Kamis, 20 Desember 2012

Test

Ketika saya melamar di sebuah perusahaan tambang sebagai trainer, saya dipanggil untuk mengikuti tes seleksi. Tesnya cukup mudah untuk diselesaikan. Saya mengerjakannya dengan sangat enjoy dan tanpa beban apa pun. Tes tahap pertama saya lalui dengan sukses. Demikian juga dengan tes-tes selanjutnya. Tahap terakhir dari seleksi itu adalah interview. Tes ini pun cukup mudah dan sangat sederhana untuk saya lakukan. Karena itu, saya yakin 100% pasti diterima, bila tidak ada faktor X yang mempengaruhi proses tersebut. Namun, apa yang saya duga menuai kebeneran. Sampai cerita ini saya tulis, tidak ada kabar beritanya. Padahal, mereka cerita seminggu setelah interview, saya akan dihubungi secara personal: diterima atau tidak. Sebulan, dua bulan, tiga bulan, dan bahkan sekarang sudah 3 tahun tetap tidak ada kabar beritanya. Saya ingin menanyakannya, tetapi tidak jadi. Saya pesan Yesus: "Apapun yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, itu kamu lakukan untuk Aku." Pesan Yesus ini mengurungkan niat saya untuk bertanya. Mungkin Dia ingin tetap saya sebagai seorang guru di sekolah, sehingga saya memiliki lebih banyak waktu untuk melayani di Gereja. 'Terima kasih Tuhan Yesus, Engkau telah menentukanku untuk tetap menjadi pewarta sabda-Mu dengan segala kekurangan dan kelebihanku. Aku percaya bahwa Engkau besertaku selalu... Imanuel...'

Rabu, 19 Desember 2012

Mabuk

Kisah ini mungkin cukup menjijikan untuk diceritakan. Meskipun demikian dengan kesadaran akan kehadiran dan keberadaan yang lain, kisah ini ingin saya ceritakan....... Saat liburan Natal tiba, kami sekeluarga memutuskan untuk berlibur ke tempat nenek di kampun, Toraja dan Bone-Bone. Jarak antara Sangatta -Toraja-Bone-Bone sangat jauh dan melelahkan. Mendengar kata "libur", anak-anak langsung riang gembira. "Naik pesawat, ya Pak?" tanya si sulung. "Ya dong..." jawab adiknya. "Asyik.........asyik.........asyik........" mereka melompat kegirangan. Pukul 06.00, kami sudah siap berangkat menuju Bandara Tanjung Bara. Haha.. anak-anak mulai gelisah.. "Kok naik mobil, pak? katanya naik pesawat?" mereka serentan bertanya kesal. "Tenang...tenang... sebentar lagi kita naik pesawat. Itu pesawatnya" saya mencoba menghiburnya. Ketika sampai di Bandara, mereka melihat pesawat kecil (cassa). "Lo, pesawatnya koq kecil, Pak?" tanya si sulung. "Ya, sekarang pesawatnya kecil. Nanti sampai di Balikpapan baru naik pesawat besar" jelas saya. Sesampai di Balikpapan, anak-anak tampak gembira. "Pak, pesawatnya besar-besar... banyak, ya...." teriaknya gembira. "Ya, ya... sebentar lagi kita naik pesawat itu" sambungku. "Asyik...asyik....asyik....." mereka teriak gembira. Pukul 12.45, kami dipersilahkan naik pesawat. "Ayo Pak, cepat naik" ajak anak-anak dengan gembira. Sesampai di dalam pesawat, anak-anak sangan gembira... dan tidak lama kemudian pesawat siap-siap take off. Pukul 13.50, kami sudah landing di bandara Hasanuddin, Makassar. Cuaca cukup cerah... dan kami meneruskan perjalanan menuju rumah di Makassar untuk mempersiapkan diri berangkat ke Toraja esok harinya.... Perjalanan Makassar-Toraja ditempuh selama 8 jam melalui darat. Maklum kondisi jalannya seperti ular.... berlekak lekuk.... dan ketika sampai di Enrekang... jalan seperti cacing kepanasan.... perut mulai dikocok dan digoyang-goyang....dan......... saya mulai muntah.....muntah.... anak-anak muntah.... mamanya muntah..... semua muntah....... Dalam kondisi yang demikian, kami menjadi lemas.... dan hanya mampu berdoa: semoga bisa sampai di tempat tujuan. "Tuhan Yesus, Engkaulah kekuatanku. Bantulah kami agar dapat menyelesaikan perjalanan ini. Seperti Engkau bersabda: 'Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.' Lindungilah kami. Sebab Engkaulah pengantara kami. Amin." Setelah berdoa demikian, kami membujuk anak-anak untuk memejamkan matanya dan... kami semua tertidur pulas sampai di tempat tujuan....Makale, Toraja. "Tuhan Yesus, kami puji dan muliakan Engkau. Engkaulah kekuatanku. Penyelamatku. Gunung batuku. Kota kediamanku. Bersama Engkau kami bahagia.... Amin."

Buah

Suatu pagi, ketika seorang nenek sedang asyik menari-narikan tangannya di halaman rumahnya agar dedaunan yang gugur terlihat rapi dan indah, tiba-tiba terdengar suara motor yang menggelegar... ngeng..........ngeng...........ngeng............. Si nenek langsung berpikir: pasti ada sesuatu dengan orang itu. Ia lalu bertanya kepada Kakek: "Kek, kenapa sih orang itu?" "Mana? Luis? Eman? John? atau siapa?" tanya kakek. "Luislah kek. Wong cuma dia yang nakal di kampung kita" tegas nenek. "Oh... itu. dia itu anaknya Durjag, yang suka merampok, mencuri, dan menipu itu lo..." jelas kakek. "Pantesan aja gak ada bedanya dengan bapaknya" tegas nenek. "Itulah yang disebut orang bijak: buah jatuh tidak jauh dari pohonnya" sambung kakek. Oleh karena itu, Yesus menegaskan kepada kita: "kita adalah ranting-ranting anggur. Yesus adalah pokoknya. Setiap ranting yang tidak berbuah akan dipotong dan dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap..." jelas kakek. "Jadi, kita sebagai ranting-ranting Yesus harus menghasilkan buah-buah yang diharapkan oleh Yesus, ya Kek?" tanya nenek. "Ia. Kita harus mewujudnyatakan Yesus dalam seluruh sikap, pola pikir, dan tindakan kita setiap hari... Tidak ada kata terlambat untuk menjadi ranting-ranting-Nya...agar kita berbuah bersama Yesus" ungkap kakek dengan penuh iman. "Ok, siiiiiiiiiiiiiippppppppppp" sambung nenek.

Selasa, 18 Desember 2012

Perampok, Mucikari, dan Pemulung

AD MAIOREM DEI GLORIAM: Perampok, Mucikari, dan Pemulung: Ada sebuah kisah menarik yang sering saya ceritakan kepada umat saat memberikan renungan tentang kematian. Kisahnya sedikit konyol, tetapi p...

Perampok, Mucikari, dan Pemulung

Ada sebuah kisah menarik yang sering saya ceritakan kepada umat saat memberikan renungan tentang kematian. Kisahnya sedikit konyol, tetapi penuh makna. Begini ceritanya: "Pada suatu waktu, ada seorang perampok meninggal dunia. Ketika mengatahui tuannya meninggal, malaikat pelindungnya pergi menghadap St. Petrus, sang penjaga pintu surga. Malaikat : "Om Pet, selamat pagi, apa kabar hari ini?" Petrus : "Biasa. tidak ada yang baru." Malaikat : "Om Pet...." Petrus : "Yes, ada apa?" Malaikat : iiiiiiiiiiiii nii.... Petrus : "Ini apa?" Malaikat : "I...ni, tuan saya meninggal..." Petrus : "Kenapa kalo dia meninggal? Tidak apa-apa kan?" Malaikat: "Bukan begitu Om Pet..." Petrus : "Terusssssssssss" Malaikat :" Begini... bolehkah tuan saya masuk surga yang Om Pet jaga?" Petrus : "Bagaimana hidupnya waktu berziarah di dunia?" Malaikat : "Dia suka merampok, memeras, korupsi, dan menipu orang..." Petrus : "Kalau begitu, kamu antarkan dia langsung ke Neraka. Biar dia diproses di sana dulu..." Hari berikutnya.... Datang lagi seorang malaikat pelindung dari seorang Mucikari yang meninggal akibat kecelakaan... Malaikat : "Om Pet, tuan saya meninggal akibat kecelakaan..." Petrus : "Oh.. kasihan... apakah dia sudah bertobat? " Malaikat : "Belum, Om Pet. Malah sebelum meninggal, dia sangat gemar mencari gadis-gadis desa untuk dipekerjakan sebagai WTS" Petrus : "Oh...kalau begitu, serahkan dia ke neraka. Biar Beelzebul yang mengadilinya..." Hari berikutnya.... Datang pula malaikat pelindung seorang pemulung yang meninggal akibat sakit keras... Malaikat : "Om Pet, tuan saya meninggal akibat sakit keras. Dia tidak bisa ke rumah sakit karena tidak punya uang." Petrus : "Oh..kasihannya... apakah tidak ada orang kaya atau anggota DPR yang tergerak hatinya untuk menolong?" Malaikat: "Tidak Om Pet. Orang kaya sibuk dengan kekayaannya. Sementara anggota DPR sibuk membuat kwitansi dan stempel palsu untuk laporan proyeknya." Petrus : "Kalau begitu, panggilan tuanmu, bawa ke sini biar kutanya dulu..." Malaikat pergi memanggil tuannya ... Malaikat: "Tuan, mari kita menghadap om Pet.." Pemulung : "Ya..." Mereka lalu menghadap St. Petrus.... Malaikat: "Om Pet, ini tuan saya. silahkan Om Pet tanya..." Petrus : "Siapa namamu?" Pemulung: "Petrus, Tuan." Petrus : "Ah... Petrus..." Pemulung : "Ya, Tuan." Petrus : "Selama berziarah di dunia, apa yang sudah kamu lakukan?" Pemulung: "Saya hanya bisa memulung Om Pet. Mengais sisa-sisa makanan atau barang yang sudah di buang oleh orang-orang kaya atau anggota DPR, dan juga oleh para artis." Petrus : "Lalu kamu apa ini barang-barang itu?" Pemulung: "Untuk kebutuhan hidup saya Tuan. Saya makan dan minum dari sisa-sisa mereka Tuan..." Mendengar hal itu, St. Petrus menangis... Ia teringat akan Lazarus.... St. Petrus langsung memeluk pemulung itu dan menghantarnya ke surga. Petrus: "Inilah tempatmu. Berbahagialah bersama Allah Bapa." Pesan Moralnya: 1. Kelahiran kita ke dunia merupakan PINTU PERUTUSAN sebagai imam, raja, dan nabi. 2. Kematian adalah PINTU PERAYAAN PERUTUSAN sebagai imam, raja, dan nabi.

Kamis, 30 Agustus 2012

Menjadi Pelaku Firman

Alkisah di sebuah negeri di awan, seorang raja memerintahkan kepada para menterinya untuk menjaga peraturan yang telah ditetapkan di Kerajaannya. Setiap menteri mengawasi satu RT. Sang Raja berpesan: “setiap orang yang tidak melaksanakan apa yang sudah disepakati di kerajaan harus dihukum.” “Baik Paduka”, jawab para menteri. Setelah itu, para menteri menuju tempat tugasnya masing-masing dengan memegang teguh kata-kata sang raja. Ketika mereka sampai di tempat tugas masing-masing, mereka semua kaget melihat perilaku-tindakan para rakyat, yang hidup jauh dari “aturan raja.” Melihat perilaku hidup yang demikian, para menteri segera melaporkan “kejadian-kejadian yang dijumpai di lapangan.” “Paduka raja, rakyat di tempat tugas hamba hidup jauh dari aturan kerajaan. Mereka sebelum makan tidak cuci tangan. Mereka juga jarang mengumpulkan upeti untuk Paduka.” “Apa yang kamu lakukan?” “Hamba sudah peringatkan, tegur, dan beri ancaman,” kata para menterinya. “Bagus,” tegas sang raja. Beberapa minggu kemudian, para menteri telah menyelesaikan tugasnya. Mereka menghadap raja: “Paduka raja, hamba sudah mampu lagi menegur, menasihati, dan mengancam rakyat.” “Mengapa?”, tanya sang raja kaget. “Karena rakyat sudah pandai-pandai. Mereka hidup bukan lagi untuk peraturan, tetapi peraturan untuk mereka. Dan tentang yang najis dan tidak najis, mereka sudah memiliki standar sendiri, yaitu: yang najis bukan apa yang mereka makan, tetapi apa yang mereka perbuat-lakukan-ucapan. Yang najis adalah apa yang keluar dari perbendaharaan hatinya”, terang para menteri. “Ah… apa? Kamu tidak berbohong, kan?”, tanya sang raja kaget. “Tidak paduka raja. Para rakyat sekarang sudah hidup sebagai pelaku Firman, bukan hanya sebagai pendengar seperti dulu. Itu berkat guru Agung mereka”, jelas para menteri. “Ha….??? Siapa gurunya???”, tanya paduka raja. “Mereka memanggilnya Yesus Kristus, Paduka”, jawab para menteri. “Yesus Kristus???”, hardik paduka raja. “Ya Paduka…”, jawab para menteri ketakutan… “Wah… kalo begitu, rakyat bisa berontak nanti!! Apa yang bisa kita lakukan agar rakyat tidak berontak??”, tanya sang raja kepada para menterinya. “Paduka raja, kalo hamba boleh usulkan: kita mesti mulai mendengarkan apa yang dikatakan oleh rakyat. Kita tidak bisa lagi menakut-nakuti rakyat dengan aturan-aturan yg kita tafsirkan sendiri demi kepentingan kita. Kita juga tidak bisa memaksa rakyat untuk patuh-tunduk kepada aturan yang kita buat. Sebab mereka memiliki Allah yang dekat. Paduka raja, kita juga perlu melaksanakan apa yang kita tetapkan. Karena hanya dengan itu, rakyat percaya bahwa kita tidak membebankan mereka. Bukankah apa yang kita lakukan-perbuat lebih mulia daripada apa yang kita tetapkan”, usul para menteri. “Baiklah kalo begitu. Kamu juga harus menjaga agar tindakan-perbuatanmu tetap baik”, tegas sang raja. <i>Dalam hidup sehari-hari kita perlu mendengarkan dan memerhatikan kebutuhan orang lain. Karena bersama orang lain itulah kita mengembangkan diri kita. Sifat angkuh dan ingin menang sendiri perlu dijauhi. Kita perlu mengedepankan sikap rendah hati-ketulusan untuk merubah diri ke arah yang lebih baik, seperti sang raja. Berkaitan dengan itu, Tuhan Yesus mengingatkan kita bahwa: (1) Allah yang kita imani adalah Allah yang dekat dengan kira. Ia ada selalu bersama dengan kita (Ul 4: 7-8). (2) Sebagai pengikut Yesus kita tidak boleh mengurangi, menambahkan atau menafsirkan perintah-peraturan yang telah ditetapkan Tuhan sesuai dengan keinginan kita. Kita hendaknya melaksanakannya (Ul 4: 1-2). (3) Kita hendaknya menjadi pelaku-pelaksana firman. Bukan hanya sebagai pendengar. Sebab ibadah yang benar dan murni dihadapan Allah adalah melakukan apa yang diajarkan Allah (Yak 1: 26-27). (4) Semua yang kita makan tidak membuat kita najis (jauh dari Allah, berdosa), tetapi yang menajiskan adalah apa yang keluar dari seseorang; sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan (Mrk 7: 15.20-22).

Selasa, 24 Juli 2012

MEMBANGUN MORALITAS DALAM KEBERAGAMAN

Keberagaman adalah entitas alamiah yang tidak dapat dimungkiri oleh siapa pun juga. Kesadaran akan adanya keberagaman itu, menuntun kita untuk senantiasa berpikir, bersikap, berbicara, dan berperilaku sebagai suatu keseluruhan, yaitu komunitas umat manusia yang percaya akan kemahamurahan, kemaharahiman Tuhan yang Esa. Saya adalah bagian dari mereka; dan mereka adalah sahabat-sahabat saya yang membantu saya mengeksplorasi dan menemukan jatidiri saya sebagai manusia. Saya dan mereka membangun perjumpaan personal yang saling meneguhkan dan memerkembangkan ke arah kematangan kepribadian dan moralitas. Dalam perjumpaan itu, saya dan mereka harus dilebur menjadi kita. Kita menghadirkan kesederajatan dan keseluruhan dari keberadaan human. Dalam kita tidak ada lagi klaim-klaim atau justifikasi diri seperti: saya baik, anda jelek. Saya benar, anda salah. Tetapi sebaliknya, saya dan anda adalah satu. Kita semua baik adanya. Tingkat kesadaran akan adanya “yang lain” sebagai sahabat, teman, dan partner hidup menunjuk pada hukum moral: “jangan melakukan kepada orang lain apa yang tidak kamu senangi orang lain perbuat untuk dirimu.” Setiap subjek, baik secara pribadi maupun kelompok, bertanggung jawab terhadap kebahagiaan, keselamatan, dan keamanan subjek-subjek lain di luar dirinya. Setiap subjek bertanggung jawab menciptakan ruang perjumpaan intra dan interpersonal. We are one. We are the champion. We are the master to myself dan the others. And the others are the master to ourself. Inilah moralitas. Moralitas dibangun dalam diri bersama dengan orang lain.

PENTINGNYA SEKOLAH

Sekolah merupakan salah satu lembaga yang diakui sangat efektif dalam membina dan membentuk generasi muda menjadi pribadi-pribadi yang matang secara integral (holistik). Sekolah menjadi semacam “taman persemaian-pembentukan-pematangan” potensi-potensi manusia-manusia muda sehingga dapat memasuki dunianya dan berpartisipasi secara aktif-kreatif di dalamnya. Proses itu dilaksanakan melalui serangkaian proses belajar mengajar yang terencana dan terstruktur, sehingga terjadi proses interaksi dan interrelasi satu sama lain guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. “Sekolah merupakan bagaikan suatu pusat kegiatan maupun kemajuan, yang serentak harus melibatkan keluarga-keluarga, para guru, bermacam-macam perserikatan yang memajukan hidup berbudaya, kemasyarakatan dan keagamaan, masyarakat sipil dan segenap keluarga manusia” (Konsili Vatikan II, Gravissium Educationis, 1993, art. 5). Melalui sekolah, manusia-manusia muda “diproses menuju” pada pertumbuhan (improvement), pengembangan (development), dan pemberdayaan (empowerment). Menurut Reza M. Syarief (2007:149), sesuatu dikatakan mengalami pertumbuhan (improvement) bila secara perlahan ia menjadi dewasa (fisik, psikologis, spiritual), mampu bertanggung jawab untuk dirinya sendiri dan orang lain; pengembangan (development) berkaitan dengan kemampuan seseorang mengembangkan dirinya dan juga mengembangkan orang-orang lain. Ada proses duplikasi yang berhasil dan berdaya guna. Sementara, empowerment berfokus pada keunikan masing-masing subjek yang terlibat di dalam proses belajar itu. Dalam konteks ini, “Sekolah menumbuhkan kemampuan memberi penilaian yang cermat, memperkenalkan harta warisan budaya yang telah dihimpun generasi-generasi masa silam, meningkatkan kesadaran akan tata-nilai, menyiapkan siswa untuk mengelola kejuruan tertentu, memupuk rukun persahabatan antara para siswa yang beraneka watak-perangai maupun kondisi hidupnya, dan mengembangkan sikap saling memahami” (Konsili Vatikan II, Gravissium Educationis, 1993, art. 5). Sekolah “membiasakan” manusia-manusia muda membangun interaksi inter dan intrapersonal, yang saling meruangkan atau menyediakan pemberdayaan dan pembebasan kepada setiap individu untuk mengembangkan dirinya. Tersedia ruang transformation of attitudes, knowledges, dan behaviors, sehingga manusia-manusia muda bertumbuh-berkembang menjadi pribadi-pribadi yang kreatif, inovatif, dan pencipta. Karenanya, perlu ada regulasi-regulasi yang disepakati dan dipatuhi oleh semua pihak. Artinya, antara guru dan peserta didik memiliki komitmen yang sama atas keberlangsungan proses belajar yang menyenangkan (joyful learning) dan yang bermakna-bermanfaat (useful, meaningful). Komitmen-komitmen itu perlu dipatuhi oleh semua pihak. Tidak boleh ada diskriminasi. Karena dengan komitmen itu, semua pihak dapat mengembangkan kreativitasnya masing-masing dalam proses pembelajaran. Masing-masing individu mengembangkan kompetensi-kompetensi dirinya, yang menstimulus dirinya untuk semakin menjadi dewasa dan mandiri dalam sikap, ilmu, dan perilakunya. Guru menjadi inspirer, motivator, dan fasilitator. Juga guru menjadi seorang yang visioner, futuristik, dan problem solver. Sekolah Vs Guru Tinggi rendahnya kualitas pembelajaran di sekolah pertama-tama terletak pada kemampuan guru dalam mendesain dan melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Karena guru menjadi ujung tombak yang merencanakan bagaimana, dimana, kapan, dan untuk apa pembelajaran harus dilaksanakan. Untuk itu, sebelum melaksanakan pembelajaran, guru perlu menentukan atau menetapkan tujuan atau kompetensi yang harus dikuasai oleh setiap peserta didik. Setelah itu, guru menyampaikan tujuan atau kompetensi itu kepada para murid di awal pembelajaran supaya para murid mengetahui apa yang harus dicapainya pada suatu materi yang dipelajarinya. Tujuan atau kompetensi harus dirumuskan dengan bahasa yang jelas dan dapat diukur secara faktual. Misalnya “Peserta didik dapat menyebutkan contoh-contoh perbuatan baik di dalam keluarganya.” Dengan rumusan seperti ini, peserta didik perlu mengamati dan melakukan perbuatan-perbuatan baik di dalam keluarganya. Di samping itu, peserta didik juga memahami kriteria-kriteria: kapan suatu perbuatan dikatakan baik dan kapan tidak baik. Terjadi analisis kontekstual atas pengalaman dan perbuatan. Pembelajaran dapat dilangsungkan secara kreatif, inovatif, konstruktif, dan kontekstual. Peserta didik menjadi aktif, reflektif, dan transformatif. Peserta didik mengeksplor kemampuan-kemampuannya yang selama ini terpendam atau tersembunyi di bawah sadarnya. Inilah tugas guru, yakni mengeksplor potensi-potensi para murid supaya menjadi aktual. Interaksi guru dengan materi ajar juga perlu terus ditingkatkan intensitasnya guna memperkaya materi tersebut. Lebih dari itu, guru perlu membangun pola pembelajaran yang kontekstual, yang bersinggungan langsung dengan dunia hidup anak-anak. Sebab pembelajaran dan guru menjadi dua entitas yang menuju pada satu muara, yakni manusia-manusia muda yang lebih bermutu. Pertanyaannya adalah bagaimana mewujudkannya? Pertama, pengelola pendidikan (yayasan atau lembaga) perlu memberi kesempatan dan memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan minimal guru dalam mengembangkan kompetensinya, seperti mengikuti pelatihan-pelatihan, kursus-kursus atau mengikuti studi lanjut. Kedua, guru memiliki komitmen yang tinggi terhadap tugas-tugasnya sebagai guru. Ia adalah “penerang jalan” bagi manusia-manusia muda. Bukan sebagai “penghambat jalan”. Ketiga, para murid harus memiliki kedisiplinan tinggi terhadap aturan-aturan yang disepakati bersama dan siap menjalankan segala konsekuensi yang ditimbulkan oleh pelanggarannya. Keempat, para orang tua murid menempati posisinya sebagai partner guru dan pembimbing anak-anaknya. Para orang tua tidak berhak mengatur guru, tetapi memiliki hak memberi masukan kepada sekolah berkaitan dengan harapan-harapannya. Posisi orang tua tidak di atas guru, tetapi disebelah guru, yakni sebagai partner. Rekanan. Dan kelima, guru memiliki hak melakukan evaluasi hasil belajar terhadap para murid dan berhak memberi keputusan: apakah seorang murid sudah mencapai standar kompetensi atau belum. Kalau seorang murid belum mencapai standar kompetensinya, guru perlu mengadakan remedial dan pengayaan. Tentu dengan kesepakatan para murid. Profesionalisme Guru Tidak dapat dimungkiri bahwa pembelajaran yang bermutu tinggi perlu didukung oleh guru-guru yang professional dalam bidangnya masing-masing atau interdisipliner. Tetapi bahwa professional tentu pertama-tama tidak ukur dari seberapa portofolio yang berhasil dikumpulkan selama masa kerjanya, melainkan seberapa mampu dan cakap seorang guru melaksanakan tugas pembelajaran di dalam kelasnya. Maka menjadi ironis, ketika profesionalisme guru diukur berdasarkan portofolio yang diarsipnya. Bahkan orang-orang dinas sampai berkomentar: “Salah dia tidak mengumpulkan.” Dalam dinamika ini menjadi mendesak bagaimana setiap guru meningkatkan kualifikasinya masing-masing guna menjadikan kegiatan pembelajaran itu sungguh-sungguh bermakna dan berguna bagi setiap muridnya. Kualifikasi tentu dapat dilakukan dengan berbagai macam cara seperti rajin membaca, rajin mengikuti kelompok kerja guru (KKG), atau dengan melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Semakin sering kita menyegarkan ilmu kita, semakin bergairah kita melaksanakan tugas kita. Kebosanan atau rutinitas yang mandeg dapat diatasi. Kebuntuan analisis dapat dipecahkan. Profesionalisme dapat diraih ketika kita memiliki jalan dan kemauan untuk menjadikan diri kita professional. Guru yang professional mendesain dan melaksanakan pembelajaran secara professional juga.

PENDIDIKAN (SEKOLAH) SEJATI

Pendidikan, apa pun bentuknya: formal, informal, home schooling, atau bentuk-bentuk alternatif lainnya, memiliki tujuan mulia, yaitu membantu peserta didik menemukan dan mengembangkan talenta (potensia) dirinya yang tersembunyi sehingga menjadi aktual (actus) dan bermanfaat bagi perkembangan dirinya dan masyarakatnya. Menurut Jean Piaget “fungsi terpenting pendidikan pada tingkat manapun adalah mengembangkan kepribadian individu dan arti hidupnya untuk dirinya sendiri dan bagi orang lain" (thinkexist.com, 12/5/10). Ki Hajar Dewantara, Bapak pendidikan Indonesia, menegaskan bahwa pendidikan harus mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya cipta, karsa dan karya secara seimbang, supaya peserta didik memeroleh kemerdekaan. “Karena pendidikan yang sejati harus meliputi pembentukan pribadi manusia seutuhnya…maka anak-anak …hendaknya dibina sedemikian rupa sehingga dapat mengembangkan bakat-bakat fisik, moral, dan intelektual mereka secara harmonis, agar mereka memperoleh citarasa tanggungjawab yang semakin sempurna dan dapat menggunakan kebebasan mereka dengan tepat, pun pula dapat berperan-serta dalam kehidupan sosial secara aktif” (Codex Iuris Canonici, Kanon 795). Pendidikan bukan semata-mata untuk menjadikan anak cerdas intelektualnya, tetapi cerdas secara holistik (intelekual, emosional, spiritual, moral). Dalam bahasa Gadner, anak-anak dapat mencapai kecerdasan jamak. Ia cerdas untuk menjalani hidup yang cerdas. Hidup yang penuh dengan nilai-nilai keutamaan. Sehingga anak-anak sekolah bukan hanya untuk belajar, tetapi untuk hidup (non scholae sed vitae discimus). Karena itu, bagi Peaget “tujuan dasar pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang mampu melakukan hal-hal baru, - bukan hanya mengulang-ulang apa yang telah dilakukan generasi lainnya – orang yang kreatif, inovatif dan penemu" (thinkexist.com, 12/5/10). Pendidikan merupakan suatu “proses menuju”, yaitu menuju pada kematangan (fisik, psikologis, moral, intelektual) peserta didik. Dalam proses menuju, peserta didik dipersiapkan dengan serangkaian kegiatan, bimbingan, arahan, tes (tertulis, tidak tertulis, proyek, presentasi, atau seminar) sehingga peserta didik dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan kurikulum. Peserta didik mampu menguasai serangkaian kompetensi dengan melakukannya (by doing). Proses menuju merupakan suatu proses aktif-kreatif dalam menuntun, mengarahkan, dan membentuk para siswa agar menjadi pribadi-pribadi yang mampu bertahan hidup di tengah-tengah arus zaman yang semakin cepat ini. Artinya, peserta didik dikelola, dibentuk, diajari, dan dibina agar mampu mencapai target-target yang telah disepakati (tujuan sekolah, tujuan pendidikan, dan harapan-harapan masyarakat). Peserta didik diajari dan dibekali kemampuan melakukan kebenaran, tanggung jawab moral (mampu membedakan yang tidak baik dan yang baik), keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan hidup bersama orang lain, dan kemampuan untuk mengambil peran dalam dinamik kehidupan sosial: sejauhmana peserta didik dapat ambil bagian dalam kerasnya persaingan hidup ini. Karenanya, pendidikan yang sejati “memproses” peserta didik agar mengalami perubahan: seberapa besar perubahan yang dihasilkan oleh siswa, sejak ia masuk (input) sampai keluar (output, outcome). Menjadi keliru bila kita menjustifikasi bahwa nilai UAN tinggi berarti sekolah atau siswa bermutu. Mutu tidak diperoleh hanya melalui ujian. Mutu diperoleh melalui serangkaian aktivitas yang diberikan, diarahkan, dan dikenakan kepada siswa selama dalam proses sekolah. Untuk itu, diperlukan sarana-prasarana sekolah yang cukup memadai dan lengkap, guru yang bermutu, dan akses informasi yang luas. Sarana-prasarana yang memadai dengan kualitas guru yang tinggi akan menghasilkan siswa yang berkualitas tinggi. Kualitas yang terpadu. Dalam hal ini, yang terpenting adalah terbangunnya sinergisasi antara sekolah, orang tua/masyarakat, dunia usaha (user). Semacam mata rantai, yang tidak dipisahkan satu sama lain. Dalam hal ini, pendidikan harus mampu menjawab keinginan (hopes) dan kebutuhan (needs) masyarakat. Peserta didik mampu mengaplikasikan (mengimplementasikan) ilmu yang diterimanya di sekolah. Mutu sekolah ditentukan oleh proses yang bermutu. Menurut Townsend dan Butterworth (1992:35) dalam bukunya Your Child’s School, ada sepuluh faktor penentu terwujudnya proses pendidikan yang bermutu, yakni: 1) keefektifan kepemimpinan kepala sekolah, 2) partisipasi dan rasa tanggung jawab guru dan staf, 3) proses belajar-mengajar yang efektif, 4) pengembangan staf yang terpogram, 5) kurikulum yang relevan, 6) memiliki visi dan misi yang jelas, 7) iklim sekolah yang kondusif, 8) penilaian diri terhadap kekuatan dan kelemahan, 9) komunikasi efektif baik internal maupun eksternal, dan 10) keterlibatan orang tua dan masyarakat secara instrinsik. Mari kita bangun pendidikan yang integral. Pendidikan yang meliputi seluruh proses kegiatan pembelajaran. Pendidikan yang memberdayakan peserta didik. “Bukankah pendidikan yang paling baik adalah pendidikan yang membahagiakan?”

Senin, 04 Juni 2012

Sekolah: "Taman Kehidupan"

Taman, entah taman di rumah, di kantor, atau dimana saja, menjadi sebuah "ruang perjumpaan" antar-yang satu dengan yang lain (the others). Seperti kupu-kupu dapat berjumpa dengan lebah, burung, lalat, atau dengan lain di taman kehidupannya. Bukan hanya itu, taman juga menjadi "ruang penghangat" yang menghangatkan perjumpaan "cinta kasih" antarpribadi. Karena itu, taman yang indah seringkali dipenuhi oleh manusia mulai dari anak-anak sampai orang tua. Di "taman" itu mereka "merayakan" kehangatan "kenangan" hidupnya yang telah dilalui dan "menumbuhkan" harapan baru untuk masa depan. "Kehadiran" manusia dan makhluk-makhluk lain di taman mempresentasikan "kehadiran" kehangatan, ketenangan, kenyamanan, dan kebahagiaan "perjumpaan" mereka pada "ruang kehangatan." Dalam kehangatan pribadi itu, bertumbuh kebersamaan untuk melangkah maju menuju masa depan yang lebih baik. Bagaimana dengan sekolah kita? Sudahkan menjadi taman pertumbuhan-pendewasaan manusia-manusia muda? Ki Hajar Dewantara dengan indah menggagas "sekolah" sebagai sebuah taman kehidupan (taman siswa), sebuah ruang perjumpaan antarberanekaragam pribadi manusia-manusia muda dan tempat mereka untuk belajar, bertumbuh, berkembang, dan menjadi dewasa dalam sikap dan perilaku, sehingga kelak dapat menjadi "pelita" bagi yang lain. Sebagai sebuah taman, sekolah diharapkan menjadi medium dan sekaligus ruang berkreasi untuk mengolah dan mengasah raga, rasa, karsa, ilmu pengetahuan, dan berkolaborasi membangun bangsa dan negara. Untuk itu, mari kita jadikan sekolah kita sebagai sebuah "taman perjumpaan kehangatan" antarpribadi yang sedang "mendesain diri" untuk dapat hidup di tengah-tengah dunia yang serba cepat dan cenderung keras. Semoga dengan "taman perjumpaan" itu, anak-anak didik kita menjadi lebih "kuat karakter positifnya" untuk hidupnya di masa depan.

Minggu, 03 Juni 2012

BERJALAN BERSAMA ALLAH

Hidup berkeluarga merupakan panggilan khusus yang dianugerahkan Allah kepada setiap manusia. Sebagai panggilan, hidup berkeluarga terjadi bukan semata-mata karena kehendak manusia, tetapi melibatkan Allah di dalamnya. Allah turut serta merencanakan, menghendaki, dan memberkati keluarga kita. Allah menjadi sendi dasar terbangunnya sebuah keluarga yang terberkati. Sementara suami-istri menjadi bangunannya, yang menghiasi, mengembangkan, dan merawatnya dengan cinta kasih yang total dari keduanya. Untuk itu, hidup berkeluarga (perkawinan) melambangkan hubungan antara Kristus dan Gereja-Nya (Ef 5: 22-23). Mereka akan hidup dalam persekutuan seperti halnya hidup Gereja sebagai persekutuan. Mereka adalah Gereja mini. Perkawinan memperlihatkan dan melambangkan kasih Allah kepada manusia dan kasih Yesus kepada Gereja-Nya. Mereka bukan lagi dua, melainkan SATU. Kesatuan pasangan dalam menziarahi panggilannya di dunia sebagai keluarga yang diberkati Tuhan membutuhkan perjuangan yang terus menerus tanpa henti. Kemampuan untuk bertahan sebagai keluarga yang diberkati Allah merupakan ketaatan kita pada kehendak Allah. Seperti Yusuf dan Maria. Namun, dengan adanya berbagai macam godaan dan tawaran yang lebih menarik, suami-istri perlu mengupayakan dan melibatkan kekuatan Allah, yang menyatukan dan memelihara mereka. Mereka perlu terus berjalan bersama Allah. Berjalan bersama Allah membutuhkan keterbukaan dan ketaatan kepada kehendak dan firman-Nya. Seperti Musa, suami-istri perlu terus menyerahkan diri agar Allah tetap bersama mereka. Berkatalah Musa kepada-Nya: "Jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, janganlah suruh kami berangkat dari sini. Dari manakah gerangan akan diketahui, bahwa aku telah mendapat kasih karunia di hadapan-Mu, yakni aku dengan umat-Mu ini? Bukankah karena Engkau berjalan bersama-sama dengan kami, sehingga kami, aku dengan umat-Mu ini, dibedakan dari segala bangsa yang ada di muka bumi ini?" (Kel 33:15-16). Penyertaan Tuhan memberikan nilai yang berbeda bagi setiap suami-istri dalam menziarahi hidup keluarganya. Suami-istri akan diarahkan dan dituntut Allah pada jalan yang dikehendaki-Nya, bukan kepada jalan yang mereka kehendaki. Seperti Bangsa Israel, dalam perjalanannya menuju Kanaan, mereka dipimpin oleh Tuhan dengan menggunakan tiang awan pada siang hari dan tiang api pada malam hari. Demikian juga Yosua dipimpin dan dibimbing oleh Allah karena Yosua mengikat perjanjian dengan Allah. Bahwa Allah akan memberikan semua tanah Kanaan asalkan Yosua berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam Yosua 1, kita membaca janji Tuhan itu: “Setiap tempat yang akan diinjak oleh telapak kakimu Kuberikan kepada kamu, seperti yang telah Kujanjikan kepada Musa. Dari padang gurun dan gunung Libanon yang sebelah sana itu sampai ke sungai besar, yakni sungai Efrat, seluruh tanah orang Het, sampai ke Laut Besar di sebelah matahari terbenam, semuanya itu akan menjadi daerahmu. Seorangpun tidak akan dapat bertahan menghadapi engkau seumur hidupmu; seperti Aku menyertai Musa, demikianlah Aku akan menyertai engkau; Aku tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau. Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, sebab engkaulah yang akan memimpin bangsa ini memiliki negeri yang Kujanjikan dengan bersumpah kepada nenek moyang mereka untuk diberikan kepada mereka. Hanya, kuatkan dan teguhkanlah hatimu dengan sungguh-sungguh, bertindaklah hati-hati sesuai dengan seluruh hukum yang telah diperintahkan kepadamu oleh hamba-Ku Musa; janganlah menyimpang ke kanan atau ke kiri, supaya engkau beruntung, ke manapun engkau pergi. Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung.” Berjalan bersama Allah memberikan kekuatan dan kemuliaan bagi setiap keluarga. Keluarga akan menjadi cahaya-terang dan garam dunia. Seperti keluarga Kudus dari Nazareth, hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. ”Bersabdalah, ya, Tuhan, hamba siap mendengarkan.” Keluarga yang berjalan bersama Allah menziarahi hidupnya sesuai dengan kehendak Bapa (Mat 7:21-23). Kebersamaan Allah di dalam keluarga memberikan kekuatan dan kedamaian bagi setiap keluarga (Maz 29:11). Keluarga yang berjalan bersama Tuhan pergi mendekati Tuhan setiap harinya dan berdiri di hadapan-Nya. Ini adalah kehidupan yang pergi dihadapan Tuhan dengan rendah hati; ini adalah kehidupan yang dengan taat berdiri dihadapan Tuhan dengan hanya berkata, “Berbicaralah Tuhan.” Berjalan bersama Tuhan berarti “kita tetap berada di dalam Allah dan Dia di dalam kita: Ia telah mengaruniakan kita mendapat bagian dalam Roh-Nya.” Kita tidak goyang ke kiri atau ke kanan. Hidup kita berpusat pada Firman dan hanya mencari muka Tuhan. Dengan berjalan bersama Tuhan, kita mengandalkan Tuhan pada waktu susah dan menerima kasih karunia dari atas untuk menyelesaikan masalah-masalah ini. Berjalan bersama Tuhan menjadikan hidup kita selalu berada dalam kelimpahan. Ini karena mata Tuhan selalu bersama kita dan Dia tidak pernah meninggalkan kita. Berjalan bersama Tuhan berarti kita hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, kita berdiri dihadapan Tuhan dan mempunyai Yesus di dalam kehidupan kita. ”... kamu harus menaruh perkataanku ini dalam hatimu dan dalam jiwamu; kamu harus mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu” (Ul 11:18) “Berbahagialah orang, yang menaruh kepercayaannya pada TUHAN, yang tidak berpaling kepada orang-orang yang angkuh, atau kepada orang-orang yang telah menyimpang kepada kebohongan!” (Mzm 40:4) “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus…” (Flp 2:5)

MERAYAKAN KOMITMEN BERSAMA

Semua hubungan mempunyai masa sulitnya. Dibutuhkan keberanian untuk bertahan dalam jalurnya. Seorang bijak berkata: “”Kehidupan pernikahan layaknya suatu lari maraton. Tidak cukup hanya membuat start yang bagus ke suatu pernikahan jangka panjang. Engkau memerlukan Kekuatan Kuasa”. Menurut Thurber, ”Cinta adalah apa yang telah engkau lewati dengan seseorang.” (http://discover.seiman.org, 5/2/10). Pernikahan bukanlah “saat” kita untuk menjadi tidak setia, tetapi “saat” kita untuk menjadi bagian hidup dari pasangan kita. Bahwa dua hati telah menjadi satu.” Bahwa “dua pribadi menjadi satu daging.” “Kesatuan ini, penggabungan ini, adalah suatu kebergantungan satu dengan yang lain yang mengikat satu hati ke yang lainnya dalam ”ikatan emas kasih yang kekal.” Dalam konteks ekslusivitas (dan hanya dalam konteks itu saja), suatu pasangan bertumbuh dalam kepercayaan, pengontrolan diri, dan penghargaan. Dalam atmosfir ini setiap anggota akan menjadi dirinya sendiri yang terbaik dan mengisi tujuan Sang Pencipta untuk perkawinan mereka. Percintaan Seksual merayakan dan memperkuat komitmen ekslusive itu. Tanpa komitmen ini terhadap satu sama lainnya, tindakan seksual adalah cinta diri sendiri, dan terutama adalah menghancurkan diri sendiri dan pasangannya.” (http://discover.seiman.org, 5/2/10). Komitmen pada hidup perkawinan membutuhkan tanggung jawab dan pengorbanan yang besar karena kita harus menempatkan seluruh diri kita pada kehidupan perkawinan kita. Ketegasan, kejujuran, keadilan, dan keterbukaan menjadi pengikat yang kuat untuk tetap bertahan pada jalur kesatuan hati dengan pasangan. Karena itu, setiap pasangan harus rela dan dengan senang hati mengesampingkan kepentingan dirinya sendiri demi tercapainya tujuan atau kepentingan bersama, yaitu kebahagiaan bersama. Merayakan komitmen bersama dapat dilakukan dengan berbagai macam cara sesuai dengan kebutuhan dan kebahagiaan pasangan kita. Perayaan komitmen harus semakin memersatukan pasangan dalam persekutuan kasih. Juga pasangan saling menyegarkan kembali ikatan kasih yang dibangun bersama. Suami mengakui bahwa "engkau isteriku, seluruh dirimu kugantikan dengan diriku.” Demikian juga isteri bersedia "engkau suamiku, seluruh dirimu kugantikan dengan diriku". Maka dengan pertukaran itu, suami dapat memandang dan memperlakukan isterinya, sebagai "dirinya sendiri", sebaliknya begitu. Dengan kata lain, suami isteri saling mengarahkan jerih payahnya untuk hidup pasangannya, bukan hidup dirinya sendiri. Itulah "mengasihi sesama seperti dirinya sendiri" dalam keluarga. Kasih antar sesama itu dapat menjadi "tanda kasih yang hidup dari kesetiaan kasih Allah kepada manusia” (http://komkatkpwt.blogspot.com, 5/2/10). Oleh karena itu, rayakanlah komitmen perkawinan dengan cara-cara yang membuat anda semakin diper-SATU-kan sebagai pasangan. Misalnya: berlibur ke suatu tempat yang romantic, saling memberikan pujian, berdoa bersama, mengundang saudara atau teman dalam HUT perkawinan, atau mengadakan Misa syukur di rumah, dst. Komitmen tentu tidak hanya dirayakan, tetapi harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab sebagai pasangan. Karena itu, kita perlu merefleksikan sikap dan perilaku kita setiap saat: apa saya sudah berada pada jalur yang benar? Apakah saya sudah mengesampingkan kepentingan diri demi kebahagiaan bersama? Apakah saya sudah bertanggung jawab terhadap kehidupan keluarga? dst. Untuk itu perlu diupayakan secara terus menerus: (1) menumbuhkan komunikasi yang baik, terutama bentuk komunikasi yang tepat. Komunikasi bisa dilakukan dengan cara-cara yang sederhana, pilihlah sebuah penyampaian pesan yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Terpenting saat kita menyampaikan pesan, pahami kondisi keluarga, terutama kondisi pasangan. Apapun masalah yang kita hadapi, hadapi dengan keterbukaan. Ciptakan sebuah solusi ampuh agar siap menghadapi berbagai masalah. Komunikasi terbuka, penting dalam sebuah pernikahan. Hindari sikap saling tutup mata terhadap permasalahan yang mungkin terjadi. (2) Sadarilah bahwa cinta bukan segalanya, tetapi segalanya membutuhkan cinta supaya dapat berjalan dalam cinta. Saling menghormati, menghargai, kesetiaan dan sebuah kejujuran adalah hal penting yang perlu dibina untuk membangun pernikahan yang ideal dan langgeng. (3) Mengembangkan tanggung jawab. Pernikahan adalah sebuah rasa tanggungjawab penuh atas komitmen yang telah dibuat. Kita tidak hanya bertanggungjawab pada diri sendiri, tapi kita juga bertanggungjawab kepada keluarga dan juga kepada Tuhan. (4) Pahamilah bahwa pernikahan tidak mematikan kepribadian seseorang. Sebuah ikatan bernama pernikahan bukan berarti memenjarakan atau terbelenggunya hak individu. Idealnya, pernikahan akan memperkaya kepribadian seseorang karena mereka dapat melengkapi satu sama lain dan saling belajar untuk menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tak hanya itu, dengan pernikahan diharapkan kedua pasangan dapat mengembangkan diri secara optimal karena adanya sikap saling mendukung satu sama lain. “Rayakanlah komitmen dengan penuh cinta dan kebahagian, maka kita akan bahagia.” Berbahagialah orang, yang menaruh kepercayaannya pada TUHAN, yang tidak berpaling kepada orang-orang yang angkuh, atau kepada orang-orang yang telah menyimpang kepada kebohongan! (Mazmur 40:4-5) Berbahagialah orang-orang yang berpegang pada hukum, yang melakukan keadilan di segala waktu! (Mazmur 106:3) Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. (Matius 5:8)

PONDASI HIDUP BERKELUARGA

Layaknya membangun sebuah rumah, kita membutuhkan perencanaan yang matang, pelaksanaan yang baik, dan perawatan yang kontinu. Rumah yang dibangun tanpa perencanaan, pelaksanaan, dan perawatan yang baik akan segera rusak. Demikianlah hidup berkeluarga membutuhkan perencanaan yang sungguh-sungguh matang (fisik, psikologis), pelaksanaan komitmen yang kuat, dan perawatan komitmen yang kontinu. Komitmen bukan hanya perlu dirawat, tetapi juga perlu terus menerus disegarkan dan dimaknai dalam seluruh aktivitas kehidupan kita. Pemaknaan akan komitmen mengawal dan mengarahkan kita pada tujuan hidup berkeluarga, yaitu kebersamaan seluruh hidup, kebahagiaan suami istri sebagai pasangan, kelahiran dan pendidikan anak. Hidup berkeluarga menjadi suatu panggilan Allah untuk ambil bagian dalam karya penciptaan-Nya dan sekaligus pilihan bebas dari setiap pribadi. Pilihan Hidup berkeluarga merupakan pilihan bagi setiap orang yang hendak ambil bagian dalam panggilan Allah “beranakcuculah dan bertambah banyak....” (Kej 2: 28). Sebagai pilihan, hidup berkeluarga tentu merupakan bentuk pengabdian kepada Allah yang telah terlebih dahulu mengasihi dan mencintai manusia. Pilihan untuk mengabdi Allah melalui hidup berkeluarga merupakan panggilan khas bagi setiap pasangan suami-istri. Mereka dipanggil untuk meneruskan karya besar Allah, yaitu “melanjutkan karya penciptaan-Nya” yang bermartabat dan bermanfaat bagi kehidupan yang lain supaya “semua baik adanya.” Oleh karena itu, agar pilihan kita menjadi berkat dan anugerah bagi diri kita dan orang lain, kita perlu membangun dan menjalani pilihan itu dengan pondasi yang kuat, dikehendaki, tahan terhadap berbagai macam gelombang, riak, badai kehidupan, dan diberkati oleh Allah. Sehingga pilihan kita mencerminkan cara Allah meneruskan ciptaan-Nya. Pondasi Pondasi adalah dasar yang kuat yang menopang seluruh bangunan yang ada di atasnya. Tuhan Yesus memilih Petrus sebagai pondasi bagi Gereja-Nya karena Petrus dianggap mampu berdiri kokoh di tengah-tengah gelombang dan badai yang mengancam Kerajaan Allah. Ketika ia ditanya berulang kali: “Petrus apakah engkau mencintai Aku?” Petrus menjawab: “Ya, Tuhan, aku mencintai Engkau.” Lalu Yesus berkata: “... Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya” (Matius 16:18). Berikut beberapa pondasi dalam menjalankan kehidupan berkeluarga agar tetap utuh. 1. Visi-misi Membangun keluarga perlu dilandasi oleh visi dan misi yang fokus pada tujuan yang mau dicapai bersama antara suami dan istri. Visi dan misi harus jelas dan dibuat serta dijalankan secara bersama-sama. Visi dan misi harus mengakomodasi keberagaman suami dan istri. Banyak keluarga hancur hanya karena perbedaan visi dan misi dalam menjalankan biduk rumah tangganya. 2. Kejujuran Kejujuran terhadap diri sendiri dan terhadap pasangan merupakan nilai yang tidak dapat dibandingkan dengan apapun juga. Karena dalam kejujuran kita menemukan keutuhan diri kita sendiri dan keutuhan pasangan kita. Dalam kejujuran, kita belajar memberikan diri secara utuh kepada pasangan dan sekaligus belajar menerima pasangan apa adanya. “Pasanganku adalah yang terbaik bagi hidupku.” 3. Iman Iman mendasari semua tindakan kita. St. Yakobus menegaskan: “iman menjadi sempurna dalam perbuatan-perbuatan kita...” Dengan iman yang kuat kita dapat menghargai karya Allah yang terjadi atau terlaksana dalam diri pasangan kita. “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr 11:1). Iman yang sama akan memermudah komunikasi kita dengan pasangan. Juga memermudah kita merencanakan kegiatan-kegiatan menjelang hari-hari special. Iman dapat memererat ikatan cinta kasih antarpasangan, memerdalam penghayatan iman keluarga. Bahwa kasih yang ada di antara mereka berasal dari kasih Allah sendiri. 4. Komitmen Komitmen adalah perjanjian antara suami-istri untuk melakukan sesuatu. Komitmen menjadi kesepakatan bersama antara suami dan istri yang dibangun atas dasar mau, sadar, dan penuh tanggung jawab. Dalam komitmen terkandung tanggung jawab yang tidak dapat dilanggar. Pelanggaran terhadap komitmen berarti mencederai keindahan perkawinan. “Peliharalah komitmen dengan penuh kesadaran seperti saat kita membuatnya.” 5. Growth (psbrahmana.blogspot.com) G--> Go to God in daily prayer - Menghadap kepada Allah dalam doa setiap hari (Yohanes 15:7) R--> Read God's Word daily - Membaca Firman Allah setiap hari (Kis. 7:11). O--> Obey God moment by moment - Mentaati Allah setiap saat (Yohanes 15:8). W--> Witness for Christ by our life and words - Memberi kesaksian tentang Kristus lewat kehidupan serta ucapan kita (Matius 4:19; Yohanes 15:6). T --> Trust God every detail of our life - Mempercayakan setiap detail kehidupan kita kepada Allah (1 Petrus 5:7). H --> Holy Spirit: Allow him to control and empower our daily life and witness -Membiarkan Roh Kudus mengendalikan serta memberdayakan kehidupan serta kesaksian kita sehari-hari (Galatia 5:16,17: Kis. 1:8) 6. Pengampunan Kemampuan dan kesediaan untuk mengampuni (memaafkan) adalah kunci dari kebahagiaan pasangan. Setiap pasangan (suami-istri) dapat saling memaafkan kesalahan tanpa rasa dendam (fair). Dalam suasana pengampunan itu, suami-istri mampu bersikap adil satu sama lain, sehingga dapat mencegah konflik biasa menjadi luar biasa. Karena itu, belajarlah untuk mengampuni (memaafkan) kesalahan pasangan; belajarlah untuk memahami bahwa setiap peristiwa hidup menggoreskan makna/nilai untuk hidup. “TUHAN itu berpanjangan sabar dan kasih setia-Nya berlimpah-limpah, Ia mengampuni kesalahan dan pelanggaran…” (Bil 14:18). “... baik dan suka mengampuni dan berlimpah kasih setia bagi semua orang yang berseru kepada-Mu.” (Mzm 86:5). 7. Melupakan Mengampuni (memaafkan) ada kaitannya dengan melupakan. Kita tidak bisa melupakan kesalahan seseorang jika kita tidak bisa mengampuni kesalahan-kesalahan tersebut atau bahkan mengungkitnya. Kita harus menyadari bahwa semua orang mempunyai masa lalunya sendiri dan jika pasangan mengungkitnya, ini hanya akan menimbulkan konflik yang tak berkesudahan sehingga bisa terjadi dendam yang membuat hati keras. Jadi, kemampuan untuk mengampuni berarti pula kemampuan untuk “melupakan.” Mengampuni → melupakan → memberi → menerima → membahagiakan → merayakan. Rayakanlah kehidupan perkawinan anda dengan sikap rendah hati: saling mengampuni dan menerima satu sama lain dalam berbagai kekurangannya. 8. Sabar Sabar berarti tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati). Sabar juga berarti tabah, tenang, tidak tergesa-gesa. Menjadi seorang yang sabar memang bukan hal yang mudah namun ini bisa menjadi kekuatan dahsyat untuk mencapai kehidupan yang sehat lahir dan batin. Sikap sabar memampukan kita menjadi lebih pasrah kepada kehendak Allah dan mendekatkan diri kepada Allah. Kita percaya bahwa Allah akan mengerjakan yang terbaik bagi hidup kita. Kita jadi bisa memberdayakan mekanisme hidup kita untuk menghadapi saat saat sulit dalam hidup. “... orang yang sabar memadamkan perbantahan.” (Ams 15:18). “Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota.” (Ams 16:32). “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.” (Ef 4:2) 9. Fleksibel Fleksibel berarti luwes, dinamis, lentur. Orang yang fleksibel adalah orang dapat menyesuaikan diri di dalam situasi yang dihadapi atau dimasuki. Ia ibarat air yang dapat membentuk dirinya sesuai dengan tempatnya. Dalam hidup berkeluarga, sikap dan perilaku fleksibel perlu terus diupayakan. Artinya setiap pasangan perlu memahami dan mengerti bahwa pasangannya tidak sama seperti yang dipikirkannya. Banyak pernikahan tidak bahagia karena pasangan tidak bisa mengembangkan sikap fleksibel dan lentur. Kita jangan berharap pasangan kita dapat mengubah sikap atau perilakunya dalam waktu singkat kecuali jika ada kesadaran bahwa sikap atau perilakunya ada yang salah dan harus diubah. Jangan pula berharap pasangan mampu berperilaku sama persis dengan diri kita, karena setiap manusia punya kepribadian khas. Tetapi alangkah baiknya kita saling menghormati asalkan sikap atau prinsip kita tidak bertentangan dengan tujuan pernikahan/keluarga. 10. Persahabatan Persahabatan dalam hidup berkeluarga sangat penting. Karena melalui persahabatan kita saling menghormati, menghargai, menerima dan menyanyangi, meski kita juga memiliki perbedaan. Dalam persahabatan, suami-istri mengembangkan sikap dan perilaku yang menguntungkan keluarganya. Bukan yang menguntungkan dirinya dan merugikan keluarganya. Sikap dan perilaku pasangan mengutamakan kebahagiaan keluarga, sehingga mereka mampu menghadapi tekanan dari luar. Persahabatan ini diarahkan untuk kebahagiaan pasangan, anak, dan anggota keluarga yang lain. 11. Bersenang-senang Kehidupan berkeluarga perlu dirayakan dengan fun. Pasangan perlu meluangkan waktu berdua untuk menikmati keindahan sebagai pasangan. Mungkin dengan pergi berlibur ke pantai atau ke tempat-tempat romantis lainnya. Karena hal itu makin menguatkan ikatan tali kasih keduanya. Banyak orang yang mengalami kekosongan dalam pernikahan karena mereka tidak bisa meluangkan waktu berdua karena kesibukannya. Oleh karena itu, utamakanlah kebahagiaan keluarga dengan meluangkan waktu setiap anda bisa untuk berduaan dengan pasangan anda. Ekspresikan apapun perasaan dan perilaku cinta anda pada pasangan. Jangan malu-malu. Sebab “dunia adalah milik anda berdua.” 12. Setia Setia adalah pondasi yang tidak bisa di tawar dalam pernikahan. Kesetiaan adalah kunci dari indahnya hidup pernikahan. Karena itu, masing-masing pasangan harus bisa menjaga kepercayaan masing-masing pihak, menjaga diri mereka agar tidak terbawa, memulai atau apapun perselingkuhan yang ditawarkan dunia. Mengingkari kesetiaan berarti berdosa terhadap diri sendiri, pasangan, dan terutama terhadap Allah yang telah memberkati kesetiaan anda. Disamping itu, akibat paling buruk dari pengingkaran kesetiaan adalah pernikahan lama-lama menjadi rapuh. Kebahagiaan mungkin hanya tinggal mimpi. “Jadilah setia dengan kesetiaan anda sebagai pasangan.” 13. Adil Adil berarti memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Bertindak adil berarti memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya berdasarkan semangat belas kasih Allah. Karena itu, ketika rasa marah atau rasa tidak suka menimbulkan rasa ketidakadilan, maka ingatlah firman Allah bahwa " janganlah bersikap tidak adil dalam keadaan apapun" “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?" (Mikha 6:8). 14. Keuangan Keuangan kelihatannya sepele padahal bisa merusak dan memengaruhi kebahagiaan pernikahan. Solusinya komunikasikan masalah keuangan. Gunakan perencanaan keuangan yang matang: apakah pengelolaannnya diserahkan pada satu pihak atau kedua belah pihak memegang sendiri-sendiri. Aturlah sedemikian rupa supaya antarpasangan nyaman. Jadi bijaklah dalam mengaturnya. Suami-istri sebaiknya bersikap seperti yang dikatakan St. Paulus: “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau" (Ibrani 13:5). 15. Kekeluargaan Membangun sebuah keluarga yang dilandasi oleh iman, pengharapan, dan cinta kasih yang tulus tidak mudah. Banyak tantangan yang harus dihadapi, baik dari dalam diri sendiri (kemampuan untuk menerima kekurangan pasangan) maupun dari luar diri (tawaran dunia yang selalu tampak lebih baik). Apalagi jika keduanya tidak dibekali pengetahuan yang cukup tentang tujuan dibangunnya keluarga, bagaimana menerima dan menghormati pasangan, atau bagaimana menjadi orangtua yang efektif. Oleh karena itu, perbanyaklah mencari pengetahuan, tanyalah pada ahli atau orang yang anda teladani. Berusahalah berdiskusi tentang apa yang akan dilakukan, keluaga adalah prioritas utama sehingga jika terjadi konflik carilah waktu untuk menyelesaikannya. 16. Kebebasan Pernikahan terjadi harus didasari oleh sikap bebas dari kedua belah pihak. Masing-masing bebas untuk memilih dan menentukan pasangannya atas dasar cinta kasih yang total dan yang tidak dapat ditarik kembali. Artinya kedua belah pihak memberikan 100% cintanya hanya kepada pasangannya. Karena itu, kebebasan pernikahan adalah kemitraan bukan perbudakan. Masing-masing pasangan saling melengkapi satu sama lain (komplementer), saling memperhatikan kebutuhan suami istri agar tahu batasan mana yang harus atau tidak boleh dilakukan. Juga penghormatan terhadap kreatifitas atau apapun kesukaan, prinsip dll dari masing-masing, sehingga keluarga bisa berjalan bersama tanpa harus terkekang. Dalam hal ini baik diperhatikan nasihat St. Paulus: “Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang” (1 Kor 9:19). “Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain” (Rom 7:3). “Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya” (1 Kor 7:39). 17. Jangan Malu Setiap pasangan perlu dan harus mengungkapkan perasaan atau keinginannya terhadap pasangan. Jangan malu menunjukkan cinta, bujuk rayu, atau romantisme-gairah pada pasangan. Hal ini penting, karena pasangan kita tidak selalu mengetahui apa yang sedang bergejolak di dalam hati kita. Sama seperti saat anda pacaran. Inilah cara untuk melanggengkan pernikahan. 18. Terus Terang Munkin anda masih ingat dengan lagu lawas yang syairnya berbunyi: “Terus terang saja, kamu katakan…” Syair lagu ini kira-kira menuntut kejujuran dan keterbukaan bagi setiap pasangan. Berterus terang, sikap jujur-terbuka sangat penting dalam suatu hubungan, agar pasangan merasa aman dan bebas mengatakan apapun, tentu saja dengan memperhatikan perasaan masing-masing. “Berterus teranglah, maka anda akan bahagia.” 19. Fasilitator Yesus bersabda: “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Mat 6:33). Komitmen terhadap Allah ini menjadikan seseorang memiliki kemampuan memfasilitasi peningkatan keimanan pasangan. Pasangan saling memfasilitasi dalam mengembangkan dirinya dan meningkatkan relasinya dengan Allah. “Allah menjadi kepala keluarga, sementara suami-istri menjadi wakil-Nya.” 20. Saling Memuji Pujian merupakan salah satu cara untuk menghangatkan hubungan. Saling memuji merupakan cara termurah untuk menenangkan suami istri. Bukankah setiap orang senang dipuji? 21. Kepuasan Merasa puas dengan pasangan merupakan pengalaman yang sangat berharga, jatuh cinta berarti saling memberi dan menerima dan tidak bersikap egois. 22. Berbuat Salah Semua manusia bisa melakukan kesalahan jangan berharap lebih, seringkali harapan kita lebih tinggi dari kenyataan. Selalu ingat bahwa yang sempurna adalah Allah. Manusia adalah mahluk yang tidak sempurna, pahami kemudian maafkanlah. 23. Fondness Banyak pernikahan gagal hanya karena pasangan tidak bisa melihat pasangannya sebagai pribadi yang unik dan istimewa. Oleh karena itu, jika ingin menciptakan suasana itu sediakanlah waktu untuk membangun kasih sayang diantara anda. 24. Masa depan Pasangan suami istri yang pandai akan membuat perencanaan masa depan bersama-sama. Cara ini sangat baik karena kini mereka bukan satu individu lagi melainkan berdua. Rencana satu individu akan berkaitan dengan yang lain pula. Jadi apapun itu ketika menyangkut hubungan berdua komunikasikanlah. 25. Perasaan (Feeling) Setiap pasangan perlu dan harus memperhatikan perasaan masing masing pasangan sehingga segala rasa, kata, dan laku dapat diatur agar tidak menyakiti hati satu sama lain. Pahami bahwa setiap orang mempunyai kepribadian yang berbeda. Sesuaikanlah apa yang ingin dikata, dilakukan dengan cara yang baik agar idak terjadi kesalahpahaman.

Selasa, 29 Mei 2012

"Garam Dunia"

"Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang" (Mat 5: 13). suatu hari di kala kami santap malam, anak kami, Renata, tiba-tiba bertanya kepada ibunya:"Ma, koq sayurnya kurang garam, ya...? Rasanya aneh...hambar...tawar..." "Ah... masak... perasaan, mama sudah memberikan banyak garam...mungkin kakak yang perlu tambah garam sendiri", jawab mamanya. "Ah... mama... masak kakak harus nambah sendiri. nanti gak enak dong!", sambung Renata. "Ya... kakak nambah sendiri sesuai dengan selera kakak. Biar nanti enak, ya, kan?", tambah mamanya. Garam memang menjadi salam satu bagian penting dari setiap masakan. Tanpa atau kekurangan garam, masakan rasanya kurang enak untuk dinikmati. Bahkan masakan cenderung hambar. Kurang menarik untuk dinikmati. Sebaliknya, masakan yang cukup garamnya akan terasa enak dan nikmat untuk kita nikmati. Demikian juga kita sebagai manusia. "Garam" kebaikan kita baru dapat dirasakan dan dinikmati oleh orang lain ketika kita bersikap dan bertindak baik kepada mereka tanpa memandang latar belakang kehidupannya. Tanpa memilih dan memilah siapa, dimana, dari mana seseorang yang kita layani atau beri bantuan. Sebab mereka semua adalah juga gambar-gambar Allah, yang diciptakan dan diutus khusus oleh Allah untuk ambil bagian dalam proses kehidupan di dunia ini. Kita perlu meruangkan semua sesama di dalam diri kita. Seperti garam, ia dapat menjadi penyedap rasa bagi segala jenis sayuran (dan lauk pauk) yang siap dihidangkan. Garam tidak memilih. Ia menerima dan memberikan rasa asin kepada semuanya. "Ruangkanlah dirimu untuk menerima dan memberi rasa kepada setiap orang yang kita jumpai. Sebab mereka semua adalah bagian dari diri kita. Mereka adalah warna yang memperindah kehidupan dan dunia kita."

Selasa, 15 Mei 2012

Aku, Sesama, dan Tuhan

Pagi-pagi sekitar pukul 06.30, Renata sudah bangun dan siap turun dari tempat tidurnya. Tetapi, sebelum ia meninggalkan tempat tidurnya, ia terlebih dahulu membangunkan adiknya, Cheryl yang tampak masih terlelap. "Dik, dik, dik, bangun sudah siang...cepat dik... kita berdoa dulu baru mandi..." Adiknya yg masih terlelap tampak malas-malasan dan terkesan tidak memperhatikan ajakan Kakaknya. Ia hanya menjawab singkat: "masih ngantuk kak...." Mendengar jawaban itu, Rena lalu meninggalkan adiknya di tempat tidur. Ia bergegas menuju kamar mandi untuk mandi pagi. Byur...byur...byur... seger.... Setelah selesai mandi, ia bergegas mengenakan pakaian yang disukainya. "Ah... ini cantik... aku pakai ini aja", katanya. Kemudian ia menuju meja makan untuk sarapan pagi... "enak... nyam...nyam..." bisiknya. Kisah di atas menampilkan tiga entitas yang saling terkait satu sama lain, bahkan tidak dapat dipisahkan. Yang satu mempengaruhi yang lain dan sebaliknya yang lain mempengaruhi yang satu. Ketiga entitas itu adalah "Aku, Sesama, dan Tuhan." "Aku" adalah entitas pertama yang menyadari akan keradaan yang lain (the others). Kesadaran akan yang lain sangat dipengaruhi oleh kepekaan si Aku dalam menenun keberadaannya di tengah alam semesta yang luas. Semakin si Aku menenun dirinya menuju 'ruang dalam, ruang jiwanya', ia akan semakin menyadari bahwa keberadaannya tergantung pada yang lain dan penciptanya. Kemampuan si Aku menuju pada ke-diri-annya mencerminkan si Aku semakin menenun spiritualitasnya bersama dengan lain. Si Aku semakin menjadikan dirinya sebagai bagian dari yang lain dan menempatkan Tuhan sebagai bagian integral dari pertumbuhannya. "Sesama" adalah entitas kedua yang memegang peranan penting dalam hidup si Aku. Sesama menempa dan mendidik si Aku untuk bertumbuh dan berkembang menuju pada kepenuhan dirinya. Sesama menjadi semacam medium pertumbuhan dan pembentukan diri si Aku. Semakin bijak dan bajik sesama dalam mendampingi si Aku, semakin hebat dan kuatlah si Aku untuk menemukan dirinya, sebagai diri yang hanya bermanfaat bila bersama yang lain. Tanpa sesama, si Aku tidak ada artinya. "Tuhan" adalah entitas tertinggi yang mendesain dan menentukan seperti apa si Aku dan Sesama dalam menjalankan hidupnya di tengah dunia yang tak terbatas ini. Tuhan menjadi "roh" yang menggerakkan dan mengarahkan si Aku dan Sesama pada tujuan yang telah disiapkan, yaitu "kehidupan kekal, baka." Semakin dalam dan kuat si Aku dan Sesama meluangkan ruang kepada Tuhan dalam dirinya, semakin religiouslah si Aku dan Sesama memaknai dirinya, relasinya, dan alam semestanya.

Rosario

Bulan Mei dan Oktober adalah bulan yang dikhususkan oleh Gereja guna memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh umat beriman untuk berdoa bersama Bunda Maria, Bunda Allah, Bunda Yesus Kristus. Kebaktian kepada Bunda Maria ini disebut Devosi. Devosi berasal dari bahasa latin devotio, yang berarti “kebaktian, pengorbanan, sumpah, kesalehan, cinta bakti.” Dengan melakukan devosi, umat diharapkan semakin menyadari bahwa “manusia dengan segala tradisi, budaya, inteligensi, afeksi-emosi, dan rohaninya diterima dan dikuduskan oleh Allah.” Allah melalui Yesus Kristus dalam Roh Kudus “menerima manusia dalam keseluruhan dimensinya.” Selain itu, devosi juga mau “menampilkan sisi pemahaman dan penghayatan iman umat yang beranekaragam, yang merakyat, bukan yang teologis.” Apakah cara seperti ini salah? Praktek devosi yang dilakukan oleh umat beriman, seperti devosi kepada Sakramen Mahakudus, Jalan Salib, Rosario, Novena, atau Ziarah adalah baik dan benar selama dihayati dalam “roh dan kebenaran” (Yoh 4:23). Artinya Praktek Devosi harus dijauhkan dari: (1) pandangan bahwa devosi adalah pengganti liturgi resmi Gereja. Umat tetap harus mengutamakan liturgy resmi gereja, baru sesudah itu melaksanakan devosi. Gampangnya: “devosi adalah sarana alternative umat beriman dalam menghayati imannya akan Yesus Kristus sebagai Juru Selamat Dunia.” (2) bahaya praktik magis. Umat tidak boleh menganggap bahwa rumusan doa Salam Maria, atau Rosario itulah yg mengabulkan doanya. Tetapi umat harus senantiasa mengingat dan mempercayai bahwa sumber daya, kekuatan, dan terkabulnya doa hanyalah Allah saja. Allah melalui Yesus Kristus dalam Roh Kudus. (3) pengingkaran iman Gereja, yang TRINITARIS. Kesalehan dan antusiasme devosional harus selalu ditempatkan dalam rangka pemuliaan ALLAH TRINITARIS. Bukan pemuliaan Patung, Biji Rosario dsb. Semoga devosi kita – terutama ROSARIO yang kita laksanakan pada bulan Mei dan Oktober – memberi sumbangan yang sangat berharga dalam hidup iman kita. Saya harap dengan melaksanakan devosi kepada Bunda Maria, kita semakin menyadari pentingnya: (1) dimensi afeksi-emosi dalam liturgi. Kita beriman sebagaimana adanya kita. (2) kesederhanaan ungkapan iman dalam liturgi. Kita berdoa dan berkomunikasi dengan Tuhan menurut kemampuan dan bahasa kita yang sederhana. Tidak perlu rumit dan melayang-layang di udara. (3) berdoa secara terus menerus atau mengulang-ngulang doa yang sama. Dengan begitu, kita mengalami bahwa Tuhan, Allah hadir disini, kini, dan dekat dengan kita. ALLAH TERLIBAT DALAM HIDUP KITA. IMANUEL.

Minggu, 29 April 2012

MENGUBAH KEBIASAAN

”Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat” (Mrk 2: 27-28) Pada suatu masa, konon di sebuah desa hiduplah seorang raja yang sangat menjunjung tinggi peraturan dan hukum yang telah ditetapkan dalam kerajaannya. Setiap rakyat harus mematuhinya 100%. Barangsiapa yang melanggar akan dihukum mati alias dibunuh. Pada suatu kesempatan, putra raja yang masih berumur 5 tahun tanpa sengaja melanggar peraturan kerajaan. Sang raja menjadi bingung. Dalam hati ia berkata: ”Kalau aku bunuh, aku tidak punya penerus. Kerajaanku bisa diambil orang lain. Tetapi kalau aku tidak bunuh, aku akan dilecehkan oleh rakyatku. Aku dianggap tidak konsekuen, lebih dari itu aku dianggap pengecut. Betapa malunya aku”, pikir sang raja. Dalam keadaan bingung dan cemas itu, permaisuri datang mendekati sang raja. ”Ada apa tuanku raja?” tanya permaisuri. ”Aku bingung. Apakah aku harus membunuh anak kita satu-satunya itu demi harga diri atau aku harus menanggung malu dihadapan rakyatku?” jawab sang raja. ”Menurut permaisuri, tuanku raja tidak perlu memilih” jelas permaisuri. ”Lalu?” tanya sang raja. ”Begini saja tuanku raja. Mulai saat ini, kita memperbaiki peraturan kerajaan kita. Peraturan yang merugikan orang lain, kita hapuskan saja. Dan peraturan yang menguntungkan rakyat dan membela hak hidup rakyat, kita tegakkan” saran permaisuri. Sang raja tertunduk sejenak. Lalu berujar: ”Bagus sekali usulanmu itu, permaisuriku. Besok aku akan mengumumkan kepada rakyat: peraturan yang ada di kerajaan adalah untuk kita semua. Bukan kita untuk peraturan” tegas sang raja. Esok harinya, rakyat sudah menunggu pengumuman dari raja. Rakyat menunggu sambil gemetar. Dan ketika sang raja datang, semua rakyat sujud. ”Bangunlah rakyatku. Hari ini adalah awal baru kita. Aku mengangkat kalian semua sebagai sahabat-sahabatku. Dan semua peraturan yang ada di kerajaan kita untuk kita semua. Bukan kita untuk peraturan. Rakyatku, mulai saat ini, aku akan menghormati hak-hak hidupmu” tegas raja. Rekan-rekan yg terkasih.. Kita sering menyakiti orang lain karena kita merasa orang tersebut melanggar kesepakatan yang ada. Kita lupa bahwa semua yang kita sepakati adalah untuk kebaikan kita, bukan untuk menghancurkan diri kita. Karena itu, seperti Yesus, kita harus membela hak-hak kita untuk hidup dan berkembang. Kita menaati tata tertib sekolah supaya kita menjadi baik, bukan supaya sekolah tidak menghukum kita. Kita mengikuti pelajaran dengan baik, bukan supaya bapak/ibu senang, tetapi supaya kita berhasil dengan baik. Rekan-rekan, marilah kita hidup tertib, santun, dan baik kepada setiap orang, BUKAN supaya kita dipuji, TETAPI supaya kita menjadi baik dan benar dihadapan Allah dan sesama... Tuhan Yesus bantulah kami untuk hidup tertib, bukan untuk diri kami sendiri, tetapi supaya nama-Mu dimuliakan.

Selasa, 03 April 2012

KEKUATIRAN

Desa Sidomakmur terletak lumayan jauh dari pusat kota. Para warganya menjalankan aktivitas harian sebagai petani sawah. Tidak ada aktivitas lain. Setiap hari, pagi-pagi buta (pukul 04.00) mereka sudah berangkat ke sawah sampai kurang lebih pukul 11.30 siang. Sesampai di rumah mereka makan siang, lalu istirahat sejenak, dan sore harinya mereka berangkat lagi ke sawah (pukul 14.00) sampai petang (pukul 18.30). Luar biasa. Wajah-wajah mereka tidak ada yang menampilkan rasa capek. Dari bangun tidur sampai tidur lagi mereka tetap semangat dan bahagia dengan pekerjaannya. Saya sangat salut dan merasa sedikit iri dengan cara mereka mengartikan dan melaksanakan tanggung jawabnya. Padahal kalau saya disuruh melaksanakan pekerjaan seperti itu mungkin saya langsung sakit keras… ha…ha…ha…ha. Itu perjumpaan hidup yang mengagumkan. Perjumpaan yang memotivasi saya untuk menjadi lebih setia dalam pekerjaan. Karena itu, saya selalu berkata pada diri saya: “Kamu harus bisa melaksanakan pekerjaanmu setiap hari seperti para petani itu.” Namun, untuk bisa seperti itu dibutuhkan perjuangan yang luar biasa keras, yaitu mengalahkan diri kita sendiri. Karena diri kita ini seringkali kurang disiplin dan selalu ingin dimanjakan. Diri kita juga sering berimajinasi terlampau jauh sehingga kita menjadi stress, penuh dengan kekuatiran. “Jangan, jangan, jangan…..” Pengalaman inilah yang saya jumpai pada saat saya berkunjung ke rumah seorang warga. Menurut cerita tetangganya, Budi selalu gelisah. Kuatir yang berlebihan akan masa depannya. Dia tidak pernah dapat menikmati hidupnya. “Budi itu orangnya terlalu membayangkan yang tidak-tidak. Padahal dia tidak memiliki kemampuan untuk itu”, tutur Surti. “Dia suka kuatir akan apa yang akan terjadi dengan dirinya besok. Pokoknya gak pernah tenang”, tambah Santi. “Ah…payah itu. Suka menghayal yang tinggi-tinggi yang gak mungkin jadi realita”, jelas Aspin. “Terus apa yang dia lakukan setiap hari?”, tanya Herman. “Gak ada. Dia cuma duduk-duduk dan keliling kampung. Lihat kiri kanan”, jelas Che. “Dia sama dengan orang-orang yang tidak mengenal Allah. Kuatir akan apa yang hendak ia makan? Minum? Atau pakai?”, tutur Pak John. “Padahal…”, lanjut Pak John, “Allah telah bersabda kepada kita: ‘Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting daripada makanan dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian?... Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari’ (Mat 6:25.33-34).” “Kalau begitu berarti kekuatiran itu terjadi karena kita kurang percaya pada Tuhan, yang begitu baik pada kita”, sambung Herman. “Itu yang pertama. Yang kedua, karena kita tidak disiplin dengan diri kita. Kita membiarkan diri mengganggu hidup kita. Terakhir, kita mengingini sesuatu yang berlebihan. Kita tidak mampu menerima keberadaan kita seperti apa adanya”, tegas Pak John. “Baiklah, Pak John. Dan untuk mengatasinya kita tinggal melawan ketiga hal itu, kan Pak?”, tanya Herman. “Betul. Lakukan saja. Selamat!”, jawab Pak John. Rasa kuatir dapat menghantaui kita karena (1) kita kurang percaya akan karya-anugerah Allah yang terjadi dalam diri kita; (2) kita kurang mampu mendisiplinkan diri pada apa yang seharusnya kita lakukan; (3) kita menginginkan sesuatu melebihi daya-kemampuan kita. Karena itu, rasa kuatir dapat diatasi dengan (1) percaya pada Allah bahwa Allah tidak akan membiarkan diri kita terkubur dalam kegelapan. Karena Dia sendiri sudah rela mengorbankan Putra-Nya untuk kebahagiaan kita; (2) mendisiplinkan diri pada tanggung jawab yang kita emban; (3) menerima keberadaan diri sebagaimana adanya.

KEBAHAGIAAN

Alex, Ronald, Rena, dan Cheryl, empat sekawan yang saling memerhatikan dan membantu dalam suka dan duka. Mereka rata-rata berasal dari keluarga yang sangat sederhana, namun taat dan patuh pada Tuhan. Orang tua Patrick bekerja sebagai buruh tani yang penghasilannya tidak menentu. Orang tua Nico bekerja sebagai buruh bangunan. Orang tua Rena bekerja sebagai guru di pelosok kampung yang jauh dari keramaian. Sementara, orang tua Cheryl bekerja sebagai buruh pabrik. Dalam kesederhaan itu, empat sekawan ini saling membantu dan mengasihi satu sama lain, seperti orang tua mereka yang juga saling mengasihi dan menyanyangi satu sama lain. Bahkan ketika mereka tidak cukup makan tiga kali sehari, mereka tetap bahagia. Bagi mereka kebahagiaan bukan karena memiliki banyak harta, tetapi memiliki kehidupan dan kasih sayang. “Kebahagiaan berasal dari dalam diri kita, bukan dari luar diri kita”, tegas Alex. “Bila kita ingin bahagia, kita harus merasa cukup dengan diri kita”, sambung Ronald. “Kita harus menjadi pribadi yang penuh syukur, bebas dari berkeinginan yang berada diluar kemampuan kita”, tutur Rena. “Kita bahagia dengan apa yang kita miliki, bukan dengan apa yang ingin kita miliki”, tegas Cheryl. Mereka hidup luar biasa. Fokus kehidupannya bukan pada apa yang ingin mereka miliki, tetapi pada apa yang mereka miliki. Menakjubkan. Luar biasa. Dimana pun mereka berada, mereka menikmati hidupnya dengan apa yang dimilikinya. Melihat kenyataan itu, banyak teman-temannya yang iri. Misalnya, ketika mereka di sebuah taman sambil bersenda gurau dengan tertawa-tertawa kecil bahagia, tiba-tiba datanglah seorang teman sekolahnya. “Eh..orang-orang miskin, ngapain lo di sini?”, ejeknya. “Kami sedang bersenda gurau. Mau ikutan?”, jawab mereka. “Tidak. Malu-maluin main sama orang-orang miskin, seperti kalian! Puek!”, ejeknya. “Ya… terserahlah. Kami hanya menawarkan saja. Memang kami miskin harta, tetapi kami kaya kasih sayang dan cinta”, ujar mereka. “Puek! Puek! Puek!”, ejeknya sambil pergi meninggalkan mereka. “Kasihan teman kita itu, ia kaya tapi hatinya tidak bahagia. Jahat”, tutur Alex. “Karena itu, kebahagiaan bukan ditentukan oleh harta benda yang kita miliki, tetapi oleh cinta dan kasih sayang yang kita berikan kepada sesama”, sambung Ronald dan Rena. “Iya betul, betul sekali. Kebahagiaan hidup hanya dapat kita raih dan rasakan ketika kita merasa cukup dan bahagia dengan apa yang kita miliki”, lanjut Cheryl. “Seperti kita ini, miskin harta, tapi kaya cinta dan kasih sayang”, puji Alex. “Inilah yang ditegaskan Yesus dalam khotbah-Nya di bukit (Mat 5: 3-12): ‘Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur. Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi. Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan. Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.’", tambah Ronald. Kebahagiaan hidup dapat diraih dalam cinta dan kasih sayang yang kita bagikan kepada orang lain. Kita bahagia ketika kita merasa cukup dengan apa yang kita miliki. Untuk itu, jadilah pribadi yang penuh syukur, penuh kasih, dan penuh dalam keberadaan kita, maka kita akan bahagia.

Minggu, 15 Januari 2012

Menemukan Anugerah-Nya

Setiap hari adalah anugerah. Setiap detik, menit, jam, hari, dan tahun semua adalah anugerah-Nya. Di tahun yang baru ini, kita perlu menemukan kembali anugerah-anugerah Allah yang telah terjadi dalam hidup kita. Mungkin kita mengalami kesulitan, karena kita terjebak pada pemikiran atau rasio kita yang selalu menegaskan kepada kita bahwa "apa yang kita capai atau peroleh semata-mata karena kehebatan kita." Kita cenderung mengabaikan "jamahan tangan-Nya" yang membimbing dan mengajari kita untuk mencapai atau memeroleh kesuksesan. Kita juga cenderung melupakan "bisikan hati-Nya" setiap saat kita memulai dan mengakhiri pekerjaan kita. Kita juga cenderung melupakan "sentuhan sabda-Nya" yang menguatkan dan meringankan langkah kaki kita untuk terus melangkah menuju cita-cita kita. Untuk itu, di tahun yang indah ini, mari kita menemukan lebih banyak lagi "keterlibatan-keterlibatan-Nya" dalam seluruh hidup kita. Sebab dengan menemukan keterlibatan-Nya, kita akan semakin menyadari bahwa hidup kita hanyalah "pena-Nya" yang digunakan untuk mewarnai dunia agar menjadi semakin baik, indah, dan menyenangkan...