Selasa, 24 Juli 2012

PENTINGNYA SEKOLAH

Sekolah merupakan salah satu lembaga yang diakui sangat efektif dalam membina dan membentuk generasi muda menjadi pribadi-pribadi yang matang secara integral (holistik). Sekolah menjadi semacam “taman persemaian-pembentukan-pematangan” potensi-potensi manusia-manusia muda sehingga dapat memasuki dunianya dan berpartisipasi secara aktif-kreatif di dalamnya. Proses itu dilaksanakan melalui serangkaian proses belajar mengajar yang terencana dan terstruktur, sehingga terjadi proses interaksi dan interrelasi satu sama lain guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. “Sekolah merupakan bagaikan suatu pusat kegiatan maupun kemajuan, yang serentak harus melibatkan keluarga-keluarga, para guru, bermacam-macam perserikatan yang memajukan hidup berbudaya, kemasyarakatan dan keagamaan, masyarakat sipil dan segenap keluarga manusia” (Konsili Vatikan II, Gravissium Educationis, 1993, art. 5). Melalui sekolah, manusia-manusia muda “diproses menuju” pada pertumbuhan (improvement), pengembangan (development), dan pemberdayaan (empowerment). Menurut Reza M. Syarief (2007:149), sesuatu dikatakan mengalami pertumbuhan (improvement) bila secara perlahan ia menjadi dewasa (fisik, psikologis, spiritual), mampu bertanggung jawab untuk dirinya sendiri dan orang lain; pengembangan (development) berkaitan dengan kemampuan seseorang mengembangkan dirinya dan juga mengembangkan orang-orang lain. Ada proses duplikasi yang berhasil dan berdaya guna. Sementara, empowerment berfokus pada keunikan masing-masing subjek yang terlibat di dalam proses belajar itu. Dalam konteks ini, “Sekolah menumbuhkan kemampuan memberi penilaian yang cermat, memperkenalkan harta warisan budaya yang telah dihimpun generasi-generasi masa silam, meningkatkan kesadaran akan tata-nilai, menyiapkan siswa untuk mengelola kejuruan tertentu, memupuk rukun persahabatan antara para siswa yang beraneka watak-perangai maupun kondisi hidupnya, dan mengembangkan sikap saling memahami” (Konsili Vatikan II, Gravissium Educationis, 1993, art. 5). Sekolah “membiasakan” manusia-manusia muda membangun interaksi inter dan intrapersonal, yang saling meruangkan atau menyediakan pemberdayaan dan pembebasan kepada setiap individu untuk mengembangkan dirinya. Tersedia ruang transformation of attitudes, knowledges, dan behaviors, sehingga manusia-manusia muda bertumbuh-berkembang menjadi pribadi-pribadi yang kreatif, inovatif, dan pencipta. Karenanya, perlu ada regulasi-regulasi yang disepakati dan dipatuhi oleh semua pihak. Artinya, antara guru dan peserta didik memiliki komitmen yang sama atas keberlangsungan proses belajar yang menyenangkan (joyful learning) dan yang bermakna-bermanfaat (useful, meaningful). Komitmen-komitmen itu perlu dipatuhi oleh semua pihak. Tidak boleh ada diskriminasi. Karena dengan komitmen itu, semua pihak dapat mengembangkan kreativitasnya masing-masing dalam proses pembelajaran. Masing-masing individu mengembangkan kompetensi-kompetensi dirinya, yang menstimulus dirinya untuk semakin menjadi dewasa dan mandiri dalam sikap, ilmu, dan perilakunya. Guru menjadi inspirer, motivator, dan fasilitator. Juga guru menjadi seorang yang visioner, futuristik, dan problem solver. Sekolah Vs Guru Tinggi rendahnya kualitas pembelajaran di sekolah pertama-tama terletak pada kemampuan guru dalam mendesain dan melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Karena guru menjadi ujung tombak yang merencanakan bagaimana, dimana, kapan, dan untuk apa pembelajaran harus dilaksanakan. Untuk itu, sebelum melaksanakan pembelajaran, guru perlu menentukan atau menetapkan tujuan atau kompetensi yang harus dikuasai oleh setiap peserta didik. Setelah itu, guru menyampaikan tujuan atau kompetensi itu kepada para murid di awal pembelajaran supaya para murid mengetahui apa yang harus dicapainya pada suatu materi yang dipelajarinya. Tujuan atau kompetensi harus dirumuskan dengan bahasa yang jelas dan dapat diukur secara faktual. Misalnya “Peserta didik dapat menyebutkan contoh-contoh perbuatan baik di dalam keluarganya.” Dengan rumusan seperti ini, peserta didik perlu mengamati dan melakukan perbuatan-perbuatan baik di dalam keluarganya. Di samping itu, peserta didik juga memahami kriteria-kriteria: kapan suatu perbuatan dikatakan baik dan kapan tidak baik. Terjadi analisis kontekstual atas pengalaman dan perbuatan. Pembelajaran dapat dilangsungkan secara kreatif, inovatif, konstruktif, dan kontekstual. Peserta didik menjadi aktif, reflektif, dan transformatif. Peserta didik mengeksplor kemampuan-kemampuannya yang selama ini terpendam atau tersembunyi di bawah sadarnya. Inilah tugas guru, yakni mengeksplor potensi-potensi para murid supaya menjadi aktual. Interaksi guru dengan materi ajar juga perlu terus ditingkatkan intensitasnya guna memperkaya materi tersebut. Lebih dari itu, guru perlu membangun pola pembelajaran yang kontekstual, yang bersinggungan langsung dengan dunia hidup anak-anak. Sebab pembelajaran dan guru menjadi dua entitas yang menuju pada satu muara, yakni manusia-manusia muda yang lebih bermutu. Pertanyaannya adalah bagaimana mewujudkannya? Pertama, pengelola pendidikan (yayasan atau lembaga) perlu memberi kesempatan dan memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan minimal guru dalam mengembangkan kompetensinya, seperti mengikuti pelatihan-pelatihan, kursus-kursus atau mengikuti studi lanjut. Kedua, guru memiliki komitmen yang tinggi terhadap tugas-tugasnya sebagai guru. Ia adalah “penerang jalan” bagi manusia-manusia muda. Bukan sebagai “penghambat jalan”. Ketiga, para murid harus memiliki kedisiplinan tinggi terhadap aturan-aturan yang disepakati bersama dan siap menjalankan segala konsekuensi yang ditimbulkan oleh pelanggarannya. Keempat, para orang tua murid menempati posisinya sebagai partner guru dan pembimbing anak-anaknya. Para orang tua tidak berhak mengatur guru, tetapi memiliki hak memberi masukan kepada sekolah berkaitan dengan harapan-harapannya. Posisi orang tua tidak di atas guru, tetapi disebelah guru, yakni sebagai partner. Rekanan. Dan kelima, guru memiliki hak melakukan evaluasi hasil belajar terhadap para murid dan berhak memberi keputusan: apakah seorang murid sudah mencapai standar kompetensi atau belum. Kalau seorang murid belum mencapai standar kompetensinya, guru perlu mengadakan remedial dan pengayaan. Tentu dengan kesepakatan para murid. Profesionalisme Guru Tidak dapat dimungkiri bahwa pembelajaran yang bermutu tinggi perlu didukung oleh guru-guru yang professional dalam bidangnya masing-masing atau interdisipliner. Tetapi bahwa professional tentu pertama-tama tidak ukur dari seberapa portofolio yang berhasil dikumpulkan selama masa kerjanya, melainkan seberapa mampu dan cakap seorang guru melaksanakan tugas pembelajaran di dalam kelasnya. Maka menjadi ironis, ketika profesionalisme guru diukur berdasarkan portofolio yang diarsipnya. Bahkan orang-orang dinas sampai berkomentar: “Salah dia tidak mengumpulkan.” Dalam dinamika ini menjadi mendesak bagaimana setiap guru meningkatkan kualifikasinya masing-masing guna menjadikan kegiatan pembelajaran itu sungguh-sungguh bermakna dan berguna bagi setiap muridnya. Kualifikasi tentu dapat dilakukan dengan berbagai macam cara seperti rajin membaca, rajin mengikuti kelompok kerja guru (KKG), atau dengan melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Semakin sering kita menyegarkan ilmu kita, semakin bergairah kita melaksanakan tugas kita. Kebosanan atau rutinitas yang mandeg dapat diatasi. Kebuntuan analisis dapat dipecahkan. Profesionalisme dapat diraih ketika kita memiliki jalan dan kemauan untuk menjadikan diri kita professional. Guru yang professional mendesain dan melaksanakan pembelajaran secara professional juga.

Tidak ada komentar: