Sabtu, 24 Januari 2009

AKU, PASANGANKU, DAN TUHAN

Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu, seperti meterai pada lenganmu, karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN! (Kid 8: 6)

Kehidupan manusia memang merupakan suatu misteri yang sulit untuk ditembus secara penuh. Dalam ranah filsafat manusia, seorang manusia tidak pernah dapat didekati secara penuh. Manusia selalu penuh dengan misteri dan perubahan. Misalnya, seorang A yang sekarang sudah tidak sama lagi dengan seorang A pada lima menit kemudian. Ia selalu berubah setiap detik tanpa henti.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidup manusia secara perlahan-lahan semakin mendewasakan dan membentuk karakteristiknya yang menjadikannya unik dan khas. “Aku adalah aku. Aku bukan kamu.”
Pengenalan pada jati diri memampukan setiap manusia untuk mentransformasi diri, ide, dan keyakinannya akan masa depan hidupnya yang lebih baik dan membahagiakan. “Aku harus sukses. Aku harus mandiri. Aku harus bahagia. Atau aku harus memiliki keluarga yang bahagia.”
Kemampuan manusia untuk mentransformasi dirinya tidak dapat dilepaskan dari kebersamaannya dengan yang lain. Ia selalu membutuhkan yang lain. Ia terlibat dalam kehidupan kebudayaan masyarakat dimana ia hidup dan bergerak. “Manusia menghasilkan kebudayaan. Melalui kebudayaannya, manusia membudayakan dirinya supaya menjadi lebih humanis dan hominis.” Sebab dalam dan melalui kebudayaannya, manusia mengungkapkan dan menemukan dirinya secara ultimate. “Manusia membudaya dan sekaligus mengonstruksi kebudayaannya.” Manusia tidak pernah dapat dilepasbebaskan dari kebudayaannya.

Aku dan Pasanganku
Demikian juga aku dan pasanganku adalah produk suatu kebudayaan. Kami adalah subjek dan sekaligus superjek masyarakat. Dalam kebudayaan itu, kami dibentuk, diajari, dan diwarisi nilai-nilai dan norma-norma sosial yang dijunjung dan dihormati masyarakat setempat. Kebudayaan menjadikan kami ”berbeda” satu sama lain.
Kami masing-masing memiliki karakteristik. Karakteristik kami sedikit bertolak belakang. Pasanganku relatif emosional, cepat marah ketika ada kata atau sikap yang mengganggunya. Ia bahkan tidak jarang memarahiku ketika aku lambat membalas smsnya atau ketika aku memboncengnya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Ia sangat sensitif dalam banyak hal yang berkaitan dengan dirinya. Ia kerapkali merespons suatu kejadian atau peristiwa dengan penuh emosional. Meledak-ledak. Sangat manusiawi.
Sementara aku adalah seorang yang lemah lembut, namun tegas. Aku senantiasa merespon suatu kejadian dengan kepala dingin dan penuh cinta. Aku selalu santai dan tenang ketika sesuatu terjadi dalam hubungan kami. Karena bagiku tidak ada gunanya marah ketika sesuatu sudah terjadi. Hanya menyebabkan aku rugi dua kali. Pertama, rugi karena energiku terbuang untuk sikap atau perbuatan yang tidak baik (marah). Kemarahan menyebabkan hati tidak tenang. Seperti yang dialami Yonatan: ”Sebab itu Yonatan bangkit dan meninggalkan perjamuan itu dengan kemarahan yang bernyala-nyala. Pada hari yang kedua bulan baru itu ia tidak makan apa-apa, sebab ia bersusah hati karena Daud, sebab ayahnya telah menghina Daud” (1 Samuel 20: 34). Kedua, rugi karena apa yang telah terjadi tidak akan pernah terselesaikan dengan kemarahan. Kemarahan hanya akan menimbulkan masalah baru. Sebab menurut Yakobus: ”...amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran dihadapan Allah” (Yak 1: 20). Kemarahan hanya menafikan dan meminggirkan ketenangan hati, jiwa, kebenaran dan keutamaan.
Karya Tuhan
Meskipun kami memiliki karakteristik yang berbeda, kami senantiasa menyakini dan memercayai bahwa ”Tuhan memertemukan kami untuk saling melengkapi satu sama lain. Tuhan menganugerahkan kepada kami seorang pribadi (pasangan) yang memang khas dan unik dan kami harus menerimanya sebagaimana ia adanya.” Anugerah Allah tidak selalu sesuai dengan kehendak dan keinginan kami.
Keterbukaan untuk menerima dan tentu saja juga untuk saling menyempurnakan dan mentransformasi diri ke arah yang dikehendaki Tuhan merupakan suatu rahmat (gratia) yang amat istimewa. Kami percaya bahwa dalam keberbedaan itu Tuhan mengajari dan mendidik kami untuk menjadi bijaksana dan bajik dalam kebersamaan hidup. Tuhan membentuk kami menjadi seorang pribadi yang tangguh dan tulus dalam hidup, dengan menganugerahkan pasangan yang unik, yang tidak sesuai dengan apa yang kami ingini. Tetapi yang sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki. ”Bukan kehendakku yang jadi, tetapi kehendak Tuhan.”
Tuhan berkarya dan membentuk kami melalui pengalaman dan peristiwa-peristiwa hidup yang sederhana dan amat manusiawi. ”Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Rom 8:28).
Kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap aktivitas dan peristiwa hidup keseharian menjadikan kami semakin menghargai dan mengagumi karya Allah dalam diri pasangan. Bahwa Allah menjumpai kami melalui kehadiran pasangan. Bahwa Allah berkarya sungguh ajaib dalam hidup kami.

Di dalam Allah semuanya menjadi indah
sebab Allah adalah Keindahan.
Di dalam Allah semuanya menjadi damai
sebab Allah adalah Kedamaian.
Di dalam Allah semua perkara dapat diselesaikan
sebab Allah adalah Mahatahu dan Mahamengerti
Di dalam Allah semua manusia menjadi berarti
sebab Allah adalah menjadikannya serupa dan segambar dengan diri-Nya
Di dalam Allah tidak ada kebencian
sebab Allah adalah maha pengampun
Di dalam Allah tidak ada kemarahan
sebab Allah adalah Sumber Cinta
Di dalam Allah tidak ada iri hati
sebab Allah adalah Sumber Ketulusan

Di dalam Allah ada CINTA, KASIH, KEDAMAIAN, PENGAMPUNAN, KETENANGAN, SUKACITA, KEINDAHAN, DAN SEMUA YANG KAMI BUTUHKAN.
ALLAH ADALAH SEGALANYA DALAM HIDUP KAMI.

Tidak ada komentar: