Selasa, 29 Mei 2012

"Garam Dunia"

"Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang" (Mat 5: 13). suatu hari di kala kami santap malam, anak kami, Renata, tiba-tiba bertanya kepada ibunya:"Ma, koq sayurnya kurang garam, ya...? Rasanya aneh...hambar...tawar..." "Ah... masak... perasaan, mama sudah memberikan banyak garam...mungkin kakak yang perlu tambah garam sendiri", jawab mamanya. "Ah... mama... masak kakak harus nambah sendiri. nanti gak enak dong!", sambung Renata. "Ya... kakak nambah sendiri sesuai dengan selera kakak. Biar nanti enak, ya, kan?", tambah mamanya. Garam memang menjadi salam satu bagian penting dari setiap masakan. Tanpa atau kekurangan garam, masakan rasanya kurang enak untuk dinikmati. Bahkan masakan cenderung hambar. Kurang menarik untuk dinikmati. Sebaliknya, masakan yang cukup garamnya akan terasa enak dan nikmat untuk kita nikmati. Demikian juga kita sebagai manusia. "Garam" kebaikan kita baru dapat dirasakan dan dinikmati oleh orang lain ketika kita bersikap dan bertindak baik kepada mereka tanpa memandang latar belakang kehidupannya. Tanpa memilih dan memilah siapa, dimana, dari mana seseorang yang kita layani atau beri bantuan. Sebab mereka semua adalah juga gambar-gambar Allah, yang diciptakan dan diutus khusus oleh Allah untuk ambil bagian dalam proses kehidupan di dunia ini. Kita perlu meruangkan semua sesama di dalam diri kita. Seperti garam, ia dapat menjadi penyedap rasa bagi segala jenis sayuran (dan lauk pauk) yang siap dihidangkan. Garam tidak memilih. Ia menerima dan memberikan rasa asin kepada semuanya. "Ruangkanlah dirimu untuk menerima dan memberi rasa kepada setiap orang yang kita jumpai. Sebab mereka semua adalah bagian dari diri kita. Mereka adalah warna yang memperindah kehidupan dan dunia kita."

Selasa, 15 Mei 2012

Aku, Sesama, dan Tuhan

Pagi-pagi sekitar pukul 06.30, Renata sudah bangun dan siap turun dari tempat tidurnya. Tetapi, sebelum ia meninggalkan tempat tidurnya, ia terlebih dahulu membangunkan adiknya, Cheryl yang tampak masih terlelap. "Dik, dik, dik, bangun sudah siang...cepat dik... kita berdoa dulu baru mandi..." Adiknya yg masih terlelap tampak malas-malasan dan terkesan tidak memperhatikan ajakan Kakaknya. Ia hanya menjawab singkat: "masih ngantuk kak...." Mendengar jawaban itu, Rena lalu meninggalkan adiknya di tempat tidur. Ia bergegas menuju kamar mandi untuk mandi pagi. Byur...byur...byur... seger.... Setelah selesai mandi, ia bergegas mengenakan pakaian yang disukainya. "Ah... ini cantik... aku pakai ini aja", katanya. Kemudian ia menuju meja makan untuk sarapan pagi... "enak... nyam...nyam..." bisiknya. Kisah di atas menampilkan tiga entitas yang saling terkait satu sama lain, bahkan tidak dapat dipisahkan. Yang satu mempengaruhi yang lain dan sebaliknya yang lain mempengaruhi yang satu. Ketiga entitas itu adalah "Aku, Sesama, dan Tuhan." "Aku" adalah entitas pertama yang menyadari akan keradaan yang lain (the others). Kesadaran akan yang lain sangat dipengaruhi oleh kepekaan si Aku dalam menenun keberadaannya di tengah alam semesta yang luas. Semakin si Aku menenun dirinya menuju 'ruang dalam, ruang jiwanya', ia akan semakin menyadari bahwa keberadaannya tergantung pada yang lain dan penciptanya. Kemampuan si Aku menuju pada ke-diri-annya mencerminkan si Aku semakin menenun spiritualitasnya bersama dengan lain. Si Aku semakin menjadikan dirinya sebagai bagian dari yang lain dan menempatkan Tuhan sebagai bagian integral dari pertumbuhannya. "Sesama" adalah entitas kedua yang memegang peranan penting dalam hidup si Aku. Sesama menempa dan mendidik si Aku untuk bertumbuh dan berkembang menuju pada kepenuhan dirinya. Sesama menjadi semacam medium pertumbuhan dan pembentukan diri si Aku. Semakin bijak dan bajik sesama dalam mendampingi si Aku, semakin hebat dan kuatlah si Aku untuk menemukan dirinya, sebagai diri yang hanya bermanfaat bila bersama yang lain. Tanpa sesama, si Aku tidak ada artinya. "Tuhan" adalah entitas tertinggi yang mendesain dan menentukan seperti apa si Aku dan Sesama dalam menjalankan hidupnya di tengah dunia yang tak terbatas ini. Tuhan menjadi "roh" yang menggerakkan dan mengarahkan si Aku dan Sesama pada tujuan yang telah disiapkan, yaitu "kehidupan kekal, baka." Semakin dalam dan kuat si Aku dan Sesama meluangkan ruang kepada Tuhan dalam dirinya, semakin religiouslah si Aku dan Sesama memaknai dirinya, relasinya, dan alam semestanya.

Rosario

Bulan Mei dan Oktober adalah bulan yang dikhususkan oleh Gereja guna memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh umat beriman untuk berdoa bersama Bunda Maria, Bunda Allah, Bunda Yesus Kristus. Kebaktian kepada Bunda Maria ini disebut Devosi. Devosi berasal dari bahasa latin devotio, yang berarti “kebaktian, pengorbanan, sumpah, kesalehan, cinta bakti.” Dengan melakukan devosi, umat diharapkan semakin menyadari bahwa “manusia dengan segala tradisi, budaya, inteligensi, afeksi-emosi, dan rohaninya diterima dan dikuduskan oleh Allah.” Allah melalui Yesus Kristus dalam Roh Kudus “menerima manusia dalam keseluruhan dimensinya.” Selain itu, devosi juga mau “menampilkan sisi pemahaman dan penghayatan iman umat yang beranekaragam, yang merakyat, bukan yang teologis.” Apakah cara seperti ini salah? Praktek devosi yang dilakukan oleh umat beriman, seperti devosi kepada Sakramen Mahakudus, Jalan Salib, Rosario, Novena, atau Ziarah adalah baik dan benar selama dihayati dalam “roh dan kebenaran” (Yoh 4:23). Artinya Praktek Devosi harus dijauhkan dari: (1) pandangan bahwa devosi adalah pengganti liturgi resmi Gereja. Umat tetap harus mengutamakan liturgy resmi gereja, baru sesudah itu melaksanakan devosi. Gampangnya: “devosi adalah sarana alternative umat beriman dalam menghayati imannya akan Yesus Kristus sebagai Juru Selamat Dunia.” (2) bahaya praktik magis. Umat tidak boleh menganggap bahwa rumusan doa Salam Maria, atau Rosario itulah yg mengabulkan doanya. Tetapi umat harus senantiasa mengingat dan mempercayai bahwa sumber daya, kekuatan, dan terkabulnya doa hanyalah Allah saja. Allah melalui Yesus Kristus dalam Roh Kudus. (3) pengingkaran iman Gereja, yang TRINITARIS. Kesalehan dan antusiasme devosional harus selalu ditempatkan dalam rangka pemuliaan ALLAH TRINITARIS. Bukan pemuliaan Patung, Biji Rosario dsb. Semoga devosi kita – terutama ROSARIO yang kita laksanakan pada bulan Mei dan Oktober – memberi sumbangan yang sangat berharga dalam hidup iman kita. Saya harap dengan melaksanakan devosi kepada Bunda Maria, kita semakin menyadari pentingnya: (1) dimensi afeksi-emosi dalam liturgi. Kita beriman sebagaimana adanya kita. (2) kesederhanaan ungkapan iman dalam liturgi. Kita berdoa dan berkomunikasi dengan Tuhan menurut kemampuan dan bahasa kita yang sederhana. Tidak perlu rumit dan melayang-layang di udara. (3) berdoa secara terus menerus atau mengulang-ngulang doa yang sama. Dengan begitu, kita mengalami bahwa Tuhan, Allah hadir disini, kini, dan dekat dengan kita. ALLAH TERLIBAT DALAM HIDUP KITA. IMANUEL.