Sabtu, 19 November 2011

Hening

Meditasi identik dengan keheningan. Rekoleksi atau retret juga identik dengan keheningan. Bahkan dalam Retret lebih hening lagi, yaitu silentium magnum (berdiam diri seratus persen). Tidak ada suara sedekit pun. Apa tujuannya? untuk menemukan diri yang otentik, tanpa dipengaruhi atau ditopengi oleh hal-hal yang ada diluar diri. Diri yang otentik adalah diri yang sebagaimana adanya. Bukan yang bagimana diadakan. Penemuan diri yang otentik memberikan kekuatan dan keberanian kepada individu untuk juga menemukan panggilan hidupnya yang otentik pula. karena dalam keotentikan itu, diri yang sesungguhnya berinteraksi secara real dengan diri yang bergerak, bekerja, dan berpikir. Disinilah penting kita hening, hening, dan hening. Keheningan diri menuntun diri kita pada ide-ide yang luhur, cemerlang, dan luar biasa. Bukan hanya itu, keheningan juga memampukan kita untuk menemukan kekuatan guna melaksanakan dan merealisasikan ide-ide yang besar itu. Hening, hening, dan heningkanlah hidup kita, agar kita tercerahkan menuju kebesaran...

Senin, 14 November 2011

“Membentuk” Karakter Siswa

Pendahuluan Kita semua (mungkin) sependapat bahwa perubahan zaman yang sangat cepat dan spektakuler telah “menciptakan” dunia sebagai sebuah “panggung pertunjukkan kolosal” yang melibatkan semakin banyak orang sebagai pemain. Namun sayang, sang pemain seringkali tidak mengenal dirinya lagi. Sang pemain menyembunyikan dirinya di balik topeng, pakain-busana, dan perannya (jabatan, kekuasan), sehingga ia menjadi orang asing bagi dirinya sendiri, ibarat seorang kerasukan (trance). Akibatnya, sang pemain melakukan apa saja yang “diperintahkan”, dilihatnya, didengarnya, dibacanya, atau ditontonnya tanpa kontrol diri. Korupsi, bom bunuh diri, seks bebas, perkelahian antarpelajar, perampokan, narkoba, pemerkosaan merupakan contoh-contoh aktual masalah ini. Kita juga (mungkin) sependapat seperti Marshall McLuhan bahwa kemajuan di bidang komunikasi dan internet telah menjadikan dunia sebagai sebuah “a global village” karena semua orang dari berbagai macam bangsa dan Negara dapat saling berhubungan dan berkomunikasi seperti bertatapan muka (face to face). Ibarat tidak ada lagi sekat-sekat yang menghalangi “perjumpaan” itu bahkan sampai pada hal-hal privat. “Keterbukaan” dunia ini tentu membawa berbagai macam pengaruh, baik yang positif maupun yang negatif. Positif karena ia memberikan berbagai macam kemudahan dan kenyamanan bagi hidup manusia (mulai dari fasilitas di tempat tidur sampai pada fasilitas di luar rumah). Negatif karena keterbukaan itu “membius” manusia-manusia muda pada sikap dan perilaku menyimpang, seperti narkoba, kumpul kebo, premanisme, perkelahian antarpelajar, seks bebas, dsj. dan perlu segera mendapatkan penanganan. Di sinilah pentingnya pendidikan (sekolah). Pendidikan (sekolah) yang masih dipercaya sebagai salah satu institusi yang paling efektif dalam membina, membentuk, membimbing, dan mengembangkan anak didik ke arah kedewasaan-kematangan perlu mengambil sikap dan tindakan untuk meminimalisir masalah tersebut. Salah satu tindakan yang perlu dilakukan adalah membangun karakter siswa. Pilihan ini tentu merupakan pilihan yang sulit karena melibatkan masyarakat (orang tua siswa, masyarakat umum) dan seluruh stakeholders sekolah. Untuk itu, tulisan ini akan membicarakan dua hal itu, yaitu pendidikan karakter dan keterlibatan aktif masyarakat (orang tua siswa) dalam membangun karakter anak. Pendidikan Karakter Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat (Suyanto, 2010). Individu sadar, memahami, dan mengerti untuk apa ia melakukan atau membuat suatu tindakan atau keputusan. Untuk tujuan inilah kita membutuhkan pendidikan karakter. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut (Kemendiknas, 2010). Pendidikan karakter “membentuk” anak didik agar memiliki (1) keteraturan interior, sehingga anak didik mampu mengukur tindakannya berdasar hierarki nilai. Artinya nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakannya; (2) koherensi. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Dengan memiliki koherensi anak didik menjadi berani, teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko; (3) otonomi. Anak didik menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain: (4) keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih (bdk. Doni Koesuma A. Kompas Cyber Media). Dengan demikian, pendidikan karakter bermuara pada: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development)(Kemendiknas, 2010). Artinya pendidikan karakter melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif (Suyanto, 2010). Oleh karena itu, pendidikan karakter perlu dilaksanakan secara sistematis dan terstruktur dengan “melibatkan semua komponen (pemangku pendidikan), termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan” (Kemendiknas, 2010). Dalam dinamika itu, pendidikan karakter menjadi suatu kemendesakan untuk dilaksanakan di sekolah. Sekolah perlu mendesain sedemikian rupa aktivitas-aktivitasnya (proses pembelajaran, ekstra kurikuler) agar mengarah pada pembentukan, pembinaan, dan pematangan karakter anak didik. Karakter mempengaruhi sukses dan tidaknya seseorang. Seperti yang ditegaskan oleh cendekiawan China Lu Kun (1536-1618) pada Dinasti Ming, Saigo Takamori (1827-1877), serta Kazuo Inamori, pendeta, pebisnis, dan salah satu guru manajemen terkemuka dunia pada saat ini bahwa “kunci keberhasilan hidup yang sesungguhnya ternyata terletak pada attitude, karakter atau watak. Setelah watak, baru keberanian (courage), lalu kemampuan (ability). Bukan semata-mata pada kepintaran, inteligensia, maupun kerja keras” (TM. Luthfi Yazid, Gatra, 27/XVII 27 Mei 2011). Dengan demikian, karakter seseorang perlu terus menerus dibina, dibentuk, dikembangkan, dan “dilatih” agar menjadi kebiasaan yang terbatinkan, terinternalisasikan dalam diri anak didik. Tentu saja usaha ke arah itu dapat dicapai bila para orang tua (masyarakat), para pendidik dan lembaga pendidikan mengondisikan karakter baik dalam seluruh aktivitasnya. Bukankah sumbangan terbesar dari apa yang terjadi berasal dari hasil meniru dan belajar, baik di lingkungan keluarga, lingkungan pergaulan, lingkungan sekolah, dan lingkungan tempat tinggalnya? Di sinilah pentingnya partisipasi aktif masyarakat. Partisipasi Masyarakat (Parental involvement) "Parental involvement, in almost any form, produces measurable gains in student achievement" (Dixon, 1992, p. 16). Membentuk, menanamkan, membiasakan, dan memelihara karakter baik pada anak (siswa) membutuhkan kerjasama yang baik antara sekolah dan masyarakat (terutama orang tua siswa). Masyarakat membutuhkan sekolah; dan sekolah membutuhkan masyarakat. Masyarakat dan sekolah tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Masing-masing saling memengaruhi dan sekaligus menghidupkan. Antarkeduanya ada interrelasi dan interkorelasi. Kesalingtergantungan ini menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam kegiatan dan kehidupan sekolah menjadi salah satu faktor penting yang memengaruhi proses pencapaian prestasi anak didik di sekolah. The main benefit of parental involvement is the improved achievement of the student (LaBahn, J. 1995). Juga terpelihara atau terbina keseimbangan dalam membentuk karakter anak. Misalnya aturan sekolah mengharuskan anak untuk hidup disiplin. Aturan ini dapat berjalan dengan baik jika masyarakat turut menjaga putra-putrinya agar bersikap dan berperilaku disiplin. Mulai dari bangun pagi, berangkat ke sekolah, belajar di rumah, dan istirahat malam. Tanpa peran serta masyarakat, aturan ini sulit untuk ditegakkan. Akibatnya, di sekolah anak-anak mengalami kesulitan untuk disiplin. Maka ketika di sekolah anak-anak dipaksa untuk disiplin, mereka memberontak. Membolos. Sering tidak masuk sekolah. Oleh karena itu, masyarakat (orang tua) perlu menjalin kerjasama dengan sekolah agar proses pembinaan dapat berlangsung kontinu dan sejalan. Masyarakat juga perlu menyadari bahwa keberhasilan putra-putrinya dalam menempuh pendidikan tidak dapat dilimpahkan sepenuhnya kepada sekolah. Masyarakat perlu memberi pendampingan, bimbingan, dan berpartisipasi aktif dalam “kehidupan” sekolah putra-putrinya. Maka menjadi ironis ketika masyarakat cuek atau bahkan acuh tak acuh terhadap kehidupan sekolah; ketika masyarakat “membiarkan” putra-putrinya bersikap dan berperilaku di luar batas-batas norma masyarakat; atau ketika masyarakat cuek terhadap undangan sekolah guna membantu putra-putrinya memecahkan masalah yang dialaminya. Partisipasi aktif orang tua dalam kehidupan sekolah menunjukkan bahwa mereka memiliki komitmen dalam mendidik dan membimbing putra-putrinya untuk mencapai prestasi yang gemilang. Loucks (1992: 19) menegaskan bahwa keterlibatan orang tua dalam kehidupan sekolah menghasilkan peningkatan pencapaian prestasi anak. “... parent involvement in the school results in improved student achievement." Untuk itu, Campbell (1992: 2-3) memberikan 10 karakteristik yang dapat menjadi acuan (blueprint) bagi para orang tua dalam usaha membantu putra-putrinya memeroleh hasil yang lebih maksimal di sekolah. Kesepuluh karakteristik itu adalah: 1. A feeling of control over their lives. 2. Frequent communication of high expectations to children. 3. A family dream of success for the future. 4. Hard work as a key to success. 5. An active, not a sedentary, lifestyle. 6. Twenty-five to 35 home-centered learning hours per week. 7. The family viewed as a mutual support system and problem-solving unit. 8. Clearly understood household rules, consistently enforced. 9. Frequent contact with teachers. 10. Emphasis on spiritual growth. Dalam konteks ini, peran serta masyarakat dalam kehidupan putra-putrinya di sekolah sangat penting dan terus menerus harus ditingkatkan dan disegarkan. Partisipasi aktif masyarakat dalam kehidupan sekolah telah diyakini dan dibuktikan dapat meningkatkan prestasi anak dan meningkatkan sikap dan perilaku baik anak. Dengan partisipasi aktif itu, sekolah dan masyarakat memiliki kesetaraan dalam kepedulian, solidaritas, dan cinta (love, care and solidarity). Sekolah dan masyarakat menjadi team kerja yang baik dan solid. “When parents, students, and the school work together, it is possible to accomplish great things at the secondary level. Everyone reaps the benefits! "When both parents and teachers work together, communicate and build a family and school partnership, parents, teachers and children benefit from the outcome" (Gelfer, 1991: 167). “The more the parent becomes involved and learns about the school, the more the parent can help the student. The parents are able to "increase their understanding of child development in areas of physical, social, emotional and cognitive development" (Ibid, 164).