Jumat, 04 Oktober 2013

Meniti Tugas Perutusan

Tugas perutusan kita lahir ke dunia ini adalah mewujudnyatakan "wajah" Allah yang mahamurah, mahacinta, mahakasih, dan maharahim. Melalui kehadiran kita yang menyenangkan, membahagiakan, dan menginspirasi, sesama dapat mengalami kehadiran Allah. Tuhan Yesus ketika mengutus para murid-Nya menegaskan bahwa tugas perutusan kita sebagai murid-murid-Nya adalah "mewartakan damai sejahtera kepada setiap orang" dan "menyembuhkan orang-orang sakit yang dijumpai di tempat perutusan." Dalam menjalankan tugas perutusan itu, Yesus menegaskan: "jangan membawa pundi-pundi atau barang atau bekal atau kasut...tetapi makan dan minumlah apa yang disiapkan oleh tuan rumah." Tugas perutusan membutuhkan kejernihan hati dan kesederhanaan untuk membiarkan diri dikuatkan dan dikuasai oleh kekuatan Allah.

Kamis, 03 Oktober 2013

Kekekalan

Ketika Yesus naik ke surga, para murid bengong memandang ke langit. Mungkin dalam hati mereka menyimpan seribu macam rasa yang akan dihadapinya. Perasaan pertama , rasa takut mendalam. Takut akan ancaman orang-orang yang membenci mereka. Takut mereka mengalami nasib yang sama dengan gurunya: disiksa, dianiaya, di salib. Perasaan kedua , bagaimana janji akan datangnya Roh Penghibur dapat dipenuhi, sementara Yesus pergi meninggalkan mereka. "jangan-jangan, apa yang diucapkan Yesus adalah janji kosong, sekedar hanya menghibur mereka sesaat." Perasaan yang ketiga, seperti apa Roh Kudus itu? Roh Penghibur yang dijanjikan Yesus itu sungguh diluar daya jangkauan pikiran mereka. Seperti apa itu? Seperti apa wujud fisiknya? Apakah Roh itu nanti mampu menjaga dan melindungi mereka? Pertanyaan-pertanyaan itu merupakan reaksi/tanggapan manusiawi yang normal akan sesuatu yang misteri. Yesus dengan tegas mengatakan kepada para murid-Nya bahwa "Aku akan pergi ke Bapa" dan "Aku akan memberikan Roh Penghibur kepadamu." Pernyataan Yesus ini, bila kita pahami dengan baik, mempertegaskan keyakinan iman kita bahwa: "perpisahan dunia (fisik) adalah pasti, untuk memasuki perjumpaan yang abadi (surgawi, kekal). Perpisahan duniawi bukanlah akhir dari peziarahan hidup manusia, tetapi membuka jalan baru menuju pada kehidupan baru (surgawi)." Perjumpaan surgawi ini tentu akan dapat terealisasikan bila Roh Kudus memiliki ruang dalam hati kita. Kita memberikan ruang seluas-luasnya kepada Roh Kudus untuk membimbing dan menuntun kita pada "Jalan, Kebenaran, dan Hidup."

Selasa, 11 Juni 2013

Ah...

Kehidupan manusia semakin "sulit" dan penuh dengan tantangan. Sulit bukan karena banyak hal yang menyulitkan, tetapi karena manusia menciptakan kesulitannya sendiri. Manusia menciptakan "yang lain" yang menantang dan mengasingkan dirinya dari dunia kehidupannya, sehingga perlahan-lahan manusia tertekan-stress-"mati prematur". Anjurannya: kenalilah dan hormatilah dirimu sebagaimana ia adanya dan berjuanglah bersamanya untuk meraih sukses.....

Sabtu, 11 Mei 2013

Merefleksikan Karunia Allah Setiap Hari

Dalam kisah penciptaan, dikisahkan bahwa manusia diciptakan secitra dan segambar dengan Allah. Manusia diciptakan pada hari terakhir dari rangkaian penciptaan itu. Hal ini menandakan bahwa penciptaan manusia begitu istimewa bila dibandingkan dengan ciptaan-ciptaan yang lainnya. Keistimewaannya tentu saja tidak hanya terletak pada "dia adalah citra Allah", tetapi lebih dari itu, manusia dianugerahi "kekuasaan untuk menguasai dan menaklukkan alam semesta." Anugerah yang istimewa itu tentu saja dimaksudkan agar manusia ikut serta ambil bagian dalam karya-karya Allah bagi dunia, sehingga dunia dapat terus lestari. Karena itu, manusia disebut sebagai "partner" atau "co-creator" Allah bagi dunia. Sebagai "partner" atau "cocreator" Allah, manusia menjadi "medium" yang mewujudnyatakan "Allah yang tidak kelihatan" kepada dunia, sehingga dunia mampu mengenal-Nya dan berkomunikasi dengan-Nya secara personal maupun kelompok. Realitas ini menandakan bahwa dalam diri manusia, Allah terus berkarya "sampai akhir zaman." Pertanyaannya adalah: sudahkah kita, manusia, menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa Allah tinggal dan berkarya di dalam diri kita? Bukankah kalau Allah berkarya di dalam diri kita berarti kita (seharusnya) menjadi "pancaran diri-Nya"? Kesadaran kita akan "tinggal dan berkaryanya Allah" dalam diri kita dapat kita "temukan" bila kita merefleksikan anugerah-anugerah Allah yang kita alami setiap hari dalam hidup kita. Melalui refleksi itu, kita menemukan kekuatan iman, sehingga kita sanggup melakukan "apa yang orang lain tidak mungkin kita lakukan." Artinya, kita dapat melakukan hal-hal besar dengan melakukan hal-hal sederhana. Seperti yang dilakukan oleh Ibu Theresa dari Kalkuta (ia merawat manusia-manusia yang "dibuang" oleh sesamanya). Kita dapat melakukan apa yang tampak mustahil. Mengapa? Karena melalui refleksi iman itu, kita menemukan "sumber" yang mengarahkan kita untuk mampu melakukan yang BESAR melalui YANG KECIL. Selamat berefleksi.....

Kamis, 09 Mei 2013

"Genggam Erat Corpus Christi"

Kepercayaan yang total pada Yesus Kristus, menjadikan seseorang "berani" melakukan sesuatu yang sungguh luar biasa. Keberanian itu tentu didorong dan digerakkan oleh iman yang kuat akan kehidupan yang istimewa dari Sang Guru. St. Tarsisius melakukan hal yang luar biasa ini. Ia memutuskan untuk terus memegang erat Tubuh Kristus di dalam tangannya, meskipun dia dihujani batu oleh teman-temannya sampai dia menghembuskan nafas terakhirnya. Pengorbanan yang sungguh heroik.... "Genggamlah erat tubuh Kristus dalam diri kita, maka Ia akan menggenggam erat kita."