Minggu, 29 April 2012

MENGUBAH KEBIASAAN

”Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat” (Mrk 2: 27-28) Pada suatu masa, konon di sebuah desa hiduplah seorang raja yang sangat menjunjung tinggi peraturan dan hukum yang telah ditetapkan dalam kerajaannya. Setiap rakyat harus mematuhinya 100%. Barangsiapa yang melanggar akan dihukum mati alias dibunuh. Pada suatu kesempatan, putra raja yang masih berumur 5 tahun tanpa sengaja melanggar peraturan kerajaan. Sang raja menjadi bingung. Dalam hati ia berkata: ”Kalau aku bunuh, aku tidak punya penerus. Kerajaanku bisa diambil orang lain. Tetapi kalau aku tidak bunuh, aku akan dilecehkan oleh rakyatku. Aku dianggap tidak konsekuen, lebih dari itu aku dianggap pengecut. Betapa malunya aku”, pikir sang raja. Dalam keadaan bingung dan cemas itu, permaisuri datang mendekati sang raja. ”Ada apa tuanku raja?” tanya permaisuri. ”Aku bingung. Apakah aku harus membunuh anak kita satu-satunya itu demi harga diri atau aku harus menanggung malu dihadapan rakyatku?” jawab sang raja. ”Menurut permaisuri, tuanku raja tidak perlu memilih” jelas permaisuri. ”Lalu?” tanya sang raja. ”Begini saja tuanku raja. Mulai saat ini, kita memperbaiki peraturan kerajaan kita. Peraturan yang merugikan orang lain, kita hapuskan saja. Dan peraturan yang menguntungkan rakyat dan membela hak hidup rakyat, kita tegakkan” saran permaisuri. Sang raja tertunduk sejenak. Lalu berujar: ”Bagus sekali usulanmu itu, permaisuriku. Besok aku akan mengumumkan kepada rakyat: peraturan yang ada di kerajaan adalah untuk kita semua. Bukan kita untuk peraturan” tegas sang raja. Esok harinya, rakyat sudah menunggu pengumuman dari raja. Rakyat menunggu sambil gemetar. Dan ketika sang raja datang, semua rakyat sujud. ”Bangunlah rakyatku. Hari ini adalah awal baru kita. Aku mengangkat kalian semua sebagai sahabat-sahabatku. Dan semua peraturan yang ada di kerajaan kita untuk kita semua. Bukan kita untuk peraturan. Rakyatku, mulai saat ini, aku akan menghormati hak-hak hidupmu” tegas raja. Rekan-rekan yg terkasih.. Kita sering menyakiti orang lain karena kita merasa orang tersebut melanggar kesepakatan yang ada. Kita lupa bahwa semua yang kita sepakati adalah untuk kebaikan kita, bukan untuk menghancurkan diri kita. Karena itu, seperti Yesus, kita harus membela hak-hak kita untuk hidup dan berkembang. Kita menaati tata tertib sekolah supaya kita menjadi baik, bukan supaya sekolah tidak menghukum kita. Kita mengikuti pelajaran dengan baik, bukan supaya bapak/ibu senang, tetapi supaya kita berhasil dengan baik. Rekan-rekan, marilah kita hidup tertib, santun, dan baik kepada setiap orang, BUKAN supaya kita dipuji, TETAPI supaya kita menjadi baik dan benar dihadapan Allah dan sesama... Tuhan Yesus bantulah kami untuk hidup tertib, bukan untuk diri kami sendiri, tetapi supaya nama-Mu dimuliakan.

Selasa, 03 April 2012

KEKUATIRAN

Desa Sidomakmur terletak lumayan jauh dari pusat kota. Para warganya menjalankan aktivitas harian sebagai petani sawah. Tidak ada aktivitas lain. Setiap hari, pagi-pagi buta (pukul 04.00) mereka sudah berangkat ke sawah sampai kurang lebih pukul 11.30 siang. Sesampai di rumah mereka makan siang, lalu istirahat sejenak, dan sore harinya mereka berangkat lagi ke sawah (pukul 14.00) sampai petang (pukul 18.30). Luar biasa. Wajah-wajah mereka tidak ada yang menampilkan rasa capek. Dari bangun tidur sampai tidur lagi mereka tetap semangat dan bahagia dengan pekerjaannya. Saya sangat salut dan merasa sedikit iri dengan cara mereka mengartikan dan melaksanakan tanggung jawabnya. Padahal kalau saya disuruh melaksanakan pekerjaan seperti itu mungkin saya langsung sakit keras… ha…ha…ha…ha. Itu perjumpaan hidup yang mengagumkan. Perjumpaan yang memotivasi saya untuk menjadi lebih setia dalam pekerjaan. Karena itu, saya selalu berkata pada diri saya: “Kamu harus bisa melaksanakan pekerjaanmu setiap hari seperti para petani itu.” Namun, untuk bisa seperti itu dibutuhkan perjuangan yang luar biasa keras, yaitu mengalahkan diri kita sendiri. Karena diri kita ini seringkali kurang disiplin dan selalu ingin dimanjakan. Diri kita juga sering berimajinasi terlampau jauh sehingga kita menjadi stress, penuh dengan kekuatiran. “Jangan, jangan, jangan…..” Pengalaman inilah yang saya jumpai pada saat saya berkunjung ke rumah seorang warga. Menurut cerita tetangganya, Budi selalu gelisah. Kuatir yang berlebihan akan masa depannya. Dia tidak pernah dapat menikmati hidupnya. “Budi itu orangnya terlalu membayangkan yang tidak-tidak. Padahal dia tidak memiliki kemampuan untuk itu”, tutur Surti. “Dia suka kuatir akan apa yang akan terjadi dengan dirinya besok. Pokoknya gak pernah tenang”, tambah Santi. “Ah…payah itu. Suka menghayal yang tinggi-tinggi yang gak mungkin jadi realita”, jelas Aspin. “Terus apa yang dia lakukan setiap hari?”, tanya Herman. “Gak ada. Dia cuma duduk-duduk dan keliling kampung. Lihat kiri kanan”, jelas Che. “Dia sama dengan orang-orang yang tidak mengenal Allah. Kuatir akan apa yang hendak ia makan? Minum? Atau pakai?”, tutur Pak John. “Padahal…”, lanjut Pak John, “Allah telah bersabda kepada kita: ‘Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting daripada makanan dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian?... Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari’ (Mat 6:25.33-34).” “Kalau begitu berarti kekuatiran itu terjadi karena kita kurang percaya pada Tuhan, yang begitu baik pada kita”, sambung Herman. “Itu yang pertama. Yang kedua, karena kita tidak disiplin dengan diri kita. Kita membiarkan diri mengganggu hidup kita. Terakhir, kita mengingini sesuatu yang berlebihan. Kita tidak mampu menerima keberadaan kita seperti apa adanya”, tegas Pak John. “Baiklah, Pak John. Dan untuk mengatasinya kita tinggal melawan ketiga hal itu, kan Pak?”, tanya Herman. “Betul. Lakukan saja. Selamat!”, jawab Pak John. Rasa kuatir dapat menghantaui kita karena (1) kita kurang percaya akan karya-anugerah Allah yang terjadi dalam diri kita; (2) kita kurang mampu mendisiplinkan diri pada apa yang seharusnya kita lakukan; (3) kita menginginkan sesuatu melebihi daya-kemampuan kita. Karena itu, rasa kuatir dapat diatasi dengan (1) percaya pada Allah bahwa Allah tidak akan membiarkan diri kita terkubur dalam kegelapan. Karena Dia sendiri sudah rela mengorbankan Putra-Nya untuk kebahagiaan kita; (2) mendisiplinkan diri pada tanggung jawab yang kita emban; (3) menerima keberadaan diri sebagaimana adanya.

KEBAHAGIAAN

Alex, Ronald, Rena, dan Cheryl, empat sekawan yang saling memerhatikan dan membantu dalam suka dan duka. Mereka rata-rata berasal dari keluarga yang sangat sederhana, namun taat dan patuh pada Tuhan. Orang tua Patrick bekerja sebagai buruh tani yang penghasilannya tidak menentu. Orang tua Nico bekerja sebagai buruh bangunan. Orang tua Rena bekerja sebagai guru di pelosok kampung yang jauh dari keramaian. Sementara, orang tua Cheryl bekerja sebagai buruh pabrik. Dalam kesederhaan itu, empat sekawan ini saling membantu dan mengasihi satu sama lain, seperti orang tua mereka yang juga saling mengasihi dan menyanyangi satu sama lain. Bahkan ketika mereka tidak cukup makan tiga kali sehari, mereka tetap bahagia. Bagi mereka kebahagiaan bukan karena memiliki banyak harta, tetapi memiliki kehidupan dan kasih sayang. “Kebahagiaan berasal dari dalam diri kita, bukan dari luar diri kita”, tegas Alex. “Bila kita ingin bahagia, kita harus merasa cukup dengan diri kita”, sambung Ronald. “Kita harus menjadi pribadi yang penuh syukur, bebas dari berkeinginan yang berada diluar kemampuan kita”, tutur Rena. “Kita bahagia dengan apa yang kita miliki, bukan dengan apa yang ingin kita miliki”, tegas Cheryl. Mereka hidup luar biasa. Fokus kehidupannya bukan pada apa yang ingin mereka miliki, tetapi pada apa yang mereka miliki. Menakjubkan. Luar biasa. Dimana pun mereka berada, mereka menikmati hidupnya dengan apa yang dimilikinya. Melihat kenyataan itu, banyak teman-temannya yang iri. Misalnya, ketika mereka di sebuah taman sambil bersenda gurau dengan tertawa-tertawa kecil bahagia, tiba-tiba datanglah seorang teman sekolahnya. “Eh..orang-orang miskin, ngapain lo di sini?”, ejeknya. “Kami sedang bersenda gurau. Mau ikutan?”, jawab mereka. “Tidak. Malu-maluin main sama orang-orang miskin, seperti kalian! Puek!”, ejeknya. “Ya… terserahlah. Kami hanya menawarkan saja. Memang kami miskin harta, tetapi kami kaya kasih sayang dan cinta”, ujar mereka. “Puek! Puek! Puek!”, ejeknya sambil pergi meninggalkan mereka. “Kasihan teman kita itu, ia kaya tapi hatinya tidak bahagia. Jahat”, tutur Alex. “Karena itu, kebahagiaan bukan ditentukan oleh harta benda yang kita miliki, tetapi oleh cinta dan kasih sayang yang kita berikan kepada sesama”, sambung Ronald dan Rena. “Iya betul, betul sekali. Kebahagiaan hidup hanya dapat kita raih dan rasakan ketika kita merasa cukup dan bahagia dengan apa yang kita miliki”, lanjut Cheryl. “Seperti kita ini, miskin harta, tapi kaya cinta dan kasih sayang”, puji Alex. “Inilah yang ditegaskan Yesus dalam khotbah-Nya di bukit (Mat 5: 3-12): ‘Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur. Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi. Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan. Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.’", tambah Ronald. Kebahagiaan hidup dapat diraih dalam cinta dan kasih sayang yang kita bagikan kepada orang lain. Kita bahagia ketika kita merasa cukup dengan apa yang kita miliki. Untuk itu, jadilah pribadi yang penuh syukur, penuh kasih, dan penuh dalam keberadaan kita, maka kita akan bahagia.