Senin, 26 Januari 2009

MEMAHAMI PERKAWINAN

Beberapa bulan yang lalu, saya diundang oleh kelompok Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) untuk membahas masalah kehidupan perkawinan berdasarkan ajaran Gereja Katolik. Latar belakang dari gagasan ini konon lahir dari keprihatinan mereka terhadap kehidupan berkeluarga kristiani, yang mulai kurang harmonis, seperti pisah ranjang, menikah lagi padahal pasangan pertamanya masih hidup.
Realitas ini menguak kesadaran mereka akan pentingnya hidup berkeluarga yang harmonis, yang dihiasi oleh sikap hidup yang saling memberi, memerkaya, menerima, dan membahagiakan satu sama lain. Bukan hanya berhenti di situ. Mereka bahkan melangkah lebih dalam, yaitu “mengekalkan ikatan perkawinan.”
Kesadaran ini, bagi saya, sangat baik dan penting sekali bagi kelangsungan kehidupan perkawinan yang damai, egaliter, penuh cinta, dan dihargainya kesederajatan. Terutama lestarinya ikatan perkawinan yang monogam dan tak terceraikan.
Perkawinan yang monogam dan tak terceraikan menegaskan bahwa seorang pria hanya boleh melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita. Demikian sebaliknya. Seorang pria atau seorang wanita tidak boleh melangsungkan perkawinan secara Gerejani dengan ½ pria atau ½ wanita. Mereka hanya boleh melangsungkan perkawinan secara Gerejani dengan satu orang pria atau satu orang wanita sampai akhir hayat. Perkawinan bersifat kekal dan sakramen. Tidak dapat dipisahkan oleh apa pun juga, kecuali oleh kematian (yang wajar: tidak disengaja). Karena perkawinan itu dikehendaki dan diberkati oleh Allah sendiri.
Sifat perkawinan ini menegaskan bahwa hidup berkeluarga menjadi medium persatuan mesra antara Allah dengan manusia melalui persatuan mesra antarpasangan. Karena melalui perkawinan, suami istri menjadi tanda kasih Allah dan menghadirkan kasih Allah bagi dunia. Suami istri mewujudkan cinta Kristus kepada Gereja-Nya.
Untuk itu, perkawinan bukanlah lembaga untuk memerlakukan pasangan dengan semena-mena. Perkawinan adalah lembaga atau institusi suci yang dikehendaki dan diberkati oleh Allah. Melalui perkawinan, suami isteri dipanggil untuk saling mencintai secara timbal balik, total dan menyeluruh, saling memberi dan menerima yang diungkapkan dalam persetubuhan yang dilakukan secara manusiawi dengan memerhatikan kondisi dan situasi pasangannya penuh pengertian, dilakukan secara suka rela, tanpa ada paksaan. Hubungan suami isteri bukan hanya menunjukkan kesatuan fisik biologis, tetapi juga kesatuan hati, kehendak, perasaan dan visi, yakni mengusahakan kebahagaiaan dan kesejahteraan bersama. Persetubuhan ini merupakan peneguhan dan pembaharuan janji perkawinan.
Perkawinan melambangkan Perjanjian Kasih Allah dan UmatNya. Perkawinan melambangkan dan bersumber pada Hubungan Kristus dengan Gereja. Melalui perkawinan, Allah menempatkan manusia sebagai co-creator bagi dirinya dan dunianya. Allah mengangkat dan merahmati suami-istri dengan cinta kasih dalam Kristus.

Tidak ada komentar: