Selasa, 24 Juli 2012

PENDIDIKAN (SEKOLAH) SEJATI

Pendidikan, apa pun bentuknya: formal, informal, home schooling, atau bentuk-bentuk alternatif lainnya, memiliki tujuan mulia, yaitu membantu peserta didik menemukan dan mengembangkan talenta (potensia) dirinya yang tersembunyi sehingga menjadi aktual (actus) dan bermanfaat bagi perkembangan dirinya dan masyarakatnya. Menurut Jean Piaget “fungsi terpenting pendidikan pada tingkat manapun adalah mengembangkan kepribadian individu dan arti hidupnya untuk dirinya sendiri dan bagi orang lain" (thinkexist.com, 12/5/10). Ki Hajar Dewantara, Bapak pendidikan Indonesia, menegaskan bahwa pendidikan harus mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya cipta, karsa dan karya secara seimbang, supaya peserta didik memeroleh kemerdekaan. “Karena pendidikan yang sejati harus meliputi pembentukan pribadi manusia seutuhnya…maka anak-anak …hendaknya dibina sedemikian rupa sehingga dapat mengembangkan bakat-bakat fisik, moral, dan intelektual mereka secara harmonis, agar mereka memperoleh citarasa tanggungjawab yang semakin sempurna dan dapat menggunakan kebebasan mereka dengan tepat, pun pula dapat berperan-serta dalam kehidupan sosial secara aktif” (Codex Iuris Canonici, Kanon 795). Pendidikan bukan semata-mata untuk menjadikan anak cerdas intelektualnya, tetapi cerdas secara holistik (intelekual, emosional, spiritual, moral). Dalam bahasa Gadner, anak-anak dapat mencapai kecerdasan jamak. Ia cerdas untuk menjalani hidup yang cerdas. Hidup yang penuh dengan nilai-nilai keutamaan. Sehingga anak-anak sekolah bukan hanya untuk belajar, tetapi untuk hidup (non scholae sed vitae discimus). Karena itu, bagi Peaget “tujuan dasar pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang mampu melakukan hal-hal baru, - bukan hanya mengulang-ulang apa yang telah dilakukan generasi lainnya – orang yang kreatif, inovatif dan penemu" (thinkexist.com, 12/5/10). Pendidikan merupakan suatu “proses menuju”, yaitu menuju pada kematangan (fisik, psikologis, moral, intelektual) peserta didik. Dalam proses menuju, peserta didik dipersiapkan dengan serangkaian kegiatan, bimbingan, arahan, tes (tertulis, tidak tertulis, proyek, presentasi, atau seminar) sehingga peserta didik dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan kurikulum. Peserta didik mampu menguasai serangkaian kompetensi dengan melakukannya (by doing). Proses menuju merupakan suatu proses aktif-kreatif dalam menuntun, mengarahkan, dan membentuk para siswa agar menjadi pribadi-pribadi yang mampu bertahan hidup di tengah-tengah arus zaman yang semakin cepat ini. Artinya, peserta didik dikelola, dibentuk, diajari, dan dibina agar mampu mencapai target-target yang telah disepakati (tujuan sekolah, tujuan pendidikan, dan harapan-harapan masyarakat). Peserta didik diajari dan dibekali kemampuan melakukan kebenaran, tanggung jawab moral (mampu membedakan yang tidak baik dan yang baik), keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan hidup bersama orang lain, dan kemampuan untuk mengambil peran dalam dinamik kehidupan sosial: sejauhmana peserta didik dapat ambil bagian dalam kerasnya persaingan hidup ini. Karenanya, pendidikan yang sejati “memproses” peserta didik agar mengalami perubahan: seberapa besar perubahan yang dihasilkan oleh siswa, sejak ia masuk (input) sampai keluar (output, outcome). Menjadi keliru bila kita menjustifikasi bahwa nilai UAN tinggi berarti sekolah atau siswa bermutu. Mutu tidak diperoleh hanya melalui ujian. Mutu diperoleh melalui serangkaian aktivitas yang diberikan, diarahkan, dan dikenakan kepada siswa selama dalam proses sekolah. Untuk itu, diperlukan sarana-prasarana sekolah yang cukup memadai dan lengkap, guru yang bermutu, dan akses informasi yang luas. Sarana-prasarana yang memadai dengan kualitas guru yang tinggi akan menghasilkan siswa yang berkualitas tinggi. Kualitas yang terpadu. Dalam hal ini, yang terpenting adalah terbangunnya sinergisasi antara sekolah, orang tua/masyarakat, dunia usaha (user). Semacam mata rantai, yang tidak dipisahkan satu sama lain. Dalam hal ini, pendidikan harus mampu menjawab keinginan (hopes) dan kebutuhan (needs) masyarakat. Peserta didik mampu mengaplikasikan (mengimplementasikan) ilmu yang diterimanya di sekolah. Mutu sekolah ditentukan oleh proses yang bermutu. Menurut Townsend dan Butterworth (1992:35) dalam bukunya Your Child’s School, ada sepuluh faktor penentu terwujudnya proses pendidikan yang bermutu, yakni: 1) keefektifan kepemimpinan kepala sekolah, 2) partisipasi dan rasa tanggung jawab guru dan staf, 3) proses belajar-mengajar yang efektif, 4) pengembangan staf yang terpogram, 5) kurikulum yang relevan, 6) memiliki visi dan misi yang jelas, 7) iklim sekolah yang kondusif, 8) penilaian diri terhadap kekuatan dan kelemahan, 9) komunikasi efektif baik internal maupun eksternal, dan 10) keterlibatan orang tua dan masyarakat secara instrinsik. Mari kita bangun pendidikan yang integral. Pendidikan yang meliputi seluruh proses kegiatan pembelajaran. Pendidikan yang memberdayakan peserta didik. “Bukankah pendidikan yang paling baik adalah pendidikan yang membahagiakan?”

Tidak ada komentar: