Senin, 26 Januari 2009

Manusia, Tanggung Jawab, dan Tubuhnya

Keberadaan manusia di dunia ini sejak semula dikehendaki oleh Allah. Dalam kisah penciptaan (Kej 1: 26-30), diceritakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah menurut rupa dan gambar-Nya sendiri. Itu berarti manusia serupa dan segambar dengan Allah. Manusia adalah imago Dei.
Secara kronologis, manusia adalah ciptaan yang terakhir (hari ke-6, sebelum Allah beristirahat). Sebagai ciptaan yang terakhir, tidak berarti manusia menjadi yang terbelakang, terhina, atau terpinggirkan. Justru malah sebaliknya, manusia menjadi yang pertama dari semua ciptaan lainnya. Ia menjadi begitu istimewa di atas segala ciptaan lainnya. Seperti yang disabdakan Yesus: ”Yang terakhir akan menjadi yang terdahulu” (Mat 19:30; 20:16; Mrk 9:35; 10:31).
Penciptaan manusia memang menjadi begitu istimewa dan eksklusif dihadapan Allah bila dibandingkan dengan ciptaan-ciptaan lainnya. Eksklusif karena Allah menciptakannya serupa dan segambar dengan diri-Nya dan menempatkannya di taman Firdaus. Allah juga memberikan kuasa kepada manusia untuk menamai semua tumbuh-tumbuhan dan binatang. Manusia menjadi ”penguasa” atas semua ciptaan lainnya.
Kehadiran manusia sebagai ”penguasa” atas ciptaan-ciptaan lain menegaskan bahwa manusia memiliki kemampuan seperti Pencipta-Nya. Karena itu, Allah menjadikan manusia sebagai partner-Nya dalam memelihara, mengembangkan, dan melestarikan ciptaan-ciptaan lainnya. Menjadi partner berarti manusia menjadi teman sekerja Allah di dunia ini. Manusia menjadi sahabat Allah yang memiliki hakekat keallahan. Dalam dirinya Allah hadir menjumpai ciptaan-ciptaan lainnya. Allah membimbing manusia melalui bisikan suara hati/hati nurani agar manusia tetap berada dalam rengkuhan atau pelukan kasih Allah. Dalam teologi moral dijelaskan “Suara hati adalah suara Tuhan.” Tuhan bekerja dalam diri manusia supaya manusia tetap menjadi ”anak-anak-Nya yang terkasih.”

Tanggung jawab
Sebagai sahabat-partner Allah, manusia diserahi tanggung jawab untuk ”berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi" (Kej 1:26). Manusia menjadi co-creator bagi dunia.
Besarnya tanggung jawab yang harus diemban manusia, menggugah kesadaran Allah bahwa manusia tidak baik kalau seorang diri saja. Ia membutuhkan seorang penolong, yang setia menemani dan membantunya. Allah kemudian menjadikan seorang penolong yang sepadan dengan dirinya. ”TUHAN Allah berfirman: ’Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia’" (Kej 2:18).
Lahirnya seorang penolong menegaskan bahwa Allah menghendaki manusia hidup untuk saling menolong, melengkapi, dan menyempurnakan satu sama lain. Di samping itu, Allah juga menghendaki agar seorang pria dan seorang wanita hidup sebagai pribadi yang sejajar dan saling mengembangkan satu sama lain ke arah kesempurnaan hidup dan cinta kasih.
Seorang pria dan seorang wanita adalah sepadan. Kesepadanan menunjukkan kesederajatan. Dalam kesederajatan mengalir kesatuan. ”Aku dan Engkau adalah satu.” ”Aku adalah Engkau.”
Kesatuan diri pria dan wanita, melahirkan kebersamaan hidup dengan sesamanya. Hidup bersama sebagai pasangan yang sepadan. Bukan sebagai musuh yang saling mengalahkan. Sehingga dengan demikian manusia menjadi tanda kasih Allah bagi ciptaan-ciptaan lainnya. Manusia menghadirkan cinta kasih Allah kepada dunia.
Kesatuan antarmanusia menjadi sempurna dalam ikatan perkawinan yang dibangun atas dasar cinta kasih yang suci dan tulus. Melalui perkawinan, manusia meneruskan keturunan seperti yang difirmankan oleh Allah: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; Penuhilah bumi dan taklukanlah itu" (Kejadian 1:28). Dalam perkawinan pula, manusia mengartikan tubuhnya secara khusus dan istimewa bahwa Allah memilihnya untuk berpartisipasi dalam melestarikan ciptaan-Nya.

Spiritualitas Tubuh
Tubuh adalah wujud konkret kehadiran manusia yang satu diantara manusia yang lain. Tubuh menggambarkan keteraturan dan keharmonisan hubungan antara anggota yang satu dengan anggota yang lain. Tubuh mengungkapkan betapa sempurna dan indahnya keteraturan, kedamaian, kerjasama, dan perhatian (empati, simpati) antaranggota tubuh. Tubuh menghadirkan keagungan dan keluhuran Sang Pencipta.
Santo Paulus melukiskan bahwa tubuh adalah bait kediaman Allah, bait kediaman Roh Kudus. “Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu” (1 Kor 3:16-17). “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?” (1 Kor 6:19).
Tubuh adalah suci karena Allah berdiam di dalam tubuh. Tubuh memanifestasikan Allah dalam dunia konkret sehari-hari. Dengan tubuh kita memuliakan Allah. Dengan tubuh kita mewujudnyatakan Allah dalam hidup kita sehari-hari. Maka bersama santo Paulus kita menjadikan tubuh ”sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah” (Rom 12: 1). Tubuh menjadi tanda kehadiran Allah. Karena itu kita perlu terus memelihara, menjaga, dan memertanggungjawabkan tubuh kepada Allah melalui aktivitas keseharian kita.

Tidak ada komentar: