… terima kasih sudah mau tinggal dan mengasihi ibu yang tidak berguna ini. Kalianlah malaikat Ibu.”
Setelah itu, gadis cantik itu pamit pergi… dan menghilang dari pandangan mereka. Ternyata gadis cantik itu adalah Malaikat Penolong utusan Allah.

Bapak/ibu dari kisah ini, kita dapat memahami apa maksud Yesus mengucapkan kata tinggal dan kasih berulang kali kepada kita. Yesus mau menegaskan kepada kita bahwa:
a.) Kita mesti terlibat aktif meruangkan hati untuk mengenal, merasakan, mengalami, menghidupi hidup Yesus dan kasih-Nya dalam sikap dan perilaku kita.

b.) Kita mesti menyelaraskan, meneladani hidup-Nya dan menimba kasih-Nya, yang tidak terbatas.

c.) Kita mesti melayani-Nya dalam pelayanan kepada sesama dalam kasih yg total seperti paulus dan Bernabas, anak kecil. Sehingga kita dapat mengabarkan keselamatan dan perbuatan-perbuatan ajaib Allah dari hari ke hari.

Semoga kita dikuatkan Allah untuk melakukan itu semua.

Minggu, 10 April 2011

Semut

Di sekitar kita mungkin ada banyak semut yang berjalan beriringan bahkan saling berciuman satu sama lain. Ketika mengamati peristiwa alamiah itu, hati saya terusik oleh serangkaian peristiwa memalukan yang dilakukan oleh sebagian dari kita, manusia. Seperti pembunuhan, pengrusakan rumah ibadah, teror bom, dsj. Kita mesti malu pada semut.

Hidup semut mungkin bukan hidup yang mewah. Tetapi hidup yang penuh sahaja (bersahaja). Mereka berjalan, bekerja, dan berjuang secara bersama-sama dengan penuh tanggung jawab masing-masing. Tidak ada yang saling menjatuhkan, menghina, atau merusak tempat tinggal sesamanya. Sungguh luar biasa. Indah. Menakjubkan. Hebat.

Merenungkan peristiwa alami yang indah itu, saya teringat akan sabda seorang rasul Yesus: "Bersukacilah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis." Pesan sabda ini jelas bahwa kita sebagai manusia harus hidup saling menolong, membahagiakan, dan memperhatikan satu sama lain. Sikap cuek, egoisme, otoriter, munafik, dsj, harus dibuang jauh-jauh dari hidup kita. Seperti semut yang selalu rukun dengan kaumnya.

Marilah kita mengutamakan
kebajikan daripada ketamakan
Kebersahajaan daripada keegoisan
kemuliaan daripada kemunafikan
Kesucian daripada kebobrokan moral

"Hiduplah dengan hati yang bersyukur"

Hening

Tinggal di tepi sebuah sungai dengan suara air gemericik, membuka cakrawala batin akan pentingnya keheningan supaya kita dapat mendengar dan merasakan suara-suara "Tuhan" melalui suara-suara ciptaan-Nya yang ada di sekitar kita.

Hening memberikan kepada kita ruang yang luas untuk "menerima" keindahan Allah yang telah hadir di sekitar kita. Hanya saja, kita kurang meruangkan hati kita untuk "menerima" kesemuanya: baik-buruk, besar-kecil, tinggi-rendah, dsb.

Untuk itu, kita butuh mengheningkan 5 hal dalam hidup kita:
1. keheningan mata
2. keheningan pikiran
3. keheningan budi
4. keheningan lidah
5. keheningan hati

Dalam keheningan itu, kita meruangkan dan memberikan tempat kepada keindahan untuk masuk dan tinggal di dalam hati kita.....

Jadilah Pribadi yang hening... untuk menhasilkan keheningan-keindahan.

Rabu, 30 Maret 2011

Susah

Dalam kehidupan di dunia yang serba cepat, keras, dan kompetitif menorehkan pengalaman yang tak terlupakan dalam hidup saya, yaitu susah berjumpa dengan seseorang yang merasa diri penting. Beberapa kali saya mencoba untuk bertemu dengan seseorang pimpinan, selalu tidak ada. "Maaf, Pak, pimpinan saya sedang keluar.", jawab anak buahnya.

inilah salah satu bentuk kekerasan hidup dalam zaman yang serba keras ini. Banyak orang yang merasa diri penting dan mementingkan diri. Dia lupa tanggungjawabnya bahwa seorang pemimpin adalah seorang pelayan. Dia sok penuh kuasa dan tidak peduli dengan bawahan. Padahal dia bisa menjadi pemimpin karena ada bawahan. Inilah dalam bahasa bijak biasa disebut "telur lupa kulitnya" atau "kacang lupa kulitnya."

Perilaku yang demikian membuat orang lain dan bawahan menjadi susah. Susah urusan, komunikasi, dll.
Apakah anda orang susah????
semoga anda cepat bertobat, seperti Paulus.....

SMP YPPSB: Sekolah Adiwiyata dan SSN

Sekolah dan lingkungan hidup disekitarnya merupakan suatu jalinan ketergantungan yang saling memengaruhi satu sama lain. Sekolah dapat berjalan dengan baik ketika lingkungan di sekitarnya dapat memberikan kontribusi yang baik terhadap kehidupan sekolah. Demikian juga sebaliknya, lingkungan sekitarnya akan menjadi lebih beradab bila sekolah berhasil membekali peserta didik dengan serangkain nilai hidup, kompetensi, dan etika (moral) dalam hidup bersama. Ada interkorelasi nilai dan budaya.
Dalam konteks itu, sekolah berkomitmen untuk terus menerus menjaga, merawat, melestarikan, dan mengembangkan lingkungan di sekitarnya, terutama lingkungan sekolah. Sebab lingkungan yang sehat, rindang, sejuk, nyaman, dan indah akan mendukung terjadinya proses pembelajaran yang inovatif, kreatif, dan berdaya guna (useful learning). Di dalam lingkungan yang indah diharapkan tercipta pribadi-pribadi dengan sikap dan perilaku indah juga.
Oleh karena itu, SMP YPPSB dengan penuh komitmen mewujudkan diri sebagai sekolah Adiwiyata yang berstandar nasional (SSN). Pencapaian ini tentu menjadi perjuangan terus-menerus untuk mencapai hasil yang lebih baik. Dalam perjuangan ini, tentu dibutuhkan tanggung jawab dari semua stakeholders sekolah, tanpa kecuali, mulai dari tukang kebun sampai top management.

Berbagi dengan Setulus Hati

Pengalaman berbagi merupakan sebuah pengalaman yang sangat menyenangkan dan membahagiakan. Dalam kisah Zakheus, si pemungut cukai, kita dapat belajar betapa pengalaman berbagi dengan sesama menjadi jalan menuju keselamatan kekal. Zakheus, orang pendek dan kecil itu, sebelum berjumpa dengan Yesus, dia berusaha dan berjuang lari mendahului semua orang yang berbondong-bondong melihat Yesus. Zakheus lari dan memanjat pohon supaya dapat melihat Yesus. usahanya yang luar biasa itu akhirnya disambut oleh Yesus dengan penuh kasih. "Zakheus turunlah, malam ini juga Aku akan menginap di rumahmu."
sambutan Yesus ini menunjukkan betapa Allah begitu penuh kasih kepada semua orang, yang dengan susah payah mau datang kepada-Nya. Kasih Allah ini kemudian meneguhkan dan menguatkan Zakheus bahwa apa yang dia miliki tidak ada artinya jika Allah mau tinggal bersamanya. karena itu, Zakheus berjanji: "...kalau ada yang aku peras dari siapapun akan aku kembalikan empat kali lipat."

Dalam sharing di lingkungan, tampak betapa pengalaman berbagi diinspirasikan oleh Kasih Allah, iman, hati, dan juga rasa simpati agar mereka yang dibantu dapat memperbaiki hidupnya. Berbagi adalah indah. Dalam keindahan, kita menemukan persekutuan dengan Allah yang penuh kasih...

selamat berbagi dengan penuh kasih......