Selasa, 03 April 2012

KEKUATIRAN

Desa Sidomakmur terletak lumayan jauh dari pusat kota. Para warganya menjalankan aktivitas harian sebagai petani sawah. Tidak ada aktivitas lain. Setiap hari, pagi-pagi buta (pukul 04.00) mereka sudah berangkat ke sawah sampai kurang lebih pukul 11.30 siang. Sesampai di rumah mereka makan siang, lalu istirahat sejenak, dan sore harinya mereka berangkat lagi ke sawah (pukul 14.00) sampai petang (pukul 18.30). Luar biasa. Wajah-wajah mereka tidak ada yang menampilkan rasa capek. Dari bangun tidur sampai tidur lagi mereka tetap semangat dan bahagia dengan pekerjaannya. Saya sangat salut dan merasa sedikit iri dengan cara mereka mengartikan dan melaksanakan tanggung jawabnya. Padahal kalau saya disuruh melaksanakan pekerjaan seperti itu mungkin saya langsung sakit keras… ha…ha…ha…ha. Itu perjumpaan hidup yang mengagumkan. Perjumpaan yang memotivasi saya untuk menjadi lebih setia dalam pekerjaan. Karena itu, saya selalu berkata pada diri saya: “Kamu harus bisa melaksanakan pekerjaanmu setiap hari seperti para petani itu.” Namun, untuk bisa seperti itu dibutuhkan perjuangan yang luar biasa keras, yaitu mengalahkan diri kita sendiri. Karena diri kita ini seringkali kurang disiplin dan selalu ingin dimanjakan. Diri kita juga sering berimajinasi terlampau jauh sehingga kita menjadi stress, penuh dengan kekuatiran. “Jangan, jangan, jangan…..” Pengalaman inilah yang saya jumpai pada saat saya berkunjung ke rumah seorang warga. Menurut cerita tetangganya, Budi selalu gelisah. Kuatir yang berlebihan akan masa depannya. Dia tidak pernah dapat menikmati hidupnya. “Budi itu orangnya terlalu membayangkan yang tidak-tidak. Padahal dia tidak memiliki kemampuan untuk itu”, tutur Surti. “Dia suka kuatir akan apa yang akan terjadi dengan dirinya besok. Pokoknya gak pernah tenang”, tambah Santi. “Ah…payah itu. Suka menghayal yang tinggi-tinggi yang gak mungkin jadi realita”, jelas Aspin. “Terus apa yang dia lakukan setiap hari?”, tanya Herman. “Gak ada. Dia cuma duduk-duduk dan keliling kampung. Lihat kiri kanan”, jelas Che. “Dia sama dengan orang-orang yang tidak mengenal Allah. Kuatir akan apa yang hendak ia makan? Minum? Atau pakai?”, tutur Pak John. “Padahal…”, lanjut Pak John, “Allah telah bersabda kepada kita: ‘Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting daripada makanan dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian?... Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari’ (Mat 6:25.33-34).” “Kalau begitu berarti kekuatiran itu terjadi karena kita kurang percaya pada Tuhan, yang begitu baik pada kita”, sambung Herman. “Itu yang pertama. Yang kedua, karena kita tidak disiplin dengan diri kita. Kita membiarkan diri mengganggu hidup kita. Terakhir, kita mengingini sesuatu yang berlebihan. Kita tidak mampu menerima keberadaan kita seperti apa adanya”, tegas Pak John. “Baiklah, Pak John. Dan untuk mengatasinya kita tinggal melawan ketiga hal itu, kan Pak?”, tanya Herman. “Betul. Lakukan saja. Selamat!”, jawab Pak John. Rasa kuatir dapat menghantaui kita karena (1) kita kurang percaya akan karya-anugerah Allah yang terjadi dalam diri kita; (2) kita kurang mampu mendisiplinkan diri pada apa yang seharusnya kita lakukan; (3) kita menginginkan sesuatu melebihi daya-kemampuan kita. Karena itu, rasa kuatir dapat diatasi dengan (1) percaya pada Allah bahwa Allah tidak akan membiarkan diri kita terkubur dalam kegelapan. Karena Dia sendiri sudah rela mengorbankan Putra-Nya untuk kebahagiaan kita; (2) mendisiplinkan diri pada tanggung jawab yang kita emban; (3) menerima keberadaan diri sebagaimana adanya.

Tidak ada komentar: