Senin, 22 Agustus 2011

Kejadianku yang Dahsyat dan Ajaib

“Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya” (Mzm 139:14)

Malam pertama menenangkan diri di rumah retret “Bukit Rahmat”, Samarinda, menghadirkan berbagai pengalaman hidup tentang dikasihi dan dicintai dengan tulus murni oleh orang tua, seperti “sang surya menyinari dunia.” Sungguh luar biasa. Sungguh mulia dan suci cinta dan kasihnya hanya demi kebahagiaan kita, anak-anaknya.
Air mata perlahan tapi pasti mengalir jatuh membasahi pipi bagaikan air terjun. Kesedihan hati meluap dalam isak tangis sesal. Pertahan dan tembok-tembok kesombongan dan keangkuhan mulai terkuak dan tertelanjangi di hadapan orang tua yang begitu baik dan sayang kepada kita. Kebohongan dan kebebalan kita terbongkar di hadapan ketulusan dan keluhuran cinta kasih mereka. Mereka menjaga dan merawat kita selama Sembilan bulan dalam kandungan. Mereka kerja membanting tulang, menahan rasa kantuk saat kita rewel atau sakit, menahan diri untuk membeli kebutuhannya demi makanan dan susu kita, rela berjalan dan mengantri berjam-jam di dokter demi kesehatan kita, bahkan rela tidak makan dan minum demi memenuhi kebutuhan harian kita.
Cinta dan kasihnya dicurahkan untuk kita tanpa “mengharap kembali.” Mereka bahagia bila kita bahagia. Mereka tersenyum dan bangga bila kita sehat dan pandai. Mereka bangga dan bahagia sekali bila kita dipuji oleh orang lain: “oh… anaknya Bapak-Ibu luar biasa baik dan pintarnya.” Mereka girang ketika kita menghargai apa yang mereka berikan kepada kita. Sungguh luhur dan agung kasihnya untuk kita, anak-anaknya. Mereka tidak pernah “mengharap kembali” apa yang telah mereka curahkan kepada kita dengan cucuran keringat dan air mata. Itu semata-mata hanya demi “hidup” kita.
Namun, pernahkah kita berterima kasih kepada mereka? Pernahkah kita berpikir untuk menghargai mereka? Atau apakah kita sudah melaksanakan apa yang mereka dambakan atau harapkan? Apakah kita sudah tersenyum kepada mereka?
Kalau kita jujur dan tulus mengakuinya, kita justru lebih banyak menyakiti mereka. Bahkan yang lebih menyakitkan hatinya, kita menghina dan meremehkan mereka. Mereka kita “lawan, fitnah, bohongi, atau bahkan permalukan di depan banyak orang” dengan sikap dan perilaku kita yang tercela dan melanggar norma-norma kesopanan. Kita “menikam” mereka dengan tindakan kita yang bodoh seperti mengonsumsi narkoba, seks bebas, malas belajar, berkelahi, tawuran, dan ugal-ugalan di jalan. Oh… sangat memalukan. Bahkan kita “menghancurkan” mereka dengan keangkuhan dan kesombongan kita. Sungguh kita bagaikan si “Malin Kundang” dan si “anak sulung” yang menghambur-hamburkan harta mereka demi memenuhi hawa nafsu kita….
Kita menutup mata hati kita terhadap pengorbanan mereka. Bahkan terhadap pengorbanan dirinya. Mereka telah rela berkorban seperti Yesus sendiri “mengorbankan nyawa-Nya demi kebahagiaan dan keselamatan kita.” Dalam dan melalui mereka, Allah menjadikan kita dahsyat dan ajaib; Allah merawat, mencintai, dan mewariskan cinta kasih-Nya yang tulus murni, tanpa syarat kepada kita. Allah mengajarkan kepada kita betapa agung dan luhurnya pengorbanan demi kebahagiaan dan keselamatan sesama. Allah mengaktualisasikan keluhuran dan kemisterian-Nya melalui perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib. Bahkan Allah berkenan merendahkan diri dan menjadi pelayan bagi kita. Seperti yang Ia tegaskan “… sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Mat 20:28; Mrk 10: 45).
Untuk itu, dalam kesunyian dan keheningan malam, kita perlu merendahkan dan membuka diri agar Allah Roh Kudus memasuki dan membongkar tembok-tembok keangkuhan, kesombongan, dan egoisme diri kita yang menjauhkan kita dari ketulusan, keluhuran, dan kesucian kasih Allah yang telah mengorbankan diri-Nya demi kebahagian dan keselamatan kita. Kita menyediakan diri diubah, disucikan, dan dibentuk oleh Allah, seperti yang Ia ingini. Kita “menjemput” dan “merangkul” orang tua kita dan memohon ampunan darinya. Sehingga kita dapat bersamanya menghidupi, mewartakan, dan melaksanakan cinta kasih Allah yang tulus dan mulia dalam sikap dan perilaku hidup kita sehari-hari. Seperti St. Paulus, kita pun dapat berujar: “… Allah menjadi semua di dalam semua” (I Kor 15: 28). “Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (2 Kor 12:10).

Bukit rahmat, 10 Agustus 2011
Pukul 23.00-01.18 Wita

Tidak ada komentar: