Senin, 04 Juni 2012

Sekolah: "Taman Kehidupan"

Taman, entah taman di rumah, di kantor, atau dimana saja, menjadi sebuah "ruang perjumpaan" antar-yang satu dengan yang lain (the others). Seperti kupu-kupu dapat berjumpa dengan lebah, burung, lalat, atau dengan lain di taman kehidupannya. Bukan hanya itu, taman juga menjadi "ruang penghangat" yang menghangatkan perjumpaan "cinta kasih" antarpribadi. Karena itu, taman yang indah seringkali dipenuhi oleh manusia mulai dari anak-anak sampai orang tua. Di "taman" itu mereka "merayakan" kehangatan "kenangan" hidupnya yang telah dilalui dan "menumbuhkan" harapan baru untuk masa depan. "Kehadiran" manusia dan makhluk-makhluk lain di taman mempresentasikan "kehadiran" kehangatan, ketenangan, kenyamanan, dan kebahagiaan "perjumpaan" mereka pada "ruang kehangatan." Dalam kehangatan pribadi itu, bertumbuh kebersamaan untuk melangkah maju menuju masa depan yang lebih baik. Bagaimana dengan sekolah kita? Sudahkan menjadi taman pertumbuhan-pendewasaan manusia-manusia muda? Ki Hajar Dewantara dengan indah menggagas "sekolah" sebagai sebuah taman kehidupan (taman siswa), sebuah ruang perjumpaan antarberanekaragam pribadi manusia-manusia muda dan tempat mereka untuk belajar, bertumbuh, berkembang, dan menjadi dewasa dalam sikap dan perilaku, sehingga kelak dapat menjadi "pelita" bagi yang lain. Sebagai sebuah taman, sekolah diharapkan menjadi medium dan sekaligus ruang berkreasi untuk mengolah dan mengasah raga, rasa, karsa, ilmu pengetahuan, dan berkolaborasi membangun bangsa dan negara. Untuk itu, mari kita jadikan sekolah kita sebagai sebuah "taman perjumpaan kehangatan" antarpribadi yang sedang "mendesain diri" untuk dapat hidup di tengah-tengah dunia yang serba cepat dan cenderung keras. Semoga dengan "taman perjumpaan" itu, anak-anak didik kita menjadi lebih "kuat karakter positifnya" untuk hidupnya di masa depan.

Minggu, 03 Juni 2012

BERJALAN BERSAMA ALLAH

Hidup berkeluarga merupakan panggilan khusus yang dianugerahkan Allah kepada setiap manusia. Sebagai panggilan, hidup berkeluarga terjadi bukan semata-mata karena kehendak manusia, tetapi melibatkan Allah di dalamnya. Allah turut serta merencanakan, menghendaki, dan memberkati keluarga kita. Allah menjadi sendi dasar terbangunnya sebuah keluarga yang terberkati. Sementara suami-istri menjadi bangunannya, yang menghiasi, mengembangkan, dan merawatnya dengan cinta kasih yang total dari keduanya. Untuk itu, hidup berkeluarga (perkawinan) melambangkan hubungan antara Kristus dan Gereja-Nya (Ef 5: 22-23). Mereka akan hidup dalam persekutuan seperti halnya hidup Gereja sebagai persekutuan. Mereka adalah Gereja mini. Perkawinan memperlihatkan dan melambangkan kasih Allah kepada manusia dan kasih Yesus kepada Gereja-Nya. Mereka bukan lagi dua, melainkan SATU. Kesatuan pasangan dalam menziarahi panggilannya di dunia sebagai keluarga yang diberkati Tuhan membutuhkan perjuangan yang terus menerus tanpa henti. Kemampuan untuk bertahan sebagai keluarga yang diberkati Allah merupakan ketaatan kita pada kehendak Allah. Seperti Yusuf dan Maria. Namun, dengan adanya berbagai macam godaan dan tawaran yang lebih menarik, suami-istri perlu mengupayakan dan melibatkan kekuatan Allah, yang menyatukan dan memelihara mereka. Mereka perlu terus berjalan bersama Allah. Berjalan bersama Allah membutuhkan keterbukaan dan ketaatan kepada kehendak dan firman-Nya. Seperti Musa, suami-istri perlu terus menyerahkan diri agar Allah tetap bersama mereka. Berkatalah Musa kepada-Nya: "Jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, janganlah suruh kami berangkat dari sini. Dari manakah gerangan akan diketahui, bahwa aku telah mendapat kasih karunia di hadapan-Mu, yakni aku dengan umat-Mu ini? Bukankah karena Engkau berjalan bersama-sama dengan kami, sehingga kami, aku dengan umat-Mu ini, dibedakan dari segala bangsa yang ada di muka bumi ini?" (Kel 33:15-16). Penyertaan Tuhan memberikan nilai yang berbeda bagi setiap suami-istri dalam menziarahi hidup keluarganya. Suami-istri akan diarahkan dan dituntut Allah pada jalan yang dikehendaki-Nya, bukan kepada jalan yang mereka kehendaki. Seperti Bangsa Israel, dalam perjalanannya menuju Kanaan, mereka dipimpin oleh Tuhan dengan menggunakan tiang awan pada siang hari dan tiang api pada malam hari. Demikian juga Yosua dipimpin dan dibimbing oleh Allah karena Yosua mengikat perjanjian dengan Allah. Bahwa Allah akan memberikan semua tanah Kanaan asalkan Yosua berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam Yosua 1, kita membaca janji Tuhan itu: “Setiap tempat yang akan diinjak oleh telapak kakimu Kuberikan kepada kamu, seperti yang telah Kujanjikan kepada Musa. Dari padang gurun dan gunung Libanon yang sebelah sana itu sampai ke sungai besar, yakni sungai Efrat, seluruh tanah orang Het, sampai ke Laut Besar di sebelah matahari terbenam, semuanya itu akan menjadi daerahmu. Seorangpun tidak akan dapat bertahan menghadapi engkau seumur hidupmu; seperti Aku menyertai Musa, demikianlah Aku akan menyertai engkau; Aku tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau. Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, sebab engkaulah yang akan memimpin bangsa ini memiliki negeri yang Kujanjikan dengan bersumpah kepada nenek moyang mereka untuk diberikan kepada mereka. Hanya, kuatkan dan teguhkanlah hatimu dengan sungguh-sungguh, bertindaklah hati-hati sesuai dengan seluruh hukum yang telah diperintahkan kepadamu oleh hamba-Ku Musa; janganlah menyimpang ke kanan atau ke kiri, supaya engkau beruntung, ke manapun engkau pergi. Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung.” Berjalan bersama Allah memberikan kekuatan dan kemuliaan bagi setiap keluarga. Keluarga akan menjadi cahaya-terang dan garam dunia. Seperti keluarga Kudus dari Nazareth, hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. ”Bersabdalah, ya, Tuhan, hamba siap mendengarkan.” Keluarga yang berjalan bersama Allah menziarahi hidupnya sesuai dengan kehendak Bapa (Mat 7:21-23). Kebersamaan Allah di dalam keluarga memberikan kekuatan dan kedamaian bagi setiap keluarga (Maz 29:11). Keluarga yang berjalan bersama Tuhan pergi mendekati Tuhan setiap harinya dan berdiri di hadapan-Nya. Ini adalah kehidupan yang pergi dihadapan Tuhan dengan rendah hati; ini adalah kehidupan yang dengan taat berdiri dihadapan Tuhan dengan hanya berkata, “Berbicaralah Tuhan.” Berjalan bersama Tuhan berarti “kita tetap berada di dalam Allah dan Dia di dalam kita: Ia telah mengaruniakan kita mendapat bagian dalam Roh-Nya.” Kita tidak goyang ke kiri atau ke kanan. Hidup kita berpusat pada Firman dan hanya mencari muka Tuhan. Dengan berjalan bersama Tuhan, kita mengandalkan Tuhan pada waktu susah dan menerima kasih karunia dari atas untuk menyelesaikan masalah-masalah ini. Berjalan bersama Tuhan menjadikan hidup kita selalu berada dalam kelimpahan. Ini karena mata Tuhan selalu bersama kita dan Dia tidak pernah meninggalkan kita. Berjalan bersama Tuhan berarti kita hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, kita berdiri dihadapan Tuhan dan mempunyai Yesus di dalam kehidupan kita. ”... kamu harus menaruh perkataanku ini dalam hatimu dan dalam jiwamu; kamu harus mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu” (Ul 11:18) “Berbahagialah orang, yang menaruh kepercayaannya pada TUHAN, yang tidak berpaling kepada orang-orang yang angkuh, atau kepada orang-orang yang telah menyimpang kepada kebohongan!” (Mzm 40:4) “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus…” (Flp 2:5)

MERAYAKAN KOMITMEN BERSAMA

Semua hubungan mempunyai masa sulitnya. Dibutuhkan keberanian untuk bertahan dalam jalurnya. Seorang bijak berkata: “”Kehidupan pernikahan layaknya suatu lari maraton. Tidak cukup hanya membuat start yang bagus ke suatu pernikahan jangka panjang. Engkau memerlukan Kekuatan Kuasa”. Menurut Thurber, ”Cinta adalah apa yang telah engkau lewati dengan seseorang.” (http://discover.seiman.org, 5/2/10). Pernikahan bukanlah “saat” kita untuk menjadi tidak setia, tetapi “saat” kita untuk menjadi bagian hidup dari pasangan kita. Bahwa dua hati telah menjadi satu.” Bahwa “dua pribadi menjadi satu daging.” “Kesatuan ini, penggabungan ini, adalah suatu kebergantungan satu dengan yang lain yang mengikat satu hati ke yang lainnya dalam ”ikatan emas kasih yang kekal.” Dalam konteks ekslusivitas (dan hanya dalam konteks itu saja), suatu pasangan bertumbuh dalam kepercayaan, pengontrolan diri, dan penghargaan. Dalam atmosfir ini setiap anggota akan menjadi dirinya sendiri yang terbaik dan mengisi tujuan Sang Pencipta untuk perkawinan mereka. Percintaan Seksual merayakan dan memperkuat komitmen ekslusive itu. Tanpa komitmen ini terhadap satu sama lainnya, tindakan seksual adalah cinta diri sendiri, dan terutama adalah menghancurkan diri sendiri dan pasangannya.” (http://discover.seiman.org, 5/2/10). Komitmen pada hidup perkawinan membutuhkan tanggung jawab dan pengorbanan yang besar karena kita harus menempatkan seluruh diri kita pada kehidupan perkawinan kita. Ketegasan, kejujuran, keadilan, dan keterbukaan menjadi pengikat yang kuat untuk tetap bertahan pada jalur kesatuan hati dengan pasangan. Karena itu, setiap pasangan harus rela dan dengan senang hati mengesampingkan kepentingan dirinya sendiri demi tercapainya tujuan atau kepentingan bersama, yaitu kebahagiaan bersama. Merayakan komitmen bersama dapat dilakukan dengan berbagai macam cara sesuai dengan kebutuhan dan kebahagiaan pasangan kita. Perayaan komitmen harus semakin memersatukan pasangan dalam persekutuan kasih. Juga pasangan saling menyegarkan kembali ikatan kasih yang dibangun bersama. Suami mengakui bahwa "engkau isteriku, seluruh dirimu kugantikan dengan diriku.” Demikian juga isteri bersedia "engkau suamiku, seluruh dirimu kugantikan dengan diriku". Maka dengan pertukaran itu, suami dapat memandang dan memperlakukan isterinya, sebagai "dirinya sendiri", sebaliknya begitu. Dengan kata lain, suami isteri saling mengarahkan jerih payahnya untuk hidup pasangannya, bukan hidup dirinya sendiri. Itulah "mengasihi sesama seperti dirinya sendiri" dalam keluarga. Kasih antar sesama itu dapat menjadi "tanda kasih yang hidup dari kesetiaan kasih Allah kepada manusia” (http://komkatkpwt.blogspot.com, 5/2/10). Oleh karena itu, rayakanlah komitmen perkawinan dengan cara-cara yang membuat anda semakin diper-SATU-kan sebagai pasangan. Misalnya: berlibur ke suatu tempat yang romantic, saling memberikan pujian, berdoa bersama, mengundang saudara atau teman dalam HUT perkawinan, atau mengadakan Misa syukur di rumah, dst. Komitmen tentu tidak hanya dirayakan, tetapi harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab sebagai pasangan. Karena itu, kita perlu merefleksikan sikap dan perilaku kita setiap saat: apa saya sudah berada pada jalur yang benar? Apakah saya sudah mengesampingkan kepentingan diri demi kebahagiaan bersama? Apakah saya sudah bertanggung jawab terhadap kehidupan keluarga? dst. Untuk itu perlu diupayakan secara terus menerus: (1) menumbuhkan komunikasi yang baik, terutama bentuk komunikasi yang tepat. Komunikasi bisa dilakukan dengan cara-cara yang sederhana, pilihlah sebuah penyampaian pesan yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Terpenting saat kita menyampaikan pesan, pahami kondisi keluarga, terutama kondisi pasangan. Apapun masalah yang kita hadapi, hadapi dengan keterbukaan. Ciptakan sebuah solusi ampuh agar siap menghadapi berbagai masalah. Komunikasi terbuka, penting dalam sebuah pernikahan. Hindari sikap saling tutup mata terhadap permasalahan yang mungkin terjadi. (2) Sadarilah bahwa cinta bukan segalanya, tetapi segalanya membutuhkan cinta supaya dapat berjalan dalam cinta. Saling menghormati, menghargai, kesetiaan dan sebuah kejujuran adalah hal penting yang perlu dibina untuk membangun pernikahan yang ideal dan langgeng. (3) Mengembangkan tanggung jawab. Pernikahan adalah sebuah rasa tanggungjawab penuh atas komitmen yang telah dibuat. Kita tidak hanya bertanggungjawab pada diri sendiri, tapi kita juga bertanggungjawab kepada keluarga dan juga kepada Tuhan. (4) Pahamilah bahwa pernikahan tidak mematikan kepribadian seseorang. Sebuah ikatan bernama pernikahan bukan berarti memenjarakan atau terbelenggunya hak individu. Idealnya, pernikahan akan memperkaya kepribadian seseorang karena mereka dapat melengkapi satu sama lain dan saling belajar untuk menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tak hanya itu, dengan pernikahan diharapkan kedua pasangan dapat mengembangkan diri secara optimal karena adanya sikap saling mendukung satu sama lain. “Rayakanlah komitmen dengan penuh cinta dan kebahagian, maka kita akan bahagia.” Berbahagialah orang, yang menaruh kepercayaannya pada TUHAN, yang tidak berpaling kepada orang-orang yang angkuh, atau kepada orang-orang yang telah menyimpang kepada kebohongan! (Mazmur 40:4-5) Berbahagialah orang-orang yang berpegang pada hukum, yang melakukan keadilan di segala waktu! (Mazmur 106:3) Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. (Matius 5:8)

PONDASI HIDUP BERKELUARGA

Layaknya membangun sebuah rumah, kita membutuhkan perencanaan yang matang, pelaksanaan yang baik, dan perawatan yang kontinu. Rumah yang dibangun tanpa perencanaan, pelaksanaan, dan perawatan yang baik akan segera rusak. Demikianlah hidup berkeluarga membutuhkan perencanaan yang sungguh-sungguh matang (fisik, psikologis), pelaksanaan komitmen yang kuat, dan perawatan komitmen yang kontinu. Komitmen bukan hanya perlu dirawat, tetapi juga perlu terus menerus disegarkan dan dimaknai dalam seluruh aktivitas kehidupan kita. Pemaknaan akan komitmen mengawal dan mengarahkan kita pada tujuan hidup berkeluarga, yaitu kebersamaan seluruh hidup, kebahagiaan suami istri sebagai pasangan, kelahiran dan pendidikan anak. Hidup berkeluarga menjadi suatu panggilan Allah untuk ambil bagian dalam karya penciptaan-Nya dan sekaligus pilihan bebas dari setiap pribadi. Pilihan Hidup berkeluarga merupakan pilihan bagi setiap orang yang hendak ambil bagian dalam panggilan Allah “beranakcuculah dan bertambah banyak....” (Kej 2: 28). Sebagai pilihan, hidup berkeluarga tentu merupakan bentuk pengabdian kepada Allah yang telah terlebih dahulu mengasihi dan mencintai manusia. Pilihan untuk mengabdi Allah melalui hidup berkeluarga merupakan panggilan khas bagi setiap pasangan suami-istri. Mereka dipanggil untuk meneruskan karya besar Allah, yaitu “melanjutkan karya penciptaan-Nya” yang bermartabat dan bermanfaat bagi kehidupan yang lain supaya “semua baik adanya.” Oleh karena itu, agar pilihan kita menjadi berkat dan anugerah bagi diri kita dan orang lain, kita perlu membangun dan menjalani pilihan itu dengan pondasi yang kuat, dikehendaki, tahan terhadap berbagai macam gelombang, riak, badai kehidupan, dan diberkati oleh Allah. Sehingga pilihan kita mencerminkan cara Allah meneruskan ciptaan-Nya. Pondasi Pondasi adalah dasar yang kuat yang menopang seluruh bangunan yang ada di atasnya. Tuhan Yesus memilih Petrus sebagai pondasi bagi Gereja-Nya karena Petrus dianggap mampu berdiri kokoh di tengah-tengah gelombang dan badai yang mengancam Kerajaan Allah. Ketika ia ditanya berulang kali: “Petrus apakah engkau mencintai Aku?” Petrus menjawab: “Ya, Tuhan, aku mencintai Engkau.” Lalu Yesus berkata: “... Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya” (Matius 16:18). Berikut beberapa pondasi dalam menjalankan kehidupan berkeluarga agar tetap utuh. 1. Visi-misi Membangun keluarga perlu dilandasi oleh visi dan misi yang fokus pada tujuan yang mau dicapai bersama antara suami dan istri. Visi dan misi harus jelas dan dibuat serta dijalankan secara bersama-sama. Visi dan misi harus mengakomodasi keberagaman suami dan istri. Banyak keluarga hancur hanya karena perbedaan visi dan misi dalam menjalankan biduk rumah tangganya. 2. Kejujuran Kejujuran terhadap diri sendiri dan terhadap pasangan merupakan nilai yang tidak dapat dibandingkan dengan apapun juga. Karena dalam kejujuran kita menemukan keutuhan diri kita sendiri dan keutuhan pasangan kita. Dalam kejujuran, kita belajar memberikan diri secara utuh kepada pasangan dan sekaligus belajar menerima pasangan apa adanya. “Pasanganku adalah yang terbaik bagi hidupku.” 3. Iman Iman mendasari semua tindakan kita. St. Yakobus menegaskan: “iman menjadi sempurna dalam perbuatan-perbuatan kita...” Dengan iman yang kuat kita dapat menghargai karya Allah yang terjadi atau terlaksana dalam diri pasangan kita. “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr 11:1). Iman yang sama akan memermudah komunikasi kita dengan pasangan. Juga memermudah kita merencanakan kegiatan-kegiatan menjelang hari-hari special. Iman dapat memererat ikatan cinta kasih antarpasangan, memerdalam penghayatan iman keluarga. Bahwa kasih yang ada di antara mereka berasal dari kasih Allah sendiri. 4. Komitmen Komitmen adalah perjanjian antara suami-istri untuk melakukan sesuatu. Komitmen menjadi kesepakatan bersama antara suami dan istri yang dibangun atas dasar mau, sadar, dan penuh tanggung jawab. Dalam komitmen terkandung tanggung jawab yang tidak dapat dilanggar. Pelanggaran terhadap komitmen berarti mencederai keindahan perkawinan. “Peliharalah komitmen dengan penuh kesadaran seperti saat kita membuatnya.” 5. Growth (psbrahmana.blogspot.com) G--> Go to God in daily prayer - Menghadap kepada Allah dalam doa setiap hari (Yohanes 15:7) R--> Read God's Word daily - Membaca Firman Allah setiap hari (Kis. 7:11). O--> Obey God moment by moment - Mentaati Allah setiap saat (Yohanes 15:8). W--> Witness for Christ by our life and words - Memberi kesaksian tentang Kristus lewat kehidupan serta ucapan kita (Matius 4:19; Yohanes 15:6). T --> Trust God every detail of our life - Mempercayakan setiap detail kehidupan kita kepada Allah (1 Petrus 5:7). H --> Holy Spirit: Allow him to control and empower our daily life and witness -Membiarkan Roh Kudus mengendalikan serta memberdayakan kehidupan serta kesaksian kita sehari-hari (Galatia 5:16,17: Kis. 1:8) 6. Pengampunan Kemampuan dan kesediaan untuk mengampuni (memaafkan) adalah kunci dari kebahagiaan pasangan. Setiap pasangan (suami-istri) dapat saling memaafkan kesalahan tanpa rasa dendam (fair). Dalam suasana pengampunan itu, suami-istri mampu bersikap adil satu sama lain, sehingga dapat mencegah konflik biasa menjadi luar biasa. Karena itu, belajarlah untuk mengampuni (memaafkan) kesalahan pasangan; belajarlah untuk memahami bahwa setiap peristiwa hidup menggoreskan makna/nilai untuk hidup. “TUHAN itu berpanjangan sabar dan kasih setia-Nya berlimpah-limpah, Ia mengampuni kesalahan dan pelanggaran…” (Bil 14:18). “... baik dan suka mengampuni dan berlimpah kasih setia bagi semua orang yang berseru kepada-Mu.” (Mzm 86:5). 7. Melupakan Mengampuni (memaafkan) ada kaitannya dengan melupakan. Kita tidak bisa melupakan kesalahan seseorang jika kita tidak bisa mengampuni kesalahan-kesalahan tersebut atau bahkan mengungkitnya. Kita harus menyadari bahwa semua orang mempunyai masa lalunya sendiri dan jika pasangan mengungkitnya, ini hanya akan menimbulkan konflik yang tak berkesudahan sehingga bisa terjadi dendam yang membuat hati keras. Jadi, kemampuan untuk mengampuni berarti pula kemampuan untuk “melupakan.” Mengampuni → melupakan → memberi → menerima → membahagiakan → merayakan. Rayakanlah kehidupan perkawinan anda dengan sikap rendah hati: saling mengampuni dan menerima satu sama lain dalam berbagai kekurangannya. 8. Sabar Sabar berarti tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati). Sabar juga berarti tabah, tenang, tidak tergesa-gesa. Menjadi seorang yang sabar memang bukan hal yang mudah namun ini bisa menjadi kekuatan dahsyat untuk mencapai kehidupan yang sehat lahir dan batin. Sikap sabar memampukan kita menjadi lebih pasrah kepada kehendak Allah dan mendekatkan diri kepada Allah. Kita percaya bahwa Allah akan mengerjakan yang terbaik bagi hidup kita. Kita jadi bisa memberdayakan mekanisme hidup kita untuk menghadapi saat saat sulit dalam hidup. “... orang yang sabar memadamkan perbantahan.” (Ams 15:18). “Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota.” (Ams 16:32). “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.” (Ef 4:2) 9. Fleksibel Fleksibel berarti luwes, dinamis, lentur. Orang yang fleksibel adalah orang dapat menyesuaikan diri di dalam situasi yang dihadapi atau dimasuki. Ia ibarat air yang dapat membentuk dirinya sesuai dengan tempatnya. Dalam hidup berkeluarga, sikap dan perilaku fleksibel perlu terus diupayakan. Artinya setiap pasangan perlu memahami dan mengerti bahwa pasangannya tidak sama seperti yang dipikirkannya. Banyak pernikahan tidak bahagia karena pasangan tidak bisa mengembangkan sikap fleksibel dan lentur. Kita jangan berharap pasangan kita dapat mengubah sikap atau perilakunya dalam waktu singkat kecuali jika ada kesadaran bahwa sikap atau perilakunya ada yang salah dan harus diubah. Jangan pula berharap pasangan mampu berperilaku sama persis dengan diri kita, karena setiap manusia punya kepribadian khas. Tetapi alangkah baiknya kita saling menghormati asalkan sikap atau prinsip kita tidak bertentangan dengan tujuan pernikahan/keluarga. 10. Persahabatan Persahabatan dalam hidup berkeluarga sangat penting. Karena melalui persahabatan kita saling menghormati, menghargai, menerima dan menyanyangi, meski kita juga memiliki perbedaan. Dalam persahabatan, suami-istri mengembangkan sikap dan perilaku yang menguntungkan keluarganya. Bukan yang menguntungkan dirinya dan merugikan keluarganya. Sikap dan perilaku pasangan mengutamakan kebahagiaan keluarga, sehingga mereka mampu menghadapi tekanan dari luar. Persahabatan ini diarahkan untuk kebahagiaan pasangan, anak, dan anggota keluarga yang lain. 11. Bersenang-senang Kehidupan berkeluarga perlu dirayakan dengan fun. Pasangan perlu meluangkan waktu berdua untuk menikmati keindahan sebagai pasangan. Mungkin dengan pergi berlibur ke pantai atau ke tempat-tempat romantis lainnya. Karena hal itu makin menguatkan ikatan tali kasih keduanya. Banyak orang yang mengalami kekosongan dalam pernikahan karena mereka tidak bisa meluangkan waktu berdua karena kesibukannya. Oleh karena itu, utamakanlah kebahagiaan keluarga dengan meluangkan waktu setiap anda bisa untuk berduaan dengan pasangan anda. Ekspresikan apapun perasaan dan perilaku cinta anda pada pasangan. Jangan malu-malu. Sebab “dunia adalah milik anda berdua.” 12. Setia Setia adalah pondasi yang tidak bisa di tawar dalam pernikahan. Kesetiaan adalah kunci dari indahnya hidup pernikahan. Karena itu, masing-masing pasangan harus bisa menjaga kepercayaan masing-masing pihak, menjaga diri mereka agar tidak terbawa, memulai atau apapun perselingkuhan yang ditawarkan dunia. Mengingkari kesetiaan berarti berdosa terhadap diri sendiri, pasangan, dan terutama terhadap Allah yang telah memberkati kesetiaan anda. Disamping itu, akibat paling buruk dari pengingkaran kesetiaan adalah pernikahan lama-lama menjadi rapuh. Kebahagiaan mungkin hanya tinggal mimpi. “Jadilah setia dengan kesetiaan anda sebagai pasangan.” 13. Adil Adil berarti memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Bertindak adil berarti memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya berdasarkan semangat belas kasih Allah. Karena itu, ketika rasa marah atau rasa tidak suka menimbulkan rasa ketidakadilan, maka ingatlah firman Allah bahwa " janganlah bersikap tidak adil dalam keadaan apapun" “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?" (Mikha 6:8). 14. Keuangan Keuangan kelihatannya sepele padahal bisa merusak dan memengaruhi kebahagiaan pernikahan. Solusinya komunikasikan masalah keuangan. Gunakan perencanaan keuangan yang matang: apakah pengelolaannnya diserahkan pada satu pihak atau kedua belah pihak memegang sendiri-sendiri. Aturlah sedemikian rupa supaya antarpasangan nyaman. Jadi bijaklah dalam mengaturnya. Suami-istri sebaiknya bersikap seperti yang dikatakan St. Paulus: “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau" (Ibrani 13:5). 15. Kekeluargaan Membangun sebuah keluarga yang dilandasi oleh iman, pengharapan, dan cinta kasih yang tulus tidak mudah. Banyak tantangan yang harus dihadapi, baik dari dalam diri sendiri (kemampuan untuk menerima kekurangan pasangan) maupun dari luar diri (tawaran dunia yang selalu tampak lebih baik). Apalagi jika keduanya tidak dibekali pengetahuan yang cukup tentang tujuan dibangunnya keluarga, bagaimana menerima dan menghormati pasangan, atau bagaimana menjadi orangtua yang efektif. Oleh karena itu, perbanyaklah mencari pengetahuan, tanyalah pada ahli atau orang yang anda teladani. Berusahalah berdiskusi tentang apa yang akan dilakukan, keluaga adalah prioritas utama sehingga jika terjadi konflik carilah waktu untuk menyelesaikannya. 16. Kebebasan Pernikahan terjadi harus didasari oleh sikap bebas dari kedua belah pihak. Masing-masing bebas untuk memilih dan menentukan pasangannya atas dasar cinta kasih yang total dan yang tidak dapat ditarik kembali. Artinya kedua belah pihak memberikan 100% cintanya hanya kepada pasangannya. Karena itu, kebebasan pernikahan adalah kemitraan bukan perbudakan. Masing-masing pasangan saling melengkapi satu sama lain (komplementer), saling memperhatikan kebutuhan suami istri agar tahu batasan mana yang harus atau tidak boleh dilakukan. Juga penghormatan terhadap kreatifitas atau apapun kesukaan, prinsip dll dari masing-masing, sehingga keluarga bisa berjalan bersama tanpa harus terkekang. Dalam hal ini baik diperhatikan nasihat St. Paulus: “Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang” (1 Kor 9:19). “Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain” (Rom 7:3). “Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya” (1 Kor 7:39). 17. Jangan Malu Setiap pasangan perlu dan harus mengungkapkan perasaan atau keinginannya terhadap pasangan. Jangan malu menunjukkan cinta, bujuk rayu, atau romantisme-gairah pada pasangan. Hal ini penting, karena pasangan kita tidak selalu mengetahui apa yang sedang bergejolak di dalam hati kita. Sama seperti saat anda pacaran. Inilah cara untuk melanggengkan pernikahan. 18. Terus Terang Munkin anda masih ingat dengan lagu lawas yang syairnya berbunyi: “Terus terang saja, kamu katakan…” Syair lagu ini kira-kira menuntut kejujuran dan keterbukaan bagi setiap pasangan. Berterus terang, sikap jujur-terbuka sangat penting dalam suatu hubungan, agar pasangan merasa aman dan bebas mengatakan apapun, tentu saja dengan memperhatikan perasaan masing-masing. “Berterus teranglah, maka anda akan bahagia.” 19. Fasilitator Yesus bersabda: “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Mat 6:33). Komitmen terhadap Allah ini menjadikan seseorang memiliki kemampuan memfasilitasi peningkatan keimanan pasangan. Pasangan saling memfasilitasi dalam mengembangkan dirinya dan meningkatkan relasinya dengan Allah. “Allah menjadi kepala keluarga, sementara suami-istri menjadi wakil-Nya.” 20. Saling Memuji Pujian merupakan salah satu cara untuk menghangatkan hubungan. Saling memuji merupakan cara termurah untuk menenangkan suami istri. Bukankah setiap orang senang dipuji? 21. Kepuasan Merasa puas dengan pasangan merupakan pengalaman yang sangat berharga, jatuh cinta berarti saling memberi dan menerima dan tidak bersikap egois. 22. Berbuat Salah Semua manusia bisa melakukan kesalahan jangan berharap lebih, seringkali harapan kita lebih tinggi dari kenyataan. Selalu ingat bahwa yang sempurna adalah Allah. Manusia adalah mahluk yang tidak sempurna, pahami kemudian maafkanlah. 23. Fondness Banyak pernikahan gagal hanya karena pasangan tidak bisa melihat pasangannya sebagai pribadi yang unik dan istimewa. Oleh karena itu, jika ingin menciptakan suasana itu sediakanlah waktu untuk membangun kasih sayang diantara anda. 24. Masa depan Pasangan suami istri yang pandai akan membuat perencanaan masa depan bersama-sama. Cara ini sangat baik karena kini mereka bukan satu individu lagi melainkan berdua. Rencana satu individu akan berkaitan dengan yang lain pula. Jadi apapun itu ketika menyangkut hubungan berdua komunikasikanlah. 25. Perasaan (Feeling) Setiap pasangan perlu dan harus memperhatikan perasaan masing masing pasangan sehingga segala rasa, kata, dan laku dapat diatur agar tidak menyakiti hati satu sama lain. Pahami bahwa setiap orang mempunyai kepribadian yang berbeda. Sesuaikanlah apa yang ingin dikata, dilakukan dengan cara yang baik agar idak terjadi kesalahpahaman.