Senin, 26 Januari 2009

MENJADI PELAYAN

Dalam kehidupan sehari-hari, judul tulisan ini sudah tidak asing lagi bagi kita. Mungkin hampir setiap hari kita menerima pelayanan. Misalnya dari suami, istri, anak, atau teman-teman kantor. Bahkan juga tidak jarang kita memberi pelayanan. Menjadi pelayan berarti memberikan pelayanan kepada setiap orang atau tamu yang datang ke tempat dimana kita menjadi pelayan. Misalnya pelayan toko akan memberikan pelayanan, seperti menyambut pembeli dengan ramah dan senyum, membantu mencarikan barang yang mau dibeli, membungkuskan barang yang dibeli, agar pembeli atau tamu yang datang merasa nyaman dan suatu saat kembali lagi ke toko tersebut. Pekerjaan seorang pelayan adalah melayani dengan seluruh dirinya. Integral. “Saya ada untuk melayani Anda.”
Menjadi pelayan berarti berani merendahkan dan memberikan diri bagi orang lain dengan penuh cinta kasih dan pengorbanan. Seperti Yesus yang rela membasuh kaki para rasul-Nya. Demikian juga Maria yang melayani Yesus ketika Yesus datang ke rumahnya. Seorang pelayan menyediakan diri untuk orang yang dilayani supaya yang dilayani memeroleh kebahagiaan (kepuasan). Begitu mulianya pekerjaan seorang pelayan.
Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana dengan kita sebagai murid-murid Kristus, sanggupkah kita menjadi pelayan bagi sesama kita, terutama yang berkekurangan? Adakah kita melayani dengan hati yang tertuju kepada kebesaran nama Tuhan, Allah di tengah-tengah dunia ini? Adakah kita melayani dengan hati yang tertuju pada pembebasan sesama yang menderita, tersingkir, dianiaya, dan dikucilkan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas mengingatkan kita bahwa menjadi murid-murid Yesus berarti juga harus menjadi pelayan-pelayan-Nya bagi setiap orang yang ada di sekitar kita. Alkitab menegaskan: ”Saudara-saudara, … layanilah seorang akan yang lain oleh kasih” (Gal 5:13). “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah” (1 Ptr 4:10).
Menjadi pelayan Kristus berarti melayani dengan seluruh diri. Melayani dengan hati yang tertuju kepada kebesaran dan kemuliaan nama Allah, bukan kebesaran dan kekayaan diri. Kita menjadi Pelayan, seperti Yesus yang “memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Mat 20:28). Pelayan yang mengosongkan diri demi kepenuhan dan keselamatan yang dilayani.
Mengosongkan diri berarti membiarkan diri ditarik, digerakan dan dipenuhi oleh kekuatan Allah. Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus dengan indah melukiskan hidup yang digerakan dan dipenuhi oleh kekuatan Allah. “Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (2 Kor 12:10). Dengan mengosongkan diri (Kenosis) berarti kita memersilahkan Allah menguasai dan mendayagunakan diri kita seutuhnya sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Dengan mengosongkan diri, seseorang berhasil mencapai puncak kepenuhan dirinya, yaitu mengalahkan keinginan-keinginan dirinya, seperti keangkuhan diri, kesombongan diri, egoisme, dan sifat ingin dihormati. Kita menjadi manusia yang digerakan oleh Roh. Rendah hati, suka menolong, jujur, tanggung jawab, empati, simpati, terbuka, tulus, dan mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan dirinya.
Yesus menegaskan: "Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya" (Mrk 9:35). Ini berarti menjadi pelayan berarti memberikan diri untuk kebaikan dan kebahagiaan orang yang dilayani. Pelayanan harus dilakukan secara total dan tanpa pamrih. Tanpa memandang siapa yang dilayani. Tanpa memedulikan harta atau imbalan. Sebab semua yang dilakukan dan dikerjakan semata-mata demi kemuliaan nama Tuhan (ad maioram Dei gloriam).
Seorang pelayan yang bersekutu (ditarik, digerakan, dan dipenuhi) dengan Allah, melayani dengan hati yang tertuju kepada Allah. Ia tidak memilih tempat pelayanan. Ia menerima dimana pun ia ditempatkan. Fokus pelayanannya adalah keselamatan orang yang dilayaninya. Bukan kehormatan, harga diri, harta, atau prestisenya. Dalam melayani, ia tidak bertanya: ”Apa yang saya peroleh atau dapat dari apa yang saya lakukan/kerjakan pada orang lain?” Tetapi ”Bagaimana Ia dapat membebaskan, menyelamatkan, dan membahagiakan orang-orang yang dilayaninya?” Fokus pelayanannya adalah kebutuhan dan kepentingan orang yang dilayani.
Untuk menjadi seorang pelayan Allah dibutuhkan minimal tiga hal, yaitu (1) keberanian untuk mengosongkan diri dari keangkuhan diri, keinginan untuk menerima lebih (harta), kesombongan diri, egoisme, dan sifat ingin dihormati; (2) keberanian untuk menjadikan umat (orang yang kita layani) sebagai fokus dari seluruh pelayanan kita. Umat (orang yang kita layani) adalah ibarat harta surgawi yang tidak akan pernah pudar oleh panas teriknya matahari atau oleh derasnya hujan dan ganasnya badai. Seorang pelayan harus menempatkan orang yang dilayaninya sebagai partner dalam mencapai kesempurnaan diri. (3) memiliki hati yang tertuju kepada kebesaran nama Allah. Bukan kebesaran diri, kekayaan diri, atau keuntungan diri. ”Kalau demikian apakah upahku? Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil” (1 Kor 9:18). ”Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya” (Kol 3:24) .

Selamat melayani.

NATAL: Kebersahajaan dan Ketulusan

Natal (natalis, natalitas) berarti kelahiran. Kelahiran terjadi karena adanya proses atau rencana yang disiapkan, diharapkan, dan didambakan. Kelahiran berarti hadirnya yang (makhluk) baru di tengah-tengah keluarga, masyarakat, maupun bangsa. Kelahiran menyiratkan adanya kehidupan, kebahagiaan, kedamaian, dan sukacita yang besar. Dalam suasana damai, bahagia, dan sukacita itu, kehidupan dirayakan dengan penuh makna dan nilai.
Demikian juga kelahiran Yesus, yang diperingati setiap tanggal 25 Desember, . telah dipersiapkan oleh Allah, diwartakan oleh para nabi, dan dinanti-nantikan oleh bani Israel sebagai Mesias (Kristus). Mesias berarti ”yang diurapi oleh Allah.” Kelahiran-Nya dipersiapkan melalui: pertama, mengutus para nabi untuk mewartakan bahwa akan datang seorang Mesias dari keturunan Daud dan kerajaan-Nya tidak akan pernah berakhir. Ia akan menebus, menyelamatkan, dan membaptis dengan Roh Kudus. Kedua, Allah memilih seorang Perawan Nazareth, Maria, yang hidup sederhana, suci, tulus, bersahaja, dan percaya total kepada Allah untuk mengandung Yesus. Ketiga, Allah mengutus Malaikat Gabriel untuk menyampaikan kehendak-Nya kepada Maria bahwa ia akan mengandung dari Roh Kudus. Dan anak itu akan disebut kudus, Putra Allah yang mahatinggi (Luk 2: 26-38). Keempat, Allah mengutus Malaikat kepada Yusuf untuk mengambil Maria sebagai istrinya. Malaikat menyakinkan Yusuf bahwa anak yang di dalam rahim Maria adalah dari Roh Kudus. Kelima, Yusuf mengambil Maria sebagai istrinya. Mereka kemudian mengikuti sensus penduduk. Dalam perjalanan sensus itu, Maria melahirkan Yesus di sebuah kandang domba yang hina, ”kotor”, dan jauh dari kemewahan kota.
Kelahiran-Nya di kandang yang hina di Betlehem memancarkan pesan kedamaian, kesederhanaan, kebersahajaan, ketulusan, dan kehidupan rohani yang tulus, yang jauh dari kemewahan, jauh dari hingar-bingar keduniawian. Ia tidak datang dari dan ke dunia yang penuh kemewahan. Ia datang untuk masuk, hidup, terlibat, dan tinggal bersama yang miskin, menderita, disingkirkan, dan yang diperlakukan tidak adil. Seperti ditegaskan-Nya: "Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang" (Luk 4:18-19)

Makna Natal
Natal bukan sekadar nyanyian, pakaian baru, dan tarian. Juga bukan hanya pesta dan makan minum. Makna Natal jauh lebih dalam dari semua itu. Pertama, Allah berinisiatif membuka diri untuk menjalin dan memulihkan kembali hubungan manusia yang retak, bahkan terpisah dari diri-Nya akibat dosa. Allah berkenan menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada manusia agar manusia tidak binasa.
Kedua, Allah berkenan merendahkan diri dan turun-masuk ke dalam dunia (manusia) yang penuh dosa, kejahatan, dan kemunafikan. Allah ingin terlibat dalam seluruh hidup manusia dan merasakan suka duka hidup manusia: lapar, haus, menderita, sakit, “kotor”, dan gelap. Dengan keterlibatan dan kebersamaan-Nya itu, Ia membersihkan, menyucikan, dan membebaskan-menyelamatkan manusia dari kegelapan dosa. Seperti ”terang yang mengusir kegelapan malam.” Inilah solidaritas Allah kepada manusia. “Yesus lahir untuk semua dan di dalam semua.”
Ketiga, Allah hendak mengangkat manusia menjadi putra-putri-Nya yang terkasih, yang bersama-Nya menerangi dunia dengan cinta kasih, kedamaian, sukacita, kesederhanaan, kesetiaan, kebersahajaan, pengosongan dan pengorbanan diri. Ia mau mengangkat harkat manusia yang diinjak-injak oleh orang-orang yang angkuh. Ia mau menjadikan manusia-yang paling hina, kotor-sebagai sahabat-Nya. “Apa saja yang kamu lakukan untuk salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, itu kaulakukan untuk Aku.”
Keempat, Allah menghendaki kita untuk menjadi sederhana, tulus, bersahaja, dan memiliki kehidupan rohani yang tulus di tengah-tengah kehidupan dunia yang semakin materialistis-hedonistis dewasa ini. Artinya kita hidup bukan sekadar hura-hura, bukan perselisihan, bukan pertengkaran, bukan kebencian, dan bukan pula saling bunuh. Tetapi, hidup ini adalah kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama.
Kelima, kemuliaan hidup dapat diraih melalui hidup sederhana, tulus, dan bersahaja. Hidup sederhana dihadapan Allah tidak berarti tidak punya apa-apa, tetapi lebih pada keterbukaan kita pada kekuatan Allah. Kita memberikan diri ditarik dan dikuasai Allah. Dengan hidup seperti ini, kita bersama Maria berujar: ”Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut parkataanmu itu” (Luk 1: 38). Kita saling menghadirkan wajah Allah kepada yang lain.

Tantangan Bagi kita
Bagaimana dengan kita? Beranikah kita hidup sederhana dan bersahaja? Mampukah kita menghadirkan wajah Allah yang ramah dan penuh cinta kasih kepada sesama kita? Beranikah kita merendahkan diri untuk membantu saudara-saudari kita yang terpinggirkan, terbuang, dan disingkirkan? Beranikah kita menyuarakan kebenaran dan keadilan untuk semua?
Akhir-akhir ini, keberadaan kita sebagai pribadi yang luhur, tampaknya menemui titik rendah. Demi kekuasaan, demi uang, demi prestise, demi keindahan kota, hak hidup seseorang dapat kita rampas dengan kejamnya. Kita menjadi serakah, egois, dan cenderung beorientasi pada “yang penting aku hidup, berkuasa, kaya, peduli amat orang lain.” Hedonisme, materialisme, dan darwinisme menguasai hidup kita. Akibatnya, kematian prematur selalu menunggu di depan mata. Dan korbannya adalah yang lemah, yang terbuang, dan yang terpinggirkan.
Kehadiran Allah tentu tidak dapat dibatasi atau dibentengi oleh sekat-sekat pemisah seperti status sosial, ekonomi, atau agama. Allah hadir dalam diri setiap orang, tanpa terkecuali – kaya-miskin, besar-kecil, kuat-lemah. Kehadiran-Nya memancarkan kesederhanaan, ketulusan, kejujuran, dan kasih bagi semua orang. ''Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri, dan kasihilah Tuhan Allahmu dengan sepenuh hatimu dan sepenuh akal budimu.'' Mengasihi Tuhan, berarti juga harus mengasihi sesama kita. “Bagaimana kita dapat berkata bahwa kita mencintai Allah yang tidak kelihatan, sementara saudara yang kelihatan kita benci atau bahkan kita siksa!” Kalau ini yang terjadi berarti kita munafik.
Allah tidak mencintai kekerasan. Allah tidak mencintai pembunuhan, penganiayaan. Allah tidak menuntut kita untuk menguasai orang lain dengan dalih uang, suku, agama, ras, atau golongan. Allah menuntut kita untuk mencintai Diri-Nya dan semua ciptaan-Nya, tanpa terkecuali.
Oleh karena itu, alangkah indah bila pada peringatan Natal kali ini, kita menghadirkan, menghidupkan, dan mengobarkan kembali kasih Allah kepada umat manusia. Kasih Allah yang memancarkan kesederhanaan, kesetiaan, ketulusan, kebersahajaan, dan keindahan. Kasih Allah yang menerima, menghargai, mencintai, dan menghormati setiap orang apa adanya. Seperti Yesus lahir di tempat apa adanya.
Mari kita menjadikan diri kita penuh kasih, sederhana, tulus, setia, dan bersahaja bagi setiap orang, kapan dan dimana saja. Bukan manusia penuh kebencian, keangkaramurkaan, dan keserakahan. Mampukah kita?
Selamat Natal dan Tahun Baru, semoga kelahiran Yesus menghadirkan cinta kasih tanpa syarat kepada semua ciptaan-Nya.

Pendidikan Pembebasan

Refleksi kritis atas kiprah sekolah (pendidikan) dalam membina manusia-manusia muda, melahirkan berbagai macam metode dan teori pembelajaran yang pada masanya menjadi sangat penting dan diyakini cukup efektif mengembangkan kemampuan dasar siswa. Masing-masing metoda dan teori memiliki kelemahan dan keuntungannya. Meskipun demikian, semuanya mengacu pada tujuan yang sama, yakni siswa berhasil mengembangkan potensi diri dan menyelesaikan pendidikannya pada setiap jenjang yang diikutinya.
Improvisasi pada praktik di lapangan ditentukan oleh sumber daya manusia (SDM) sekolah dan faktor budaya (kultur) masyarakat yang dilayani. Soliditas dan keterbukaan untuk saling mengoreksi (corectio fraterna) antarsemua SDM sekolah menjadi hal sangat penting untuk mencapai tujuan pendidikan. Kejujuran, perhatian, dan penghargaan terhadap guru menjadi kunci terbangunnya pendidikan pembebasan, yaitu pendidikan yang membebaskan manusia-manusia muda dari berbagai macam persoalan hidup yang melingkupinya. Pendidikan yang mengembalikan fungsi manusia menjadi manusia sehingga mereka terhindar dari berbagai bentuk penindasan, kebodohan, dan ketertinggalan (Freire, 2002).
Pendidikan pembebasan dapat diimplementasikan bila SDM sekolah – terutama penentu kebijakan - memiliki pola pikir, pola asuh, pola laku, dan tentu saja pola kebijakan yang membebaskan terbangunnya ruang-ruang kreativitas, komunikasi yang fair dan dialog partisipatif antarsemua stakeholders. Ini berarti segala bentuk irasionalitas pendidikan, seperti pemalsuan data, pembedaan-pembedaan perlakuan, pelecehan hakekat kemanusiaan, indoktrinasi atas nama otoritas, penyempitan (pembatasan) akses-akses teknologi (internet) atas nama kedisiplinan, atau pem-black list-an pada teman sekerja harus segera dihapuskan. Karena bentuk-bentuk ini adalah wujud konkrit betapa primitif, konservatifnya, dan tidak logis-bijaknya pola pikir, pola tindak, dan pola sikap kita dalam menyingkapi kritisnya analisis-evaluasi atas suatu kebijakan yang tidak diekspos kepada seluruh stakeholders.
Pendidikan pembebasan menfokuskan perhatiannya pada realitas sosial yang tidak adil, yang menindas, dan yang menyebabkan manusia mati sebelum waktunya (kematian prematur). Artinya pendidikan dalam segala bentuknya harus membebaskan manusia (anak didik) dari realitas sosial yang tidak adil, dan dengan demikian mereka dapat mengambil peran dan tanggungjawab untuk membebaskan masyarakatnya dari ketidakadilan, penindasan, dan kekerasan (fisik, psikologis).
Persoalannya adalah beranikah kita menumbuhkan dan mewadahi pemikiran-pemikiran pembebasan dalam praksis pembelajaran kita? Beranikah kita bersikap dan bertindak fair terhadap pertanyaan, respons, dan evaluasi-masukan dari team kerja kita? Beranikah kita menjadikan lembaga pendidikan ini sebagai tempat belajar mencintai orang lain, tempat belajar berbagi bersama orang lain, tempat belajar menghargai hak-hak orang lain, dan tempat mendewasakan diri kita? Sebab menurut Khrisnamurti (Butler-Bowdon, 2005: 181-183), ”pendidikan adalah tentang cara mencintai, cara hidup sederhana, cara membebaskan pikiran kita dari prasangka, takhyul, dan rasa takut.” Pendidikan harus mendewasakan manusia secara integral (holistik). Artinya manusia-manusia muda dibimbing, dibina, dibentuk, dikembangkan, dan diarahkan pada usaha penemuan diri yang sejati, diri yang otentik di tengah-tengah dunia yang kompleks. Manusia-manusia muda memiliki kepribadian yang seimbang. Ia menjadi manusia yang utuh. Seperti yang ditegaskan Zukav (Butler-Bowdon, 2005: 398) bahwa ”ketika kepribadian berada dalam kesimbangan total, Anda tidak bisa melihat di mana akhir kepribadian dan awal jiwa. Itulah manusia yang utuh.”
Namun, sangat disayangkan proses pendidikan kita nihil eksplorasi dan semata-mata menekankan pada pencapaian nilai raport, lulus ujian. Akibatnya, anak-anak didik kita menutup diri dari tipe-tipe kebenaran yang lain. Seperti yang dikatakan Zukav (Butler-Bowdon, 2005: 399) ”jika kita menjalani kehidupan kita hanya sebagai makhluk berpancaindra, hanya menerima kebenaran dari hal-hal yang bisa kita lihat, dengar, rasa, cium, atau sentuh, berarti kita menutup diri kita dari tipe-tipe kebenaran yang lain.”
Realitas ini menunjukkan bahwa pendidikan kita belum sepenuhnya menjadi media pembebasan bagi anak-anak didik untuk keluar dari keterpurukan penemuan diri dan kemiskinan aktualisasi diri. Mencuri, berkelahi, dan penyimpangan seksual adalah contoh real yang terjadi pada anak-anak kita. Ini sangat bertentangan dengan hakikat pendidikan, yaitu mengeksplorasi dan mengembangkan potensi anak didik secara integral-menyeluruh. Inilah pekerjaan rumah kita.

Sekolah dan Peranan Masyarakat

Sekolah diyakini sebagai salah satu institusi atau lembaga yang paling efektif dalam membentuk, mengajari, dan membina manusia-manusia muda ke arah penemuan diri yang otentik, yaitu diri seutuhnya. Diri aktual. Integral. Utuh. Tanpa topeng-topeng perlindungan diri. Proses penemuan diri yang otentik diraih melalui serangkaian interaksi yang sifatnya personal (interaksi ke dalam diri) dan sosial (interaksi keluar dengan lingkungan, sesama).
Dalam interaksi personal, individu mengadakan ”perjalanan ke dalam diri” untuk menyelami dirinya secara integral. ”Who am i?”. Sehingga individu dapat memahami kelemahan (weakness) dan kekuatannya (strength). Dalam interaksi sosial, individu mengeksplorasi dirinya ke luar untuk saling belajar menerima dan sekaligus memberi satu sama lain bagi terbentuknya gambar diri yang ideal. Berhasil tidaknya interaksi ini (personal dan sosial) tentu tidak dapat dilepasbebaskan dari pengaruh-pengaruh lingkungan, kondisi keluarga, teman sebaya, dan kemampuan diri untuk mengeksplorasi segala potensinya.
Dalam dinamik ini, keterlibatan masyarakat (orang tua siswa dan masyarakat pada umumnya) dalam proses memanusiakan manusia-manusia muda perlu segera direalisasikan. Masyarakat, dengan segala kemampuan dan keterbatasannya, dituntut terlibat aktif dalam proses pembinaan manusia-manusia muda agar manusia-manusia muda menjadi pribadi-pribadi yang tumbuh dan berkembang secara integral.
Keterlibatan masyarakat dalam pendidikan (sekolah) membuka dialog partisipatif-konstruktif bagi terbangunnya proses pendidikan egaliter. Pendidikan menjadi tanggung jawab seluruh stakeholders sekolah dan seluruh elemen masyarakat. Peran serta masyarakat dalam pendidikan ini melahirkan konsep pendidikan partisipatoris, yaitu pendidikan yang mengedepankan sinergi atau partisipasi aktif masyarakat yang ada disekitarnya. Artinya masyarakat terlibat aktif dalam merencanakan dan mengembangkan sekolah sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan global. Bersama Guru, Siswa, Yayasan, (dan Pemerintah), masyarakat menjadi pilar menuju sekolah yang bermutu tinggi.

Empat Pilar Sekolah
Bermutu atau tidaknya kualitas sekolah dipengaruhi minimal oleh empat faktor: Pertama, Guru. Guru adalah ujung tombak maju mundurnya atau bermutu tidaknya sebuah sekolah. Ia menjadi key person yang menentukan bagaimana, kemana, dan untuk apa pembelajaran dilaksanakan. Ia mengetahui bagaimana manusia-manusia muda perlu dipersiapkan agar dapat bertahan hidup di tengah-tengah arus ”siapa cepat, dia dapat. Siapa kuat, dia selamat.” Untuk itu, ia harus handal dan kompeten agar dapat mendesain dan menterjemahkan kegiatan pembelajaran secara bermakna (meaningful) dan bermanfaat (useful). Tanpa guru yang handal dan kompeten, mustahil suatu sekolah memiliki mutu tinggi. Karena itu, guru harus dihargai dan dipelihara secara optimal, baik segi fisik-material maupun segi psikologisnya. Penghargaan terhadap guru berarti penghargaan terhadap pendidikan.
Kedua, Masyarakat. Masyarakat yang dimaksudkan adalah orang tua siswa dan warga masyarakat yang ada di sekitar lingkungan sekolah. Sebagai pengguna jasa pendidikan, masyarakat memiliki peranan yang sangat penting dalam terciptanya pendidikan yang berkualitas. Salah satu sumbangan konkret yang dapat diberikan adalah dengan menyediakan atau menciptakan lingkungan keluarga dan lingkungan sosial yang kondusif, aman, dan tenang bagi proses pendidikan manusia-manusia muda. Bukan hanya itu, masyarakat juga dapat berpartisipasi sebagai penyandang dana dan sumber belajar. Dalam hal ini masyarakat menjadi teman sekerja atau partner sekolah. ”Masyarakat membutuhkan sekolah, sekolah membutuhkan masyarakat.” Terbangun relasi-komunikasi timbal balik. Relasi yang saling membutuhkan dan membangun.
Ketiga, Siswa. Sekolah ada dan tetap eksis karena ada siswa. Tanpa siswa, sekolah tidak ada. Yang ada hanya gedung. Bersama guru, siswa menentukan warna dan kualitas sekolah. Siswa dan guru yang kompeten, handal, cerdas dan berbakat akan menjadikan sekolah sebagai sekolah yang berkualitas. Siswa menjadi subjek yang belajar, sementara guru adalah subjek yang mengajar. Keempat, Yayasan. Yayasan berfungsi sebagai fasilitator sekolah. Seperti memenuhi kebutuhan guru, sarana prasarana pembelajaran, dan perencanaan keberlangsungan sekolah. Dalam banyak hal, yayasan menjadi pelayan sekolah.
Keempat pilar tersebut terkait satu sama lain. Masing-masing menyumbangkan kontribusinya bagi keberlangsungan kehidupan sekolah. Keempatnya perlu menjalin kolaborasi-sinergis demi kemajuan sekolah. Yang satu harus dilengkapi oleh yang lain. Singkatnya, masing-masing pilar harus memberikan kontribusinya masing-masing sesuai dengan bidang, tanggung jawab, dan kompetensinya.

MENCINTAI PASANGAN

TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." (Kejadian 2:18)

Orang tua saya mungkin adalah pasangan yang paling bahagia dan setia dalam menjalani hidup perkawinan mereka. Mereka saling mencintai pasangannya secara total dan tanpa syarat. Ayah mencintai ibu dengan setia sampai ayah meninggalkan dunia ini. Demikian juga ibu mencintai ayah dengan seluruh hidupnya.
Selama hidup bersama, kurang lebih 50 tahun, ayah dan ibu begitu bahagia dan menjalani hidup bersama dengan penuh cinta. Setiap hari, saat mau berangkat dan sepulang kerja, ibu sudah menyiapkan secangkir kopi untuk ayah. Sementara ayah menikmati kopinya, ibu dengan penuh cinta menyiapkan makan di dapur untuk ayah dan kami anak-anaknya.
Dalam suasana yang penuh kasih dan cinta, makanan yang sederhana menjadi begitu nikmat. Senikmat anugerah Allah yang tercurah dalam hidup kita. ”Tidak ada yang paling membahagiakan ketika kita hidup saling mencintai, rukun dan damai”, tutur ayah. ”Hidup yang penuh cinta dan saling percaya satu sama lain adalah kunci hidup bahagia. Bukan harta yang membahagiakan kita, tetapi cinta dan kasih sayang yang tanpa batas kepada siapa saja yang kita cintai”, lanjut ibu. ”Dalam hidup saling mencintai dan mengasihi satu sama lain, kita dapat memelihara komitmen dengan penuh tanggung jawab”, tegas ayah.
Menurut saya, hidup perkawinan ayah dan ibu dapat berlangsung secara utuh dan bahagia sepanjang hayat karena didukung oleh empat faktor: (1) cinta yang total dan tanpa syarat pada pasangannya, (2) perhatian, penerimaan, dan pelayanan yang penuh cinta dan kasih sayang, (3) kesetiaan pada komitmen bersama (saat membangun keluarga). Komitmen perlu terus dikobarkan dalam setiap perjalanan hidup, dan (4) motion (gerakan) di dalam hati dan pikiran bahwa ”pasanganku adalah yang terbaik dan terhebat dalam seluruh hidupku.”
Anda pun dapat melakukan hal yang sama dengan ayah dan ibu saya. Ketika anda memilih seseorang untuk anda cintai dan anda jadikan sebagai pendamping, maka anda perlu memiliki cinta, perhatian, komitmen, dan motion yang total dan tanpa syarat pada pasangan anda. Bahwa pasangan anda adalah yang terbaik dan terhebat dalam hidup anda.
Ketika ini anda lakukan, anda tidak akan mudah terpengaruh oleh gesekan-gesekan dari luar, karena dari dalam diri anda, anda sudah memiliki cinta dan kasih sayang yang penuh dan total untuk pasangan anda. Anda mencintai pasangan anda sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Anda mengenal dan memahami pasangan secara mendalam. Anda memahami karakteristik dan kepribadiannya. Sehingga betapa pun ”hijaunya rumput tetangga”, anda tidak akan tergiur olehnya. Mungkin anda hanya akan tersenyum dan menghormatinya karena pasangan anda adalah yang terbaik, terindah, dan terhebat dalam seluruh hidup anda.
Cintailah, cintailah, dan cintailah pasangan anda seperti Tuhan mencintai anda tanpa henti. Setialah pada pasangan anda seperti Tuhan yang setia tanpa syarat pada anda.
Tuhan berfirman:
Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku untuk selama-lamanya dan Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku dalam keadilan dan kebenaran, dalam kasih setia dan kasih sayang. Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku dalam kesetiaan, sehingga engkau akan mengenal TUHAN. (Hosea 2:19-20)

MEMAHAMI PERKAWINAN

Beberapa bulan yang lalu, saya diundang oleh kelompok Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) untuk membahas masalah kehidupan perkawinan berdasarkan ajaran Gereja Katolik. Latar belakang dari gagasan ini konon lahir dari keprihatinan mereka terhadap kehidupan berkeluarga kristiani, yang mulai kurang harmonis, seperti pisah ranjang, menikah lagi padahal pasangan pertamanya masih hidup.
Realitas ini menguak kesadaran mereka akan pentingnya hidup berkeluarga yang harmonis, yang dihiasi oleh sikap hidup yang saling memberi, memerkaya, menerima, dan membahagiakan satu sama lain. Bukan hanya berhenti di situ. Mereka bahkan melangkah lebih dalam, yaitu “mengekalkan ikatan perkawinan.”
Kesadaran ini, bagi saya, sangat baik dan penting sekali bagi kelangsungan kehidupan perkawinan yang damai, egaliter, penuh cinta, dan dihargainya kesederajatan. Terutama lestarinya ikatan perkawinan yang monogam dan tak terceraikan.
Perkawinan yang monogam dan tak terceraikan menegaskan bahwa seorang pria hanya boleh melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita. Demikian sebaliknya. Seorang pria atau seorang wanita tidak boleh melangsungkan perkawinan secara Gerejani dengan ½ pria atau ½ wanita. Mereka hanya boleh melangsungkan perkawinan secara Gerejani dengan satu orang pria atau satu orang wanita sampai akhir hayat. Perkawinan bersifat kekal dan sakramen. Tidak dapat dipisahkan oleh apa pun juga, kecuali oleh kematian (yang wajar: tidak disengaja). Karena perkawinan itu dikehendaki dan diberkati oleh Allah sendiri.
Sifat perkawinan ini menegaskan bahwa hidup berkeluarga menjadi medium persatuan mesra antara Allah dengan manusia melalui persatuan mesra antarpasangan. Karena melalui perkawinan, suami istri menjadi tanda kasih Allah dan menghadirkan kasih Allah bagi dunia. Suami istri mewujudkan cinta Kristus kepada Gereja-Nya.
Untuk itu, perkawinan bukanlah lembaga untuk memerlakukan pasangan dengan semena-mena. Perkawinan adalah lembaga atau institusi suci yang dikehendaki dan diberkati oleh Allah. Melalui perkawinan, suami isteri dipanggil untuk saling mencintai secara timbal balik, total dan menyeluruh, saling memberi dan menerima yang diungkapkan dalam persetubuhan yang dilakukan secara manusiawi dengan memerhatikan kondisi dan situasi pasangannya penuh pengertian, dilakukan secara suka rela, tanpa ada paksaan. Hubungan suami isteri bukan hanya menunjukkan kesatuan fisik biologis, tetapi juga kesatuan hati, kehendak, perasaan dan visi, yakni mengusahakan kebahagaiaan dan kesejahteraan bersama. Persetubuhan ini merupakan peneguhan dan pembaharuan janji perkawinan.
Perkawinan melambangkan Perjanjian Kasih Allah dan UmatNya. Perkawinan melambangkan dan bersumber pada Hubungan Kristus dengan Gereja. Melalui perkawinan, Allah menempatkan manusia sebagai co-creator bagi dirinya dan dunianya. Allah mengangkat dan merahmati suami-istri dengan cinta kasih dalam Kristus.

MEMAKNAI CINTA

“Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya. Sekalipun orang memberi segala harta benda rumahnya untuk cinta, namun ia pasti akan dihina” (Kidung Agung 8:7).

Hidup adalah cinta. Cinta melahirkan kehidupan. Kehidupan melestarikan dan melaksanakan cinta. Makhluk hidup saling menyempurnakan cinta. Dalam cinta segala sesuatu menjadi indah dan membahagiakan. Cinta adalah roh jiwa yang menyejukan, menyegarkan, membahagiakan, dan mendamaikan. Cinta mengalahkan sifat dengki, iri hati, perselisihan, amarah, kepentingan diri sendiri, fitnah, bisik-bisikan, keangkuhan, perseteruan, perselisihan, amarah, dan perpecahan.
Untuk memahami arti cinta yang membebaskan, di bawah ini saya bagikan pengalaman cinta yang kami bangun dengan penuh sukacita dan kedamaian di tengah-tengah derasnya arus kehidupan. Di tengah-tengah dunia yang mendewakan harta benda. Semoga pengalaman ini dapat menjadi inspirasi bagi anda.

Beberapa bulan yang lalu, saya mulai menjalin cinta dengan seseorang gadis Toraja yang oleh banyak temannya dianggap sebagai seorang pribadi yang ramah, baik hati, dan penuh pengertian. Perkenalan kami diawali dengan sms-smsan. Lalu telpon-telponan. Kemudian kami sepakat bertemu untuk pertama kalinya pada Cafe semalam KPC di Town Hall.
Pertemuan kami berlangsung amat singkat karena pasangan saya harus melayani para pengunjung Cafe. Maklum di setiap kegiatan seperti itu dia selalu menjadi orang penting. Meskipun singkat, pertemuan itu menjadi awal yang melahirkan cinta yang tulus di antara kami.
Perlahan, namun pasti, hubungan kami menjadi semakin intensif. Semua yang kami lalui menjadi begitu menyenangkan dan membahagiakan. Hari-hari kami lalui dengan saling berbagi suka dan duka. Setiap saat, kami selalu memberikan diri untuk diperkaya oleh pasangan. Kami saling memahami, mengerti, dan mencintai secara total satu sama lain. Cinta yang kami miliki, kami berikan sepenuhnya kepada pasangan. Kami percaya bahwa pasangan kami adalah anugerah Tuhan yang sangat istimewa dalam hidup ini.
Untuk itu, kami membangun komitmen bahwa ”diriku dengan segala kelemahan dan kekurangannya kuberikan hanya untukmu seorang, seperti Tuhan Yesus memberikan seluruh diri-Nya untuk keselamatan dan kebahagiaan kita.” Dengan komitmen ini, kami saling melengkapi, menjaga dan memelihara hubungan kami agar tetap berada pada rel yang kami kehendaki.
Hal sederhana yang kami lakukan setiap hari untuk mengobarkan api cinta di dalam hati adalah dengan olah raga bersama, makan bersama, rekreasi bersama, dan ke gereja bersama. Kebersamaan ini menjadi bahan bakar cinta kami – seperti mesin hanya dapat hidup kalau ada bahan bakarnya - sehingga cinta kami senantiasa menyala dan berkobar.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah mengomunikasikan dan mendiskusikan secara terbuka segala bentuk perbedaan yang ada diantara kami, seperti kebiasaan, adat, kesenangan, atau prinsip hidup. Hal ini kami lakukan untuk saling memahami satu sama lain secara mendalam. Makhlum kami adalah pasangan yang berbeda budaya. Saya dari Bali, sementara pasangan saya dari Toraja. Dengan saling memahami, hidup kami menjadi bahagia dan menyenangkan. Cinta adalah rahmat pembebasan dan pemenuhan hidup.

Memaknai cinta memang tidak dimulai dari hal-hal yang besar. Memaknai cinta diawali dengan sikap saling menerima dan memberi secara total pada pasangan kita. Artinya kita memberikan diri kita apa adanya demi orang yang kita cintai supaya kita dan orang yang kita cintai memperoleh kebahagiaan.
Di samping itu, makna cinta yang sesungguhnya juga harus digali dengan membangun komitmen bersama dan menciptakan kebersamaan hidup setiap hari. Cinta yang sejati adalah cinta yang rela memberi dan membahagiakan orang yang dicintai. Cinta yang sejati adalah cinta yang rela berkorban demi kebahagiaan orang yang dicintai. Cinta yang sejati adalah cinta yang tulus, tanpa pamrih, dan penuh tanggung jawab. Inilah makna cinta. Dengan cinta lahirlah kehidupan, kebahagiaan, damai sejahtera, sukacita, pengampunan, kejujuran, dan kerendah-hatian. Siap sedia menjadi pelita di kala gelap, penyejuk di kala panas, penyegar di kala haus. CINTA MENGALAHKAN KEMATIAN. CINTA MELAHIRKAN KEHIDUPAN. Cinta adalah kekuatan yang maha dahsyat..

Mencintai adalah meletaKkan kebahagiaan kita di dalam kebahagiaan pasangan kita. Jalan yang dilalui cinta sejati tidak pernah mulus, penuh luka dan sakit karena cinta akan membuka hati kita bahkan ketika hati kita sekeras batu.

Selamat memaknai cinta anda....

Manusia, Tanggung Jawab, dan Tubuhnya

Keberadaan manusia di dunia ini sejak semula dikehendaki oleh Allah. Dalam kisah penciptaan (Kej 1: 26-30), diceritakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah menurut rupa dan gambar-Nya sendiri. Itu berarti manusia serupa dan segambar dengan Allah. Manusia adalah imago Dei.
Secara kronologis, manusia adalah ciptaan yang terakhir (hari ke-6, sebelum Allah beristirahat). Sebagai ciptaan yang terakhir, tidak berarti manusia menjadi yang terbelakang, terhina, atau terpinggirkan. Justru malah sebaliknya, manusia menjadi yang pertama dari semua ciptaan lainnya. Ia menjadi begitu istimewa di atas segala ciptaan lainnya. Seperti yang disabdakan Yesus: ”Yang terakhir akan menjadi yang terdahulu” (Mat 19:30; 20:16; Mrk 9:35; 10:31).
Penciptaan manusia memang menjadi begitu istimewa dan eksklusif dihadapan Allah bila dibandingkan dengan ciptaan-ciptaan lainnya. Eksklusif karena Allah menciptakannya serupa dan segambar dengan diri-Nya dan menempatkannya di taman Firdaus. Allah juga memberikan kuasa kepada manusia untuk menamai semua tumbuh-tumbuhan dan binatang. Manusia menjadi ”penguasa” atas semua ciptaan lainnya.
Kehadiran manusia sebagai ”penguasa” atas ciptaan-ciptaan lain menegaskan bahwa manusia memiliki kemampuan seperti Pencipta-Nya. Karena itu, Allah menjadikan manusia sebagai partner-Nya dalam memelihara, mengembangkan, dan melestarikan ciptaan-ciptaan lainnya. Menjadi partner berarti manusia menjadi teman sekerja Allah di dunia ini. Manusia menjadi sahabat Allah yang memiliki hakekat keallahan. Dalam dirinya Allah hadir menjumpai ciptaan-ciptaan lainnya. Allah membimbing manusia melalui bisikan suara hati/hati nurani agar manusia tetap berada dalam rengkuhan atau pelukan kasih Allah. Dalam teologi moral dijelaskan “Suara hati adalah suara Tuhan.” Tuhan bekerja dalam diri manusia supaya manusia tetap menjadi ”anak-anak-Nya yang terkasih.”

Tanggung jawab
Sebagai sahabat-partner Allah, manusia diserahi tanggung jawab untuk ”berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi" (Kej 1:26). Manusia menjadi co-creator bagi dunia.
Besarnya tanggung jawab yang harus diemban manusia, menggugah kesadaran Allah bahwa manusia tidak baik kalau seorang diri saja. Ia membutuhkan seorang penolong, yang setia menemani dan membantunya. Allah kemudian menjadikan seorang penolong yang sepadan dengan dirinya. ”TUHAN Allah berfirman: ’Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia’" (Kej 2:18).
Lahirnya seorang penolong menegaskan bahwa Allah menghendaki manusia hidup untuk saling menolong, melengkapi, dan menyempurnakan satu sama lain. Di samping itu, Allah juga menghendaki agar seorang pria dan seorang wanita hidup sebagai pribadi yang sejajar dan saling mengembangkan satu sama lain ke arah kesempurnaan hidup dan cinta kasih.
Seorang pria dan seorang wanita adalah sepadan. Kesepadanan menunjukkan kesederajatan. Dalam kesederajatan mengalir kesatuan. ”Aku dan Engkau adalah satu.” ”Aku adalah Engkau.”
Kesatuan diri pria dan wanita, melahirkan kebersamaan hidup dengan sesamanya. Hidup bersama sebagai pasangan yang sepadan. Bukan sebagai musuh yang saling mengalahkan. Sehingga dengan demikian manusia menjadi tanda kasih Allah bagi ciptaan-ciptaan lainnya. Manusia menghadirkan cinta kasih Allah kepada dunia.
Kesatuan antarmanusia menjadi sempurna dalam ikatan perkawinan yang dibangun atas dasar cinta kasih yang suci dan tulus. Melalui perkawinan, manusia meneruskan keturunan seperti yang difirmankan oleh Allah: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; Penuhilah bumi dan taklukanlah itu" (Kejadian 1:28). Dalam perkawinan pula, manusia mengartikan tubuhnya secara khusus dan istimewa bahwa Allah memilihnya untuk berpartisipasi dalam melestarikan ciptaan-Nya.

Spiritualitas Tubuh
Tubuh adalah wujud konkret kehadiran manusia yang satu diantara manusia yang lain. Tubuh menggambarkan keteraturan dan keharmonisan hubungan antara anggota yang satu dengan anggota yang lain. Tubuh mengungkapkan betapa sempurna dan indahnya keteraturan, kedamaian, kerjasama, dan perhatian (empati, simpati) antaranggota tubuh. Tubuh menghadirkan keagungan dan keluhuran Sang Pencipta.
Santo Paulus melukiskan bahwa tubuh adalah bait kediaman Allah, bait kediaman Roh Kudus. “Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu” (1 Kor 3:16-17). “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?” (1 Kor 6:19).
Tubuh adalah suci karena Allah berdiam di dalam tubuh. Tubuh memanifestasikan Allah dalam dunia konkret sehari-hari. Dengan tubuh kita memuliakan Allah. Dengan tubuh kita mewujudnyatakan Allah dalam hidup kita sehari-hari. Maka bersama santo Paulus kita menjadikan tubuh ”sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah” (Rom 12: 1). Tubuh menjadi tanda kehadiran Allah. Karena itu kita perlu terus memelihara, menjaga, dan memertanggungjawabkan tubuh kepada Allah melalui aktivitas keseharian kita.

Sabtu, 24 Januari 2009

HIDUP PENUH SYUKUR

Hidup adalah hidup. Hidup bukan kesia-siaan. Hidup bukan pula imajinasi yang kosong, liar dan tidak bermakna. Hidup juga bukan kekosongan yang menghampar luas di tengah padang pasir yang gersang dan tandus. Hidup adalah anugerah Allah yang tidak ternilai. Hidup adalah kasih yang penuh nilai dan penuh makna. Hidup adalah keindahan karya Tuhan yang mahaagung.

Hidup merupakan suatu anugerah yang sangat istimewa dalam seluruh peziarahan manusia di dunia ini. Dengan hidup, manusia mengartikan dan memaknai hidupnya dalam relasinya dengan dirinya sendiri, dengan sesama, alam semesta, dan teristimewa dengan Tuhannya. Melalui relasi-relasi itu, manusia mengembangkan dan membangun kemanusiaannya agar menjadi lebih hominis dan humanis.
Melalui peziarahan di dunia ini, manusia juga menyusun jaring-jaring kehidupannya dan mengukir jejak-jejak makna dan keteladanan bagi generasi berikutnya. Manusia melukiskan hidupnya di atas kanvas yang terbentang dari lahir hingga meninggal dengan berbagai warna warninya, ada yang merah, putih, hitam, hijau, atau biru, seperti indah dan masyurnya karya Tuhan.
Peziarahan yang terlukiskan di atas kanvas itu perlu terus disempurnakan agar menjadi semakin indah. Seindah pelangi. Seindah alam semesta. Seindah maksud Tuhan menciptakannya.
Indahnya peziarahan hidup itu, melukiskan betapa indah dan agungnya Tuhan yang menciptakan semua yang ada dengan kekhasan dan keindahannya masing-masing, sehingga masing-masing dapat saling memberi dan menerima satu sama lain. Masing-masing indah dan bermakna bagi dirinya sendiri dan bagi yang lain (the others). Itulah keindahan. Itulah anugerah. Itulah kedamaian.
Anugerah (Gratia) adalah pemberian yang cuma-cuma dan tanpa syarat dari Tuhan. Dengan menerima anugerah, manusia selayaknya mengucap syukur kepada Sang Pemberi, Allah. ”Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya” (Mzm 139:14).
Kesadaran manusia akan anugerah-anugerah Allah yang diterimanya setiap hari, seperti udara segar untuk bernafas, kesehatan, kebahagiaan, makanan dan minuman, teman-teman yang baik, pekerjaan, pasangan hidup yang hebat, anak-anak yang manis, dan tetangga yang baik memampukannya untuk senantiasa mengucap syukur kepada Tuhan. Bahwa hidup adalah milik Tuhan. Bahwa Tuhan begitu baik kepada kita. Tuhan begitu mengasihi dan mencintai kita tanpa syarat. Tuhan telah menjadikan kita seorang pribadi yang kuat sehingga kita dapat menjalani peziarahan hidup. Tuhan telah melimpahkan kasih setia-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib terhadap kita (Mzm 107: 8.15.21.31).
Kita, manusia, hanyalah bejana tanah liat yang tidak berharga dihadapan Tuhan. Tuhan begitu besar dan tak terselami. Tuhan begitu agung dan megah. Karenanya kita perlu memersembahkan hidup kita kepada Tuhan sebagai kurban syukur. ”Sebab itu marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya” (Ibrani 13:15).
Mensyukuri hidup dengan segala kelebihan dan kekurangannya menjadikan kita tulus, rendah hati, setia pada Tuhan, tidak sombong, tidak munafik, jujur, penuh kasih, rela berkorban demi kebahagiaan sesama dan demi kemuliaan nama Tuhan. Jadikan hidup sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan melalui kasih terhadap sesama dan kasih terhadap Tuhan.
Merayakan hidup penuh syukur berarti kita mensyukuri apa yang kita miliki. Kita menikmati apapun yang kita miliki. Kita merayakan dengan penuh damai, kasih, cinta, dan ceria seluruh totalitas hidup kita.

Bersyukur untuk masa-masa sulit...
Karena di masa itu kita dibentuk dan bertumbuh...

Bersyukur untuk keterbatasan...
Karena itu memberi kita kesempatan untuk berkembang...

Bersyukur untuk setiap tantangan baru ...
Karena itu akan membangun kekuatan dan karakter kita...

Bersyukur untuk kesalahan yang kita buat...
Karena itu mengajarkan kita untuk selalu memerbaiki kualitas hidup kita....


Bersyukur untuk kebahagiaan...
Karena itu membuat kita menjadi berharga...

Bersyukur untuk segala sesuatu yang kita miliki...
Karena untuk itu kita memahami kelebihan dan kekurangan....

Hidup penuh syukur adalah hidup yang merayakan, menjaga, memelihara, menikmati, mengagumi, dan mensyukuri apa yang dimilikinya. Mensyukuri keberadaan dan ketotalitasan dirinya dengan segala suka-duka.
Jadikan hidup anda sebagai perayaan penuh syukur, maka anda akan mengalami dan menemui bahwa hidup anda begitu kaya dan membahagiakan. Hidup anda tidak akan kekurangan sesuatu apapun, karena anda mensyukuri keberadaan diri anda dan segala sesuatu yang anda miliki.


Selamat mensyukuri hidup anda .........

HIDUP ITU KASIH

”Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia” (1 Yohanes 4:16).

Setiap makhluk hidup yang ada di dunia ini berasal dari kasih yang tidak berkesudahan. Kasih yang sempurna dari Allah. Manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan ada dan hidup di bumi karena Kasih Allah. Berkat kasih Allah itu, semua makhluk dapat berkembang biak sambil menyempurnakan dirinya.
Kasih Allah yang tidak berkesudahan itu mengalir dalam setiap ciptaan-Nya. Manusia dianugerahi kasih untuk saling mencintai satu sama lain secara penuh dan bertanggung jawab. Dalam kasih itu, manusia membangun persekutuan hidup istimewa, yaitu keluarga. Melalui keluarga, manusia saling memberi dan menerima kasih demi kelangsungan dan keberlanjutan hidup (meneruskan keturunan). Dalam kasih mengalirlah rahmat kehidupan, ketenangan, ketentraman, kedamaian, dan kasih karunia. Sebab:
Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan... (1 Korintus 13:4-13).

Dalam kasih mengalirlah kehidupan, kedamaian, ketenangan, kebahagiaan, kesejukan, damai sejahtera, dan sukacita. Dalam kehidupan mengalirlah kekuatan cinta dan pengharapan. Hidup yang penuh kasih menyinari dunia dengan cahaya terang, hangat, mendamaikan, menentramkan, dan menyejukan setiap yang lain (the others) yang dikenai atau yang dijumpai. Hidup yang penuh kasih mampu menerima dan memberikan diri seutuhnya. Hidup yang penuh kasih mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri.
Itulah yang disebut hidup adalah kasih. Kasih yang memberi, mengembangkan, menguatkan, mendamaikan, menyejukan, menentramkan, dan menghidupkan setiap orang. Kasih yang mengasihi sesama tanpa syarat. Kasih yang tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia (Roma 13:10). Kasih yang membebaskan dan membahagiakan diri sendiri, sesama, alam semesta, dan Tuhan. Di dalam kasih ada pengharapan, kekuatan, dan damai sejahtera. Sebab ”Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih (1 Yohanes 4:18).
Hiduplah dalam kasih, maka anda akan menikmati betapa indah dan luar biasanya hidup anda. Hidup anda akan bahagia, damai, dan sejahtera dengan apa yang anda miliki. Hidup anda akan bergairah dan memiliki kekuatan yang luar biasa dalam menghadapi berbagai macam tantangan kehidupan yang mungkin menghampiri anda. Hidup anda akan berkelimpahan.
Dalam kasih, kelemahan akan menjadi kekuatan. Permusuhan menjadi persahabatan. Kebencian menjadi kedamaian. Kemarahan menjadi kesabaran. Kasih menjadikan semuanya indah.

Ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan dalam kemuliaan. Ditaburkan dalam kelemahan, dibangkitkan dalam kekuatan (1 Korintus 15:43).

Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat (2 Korintus 12:10)

Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya (1 Korintus 10:13).

Cinta yang Sejati dalam Perkawinan

Perkawinan merupakan salah satu bentuk sosialisasi manusia yang paling intim (closer socialization), yang dibangun oleh seorang pria dan seorang wanita dalam ikatan cinta kasih yang tulus. Ketulusan terpancar pada kesediaan untuk saling menerima satu sama lain secara terbuka dan bebas, tanpa paksaan atau ancaman dari siapa pun juga. Ketulusan juga terpancar pada kesediaan untuk saling memberi satu sama lain tanpa pamrih, bahwa pasangannya adalah “anugerah yang terindah dalam hidupnya”, anugerah yang tak tergantikan dan tak tertandingi oleh siapa pun dan apa pun juga. Pasangannya adalah unik dan khas. Pasangannya adalah seorang yang utuh, yakni seorang pribadi yang diciptakan dan dicintai oleh Allah tanpa syarat.
Kesediaan untuk saling menerima dan memberi secara tulus, bebas, dan bertanggung jawab merupakan suatu keharusan dalam kehidupan perkawinan. Perkawinan perlu dibangun dan ditata untuk kesejahteraan suami-istri, anak-anak, dan keluarga lainnya. Perkawinan perlu menjadi media persatuan, pendewasaan, pengembangan, pembentukan, dan penghormatan terhadap karakteristik setiap pribadi yang ada di dalamnya. Setiap pribadi adalah “serupa dan segambar dengan Allah.” Setiap pribadi adalah refresentatif Allah bagi yang lain. Setiap pribadi tidak tergantikan. Setiap pribadi adalah sama dan sejajar-sepadan.
Dalam kesederajatan itu, setiap pasangan perlu membangun kerjasama partisipatif, komunikasi yang terbuka, kejujuran, ketulusan, dan penghargaan satu sama lain sampai akhir hayat. Seperti Bunda Teresa yang setia sampai mati mencintai dan hidup bersama orang-orang yang menderita, terbuang, dan tersingkirkan di Kalkuta. Cinta yang sejati dibangun dan dihayati dengan memberikan diri seutuhnya pada kebahagiaan dan kesejahteraan orang yang dicintai.
Kemampuan untuk membangun hidup perkawinan seperti itu tentu membutuhkan kematangan dari masing-masing pasangan. Setiap pasangan perlu matang secara emosional, biologis, psikis, pola pikir, cinta, dan tentu saja juga matang secara religius (iman). Kematangan dalam aspek-aspek ini akan menjadi pondasi yang kokoh dalam bangunan perkawinan. Setiap pasangan dapat merencanakan dan membangun keluarga dengan mendasarkan diri pada kemampuan diri yang real. Dalam kesadaran itu, cinta diri dan egoisme perlu dijauhkan. Cinta suci dan tanpa syarat perlu dikedepankan. Seperti Yesus, yang memberikan seluruh diri-Nya demi kebahagiaan dan keselamatan orang yang dicintai.
Cinta Yesus yang tanpa syarat adalah cinta yang tanpa pamrih, yang mengorbankan diri-Nya di salib demi keselamatan dan kebahagiaan orang yang dicintai-Nya. Cinta Yesus adalah cinta yang memberikan kebebasan, kebahagiaan, ketentraman, dan keselamatan bagi orang yang dicintai. Yesus mencintai setiap orang seperti apa adanya dirinya. Kaya, miskin, jelek, cantik, ganteng, muda, tua semua dicintai tanpa syarat dan tanpa pamrih. Inilah cinta sejati, yaitu cinta yang memberikan dan mengorbankan diri seutuhnya demi kebahagiaan dan keselamatan orang yang dicintai sampai akhir hayat. Cinta tidak menuntut, tetapi memberi. Cinta tidak menguasai, tetapi membebaskan dan saling berbagi. Cinta tidak memiliki, tetapi menerima sebagai anugerah.

“Jadilah pelaku dan pelaksana cinta yang sejati, tanpa syarat dalam hidup anda, seperti Yesus, yang anda imani sebagai Juru selamat anda.”

AKU, PASANGANKU, DAN TUHAN

Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu, seperti meterai pada lenganmu, karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN! (Kid 8: 6)

Kehidupan manusia memang merupakan suatu misteri yang sulit untuk ditembus secara penuh. Dalam ranah filsafat manusia, seorang manusia tidak pernah dapat didekati secara penuh. Manusia selalu penuh dengan misteri dan perubahan. Misalnya, seorang A yang sekarang sudah tidak sama lagi dengan seorang A pada lima menit kemudian. Ia selalu berubah setiap detik tanpa henti.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidup manusia secara perlahan-lahan semakin mendewasakan dan membentuk karakteristiknya yang menjadikannya unik dan khas. “Aku adalah aku. Aku bukan kamu.”
Pengenalan pada jati diri memampukan setiap manusia untuk mentransformasi diri, ide, dan keyakinannya akan masa depan hidupnya yang lebih baik dan membahagiakan. “Aku harus sukses. Aku harus mandiri. Aku harus bahagia. Atau aku harus memiliki keluarga yang bahagia.”
Kemampuan manusia untuk mentransformasi dirinya tidak dapat dilepaskan dari kebersamaannya dengan yang lain. Ia selalu membutuhkan yang lain. Ia terlibat dalam kehidupan kebudayaan masyarakat dimana ia hidup dan bergerak. “Manusia menghasilkan kebudayaan. Melalui kebudayaannya, manusia membudayakan dirinya supaya menjadi lebih humanis dan hominis.” Sebab dalam dan melalui kebudayaannya, manusia mengungkapkan dan menemukan dirinya secara ultimate. “Manusia membudaya dan sekaligus mengonstruksi kebudayaannya.” Manusia tidak pernah dapat dilepasbebaskan dari kebudayaannya.

Aku dan Pasanganku
Demikian juga aku dan pasanganku adalah produk suatu kebudayaan. Kami adalah subjek dan sekaligus superjek masyarakat. Dalam kebudayaan itu, kami dibentuk, diajari, dan diwarisi nilai-nilai dan norma-norma sosial yang dijunjung dan dihormati masyarakat setempat. Kebudayaan menjadikan kami ”berbeda” satu sama lain.
Kami masing-masing memiliki karakteristik. Karakteristik kami sedikit bertolak belakang. Pasanganku relatif emosional, cepat marah ketika ada kata atau sikap yang mengganggunya. Ia bahkan tidak jarang memarahiku ketika aku lambat membalas smsnya atau ketika aku memboncengnya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Ia sangat sensitif dalam banyak hal yang berkaitan dengan dirinya. Ia kerapkali merespons suatu kejadian atau peristiwa dengan penuh emosional. Meledak-ledak. Sangat manusiawi.
Sementara aku adalah seorang yang lemah lembut, namun tegas. Aku senantiasa merespon suatu kejadian dengan kepala dingin dan penuh cinta. Aku selalu santai dan tenang ketika sesuatu terjadi dalam hubungan kami. Karena bagiku tidak ada gunanya marah ketika sesuatu sudah terjadi. Hanya menyebabkan aku rugi dua kali. Pertama, rugi karena energiku terbuang untuk sikap atau perbuatan yang tidak baik (marah). Kemarahan menyebabkan hati tidak tenang. Seperti yang dialami Yonatan: ”Sebab itu Yonatan bangkit dan meninggalkan perjamuan itu dengan kemarahan yang bernyala-nyala. Pada hari yang kedua bulan baru itu ia tidak makan apa-apa, sebab ia bersusah hati karena Daud, sebab ayahnya telah menghina Daud” (1 Samuel 20: 34). Kedua, rugi karena apa yang telah terjadi tidak akan pernah terselesaikan dengan kemarahan. Kemarahan hanya akan menimbulkan masalah baru. Sebab menurut Yakobus: ”...amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran dihadapan Allah” (Yak 1: 20). Kemarahan hanya menafikan dan meminggirkan ketenangan hati, jiwa, kebenaran dan keutamaan.
Karya Tuhan
Meskipun kami memiliki karakteristik yang berbeda, kami senantiasa menyakini dan memercayai bahwa ”Tuhan memertemukan kami untuk saling melengkapi satu sama lain. Tuhan menganugerahkan kepada kami seorang pribadi (pasangan) yang memang khas dan unik dan kami harus menerimanya sebagaimana ia adanya.” Anugerah Allah tidak selalu sesuai dengan kehendak dan keinginan kami.
Keterbukaan untuk menerima dan tentu saja juga untuk saling menyempurnakan dan mentransformasi diri ke arah yang dikehendaki Tuhan merupakan suatu rahmat (gratia) yang amat istimewa. Kami percaya bahwa dalam keberbedaan itu Tuhan mengajari dan mendidik kami untuk menjadi bijaksana dan bajik dalam kebersamaan hidup. Tuhan membentuk kami menjadi seorang pribadi yang tangguh dan tulus dalam hidup, dengan menganugerahkan pasangan yang unik, yang tidak sesuai dengan apa yang kami ingini. Tetapi yang sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki. ”Bukan kehendakku yang jadi, tetapi kehendak Tuhan.”
Tuhan berkarya dan membentuk kami melalui pengalaman dan peristiwa-peristiwa hidup yang sederhana dan amat manusiawi. ”Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Rom 8:28).
Kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap aktivitas dan peristiwa hidup keseharian menjadikan kami semakin menghargai dan mengagumi karya Allah dalam diri pasangan. Bahwa Allah menjumpai kami melalui kehadiran pasangan. Bahwa Allah berkarya sungguh ajaib dalam hidup kami.

Di dalam Allah semuanya menjadi indah
sebab Allah adalah Keindahan.
Di dalam Allah semuanya menjadi damai
sebab Allah adalah Kedamaian.
Di dalam Allah semua perkara dapat diselesaikan
sebab Allah adalah Mahatahu dan Mahamengerti
Di dalam Allah semua manusia menjadi berarti
sebab Allah adalah menjadikannya serupa dan segambar dengan diri-Nya
Di dalam Allah tidak ada kebencian
sebab Allah adalah maha pengampun
Di dalam Allah tidak ada kemarahan
sebab Allah adalah Sumber Cinta
Di dalam Allah tidak ada iri hati
sebab Allah adalah Sumber Ketulusan

Di dalam Allah ada CINTA, KASIH, KEDAMAIAN, PENGAMPUNAN, KETENANGAN, SUKACITA, KEINDAHAN, DAN SEMUA YANG KAMI BUTUHKAN.
ALLAH ADALAH SEGALANYA DALAM HIDUP KAMI.

Minggu, 18 Januari 2009

Berbuah

Seorang petani bercerita kepada seorang nabi tentang masalah buah. Pak Tani dengan bangga dan penuh semangat menceritakan bahwa mangga yang ditanamnya berbuah lebat, besar dan sangat manis. Semua orang di kampungnya berbondong-bondong datang dan ingin membeli buah mangganya. "Tapi, tuanku nabi?", tegasnya, "setiap orang yang datang lupa bahwa mangga saya itu bisa berbuah seperti itu karena saya mencintainya. Setiap pagi saya siram, saya ajak bicara. Siang hari saya siram dan saya tanyakan dia butuh apa. Setiap petang hari, saya siram dan saya ajak berdoa supaya hari yang berlalu memberi modal kehidupan untuk membuat hari esok menjadi lebih baik."
Sang nabi terkejut mendengar cerita pak tani tersebut. "Hai, bagaimana mungkin bapak bisa berbicara, berdialog, dan berdoa bersama pohon mangga?" tanya sang nabi. "Itu soal mudah, tuanku nabi" ujarnya. "Bagaimana caranya? Coba ceritakan!" pinta sang nabi. "Sebagai manusia, saya adalah makhluk hidup yang diciptakan oleh Tuhan. Demikian juga pohon mangga saya. Ia adalah makhluk hidup yang diciptakan oleh Tuhan. Sebagai ciptaan Tuhan, kami saling berbagi" paparnya. "Dalam hal ini, hati yang tulus dan terbuka menjadi syarat utama. Artinya, ketika hati kita tertuju pada Tuhan, sang Sumber segala yang ada, maka kita dapat berdialog dengan semua ciptaan-Nya" lanjutnya.
"Oh... sungguh hebat. Saya kagum dengan iman Bapak akan kebaikan semua ciptaan Tuhan" puji sang nabi. "Tapi?" sang nabi berhenti sejenak sambil memegang keningnya. "Bolehkah saya diajari supaya saya bisa seperti anda" tanya sang nabi. "Ah... tuanku nabi.. hamba hanya orang biasa yang tidak mengerti apa artinya hidup bersama Tuhan" timpal pak Tani. "Saya yakin, tuanku nabi jauh lebih hebat." jelas pak Tani.

Cerita di atas menggambarkan betapa pentingnya kita belajar kebijaksanaan dan kearifan hidup pada orang-orang sederhana, yang sungguh hidup mengandalkan Tuhan, yang mahakuasa. Hidup bijak adalah keharusan kalau kita ingin berdamai dengan Tuhan dan sesama. Hidup bajik adalah keniscayaan kalau kita ingin "bersendagurau" dengan semua ciptaan Tuhan. Hidup religius adalah kenikmatan ketika kita bersama dan bersatu dengan Allah yang mahabaik, mahapengasih, dan mahapenyanyang.

"Jadilah bijak, bajik, dan religius, maka hidup kita akan damai dan sejahtera."