Jumat, 09 September 2011

KEBAHAGIAAN

Alex, Nico, Rena, dan Cheryl, empat sekawan yang saling memerhatikan dan membantu dalam suka dan duka. Mereka rata-rata berasal dari keluarga yang sangat sederhana, namun taat dan patuh pada Tuhan. Orang tua Patrick bekerja sebagai buruh tani yang penghasilannya tidak menentu. Orang tua Nico bekerja sebagai buruh bangunan. Orang tua Rena bekerja sebagai guru di pelosok kampung yang jauh dari keramaian. Sementara, orang tua Cheryl bekerja sebagai buruh pabrik.
Dalam kesederhaan itu, empat sekawan ini saling membantu dan mengasihi satu sama lain, seperti orang tua mereka yang juga saling mengasihi dan menyanyangi satu sama lain. Bahkan ketika mereka tidak cukup makan tiga kali sehari, mereka tetap bahagia. Bagi mereka kebahagiaan bukan karena memiliki banyak harta, tetapi memiliki kehidupan dan kasih sayang.
“Kebahagiaan berasal dari dalam diri kita, bukan dari luar diri kita”, tegas Patrick. “Bila kita ingin bahagia, kita harus merasa cukup dengan diri kita”, sambung Nico. “Kita harus menjadi pribadi yang penuh syukur, bebas dari berkeinginan yang berada diluar kemampuan kita”, tutur Rena. “Kita bahagia dengan apa yang kita miliki, bukan dengan apa yang ingin kita miliki”, tegas Cheryl.
Mereka hidup luar biasa. Fokus kehidupannya bukan pada apa yang ingin mereka miliki, tetapi pada apa yang mereka miliki. Menakjubkan. Luar biasa. Dimana pun mereka berada, mereka menikmati hidupnya dengan apa yang dimilikinya.
Melihat kenyataan itu, banyak teman-temannya yang iri. Misalnya, ketika mereka di sebuah taman sambil bersenda gurau dengan tertawa-tertawa kecil bahagia, tiba-tiba datanglah seorang teman sekolahnya. “Eh..orang-orang miskin, ngapain lo di sini?”, ejeknya. “Kami sedang bersenda gurau. Mau ikutan?”, jawab mereka. “Tidak. Malu-maluin main sama orang-orang miskin, seperti kalian! Puek!”, ejeknya. “Ya… terserahlah. Kami hanya menawarkan saja. Memang kami miskin harta, tetapi kami kaya kasih sayang dan cinta”, ujar mereka. “Puek! Puek! Puek!”, ejeknya sambil pergi meninggalkan mereka.
“Kasihan teman kita itu, ia kaya tapi hatinya tidak bahagia. Jahat”, tutur Patrick. “Karena itu, kebahagiaan bukan ditentukan oleh harta benda yang kita miliki, tetapi oleh cinta dan kasih sayang yang kita berikan kepada sesama”, sambung Nico dan Rena. “Iya betul, betul sekali. Kebahagiaan hidup hanya dapat kita raih dan rasakan ketika kita merasa cukup dan bahagia dengan apa yang kita miliki”, lanjut Cheryl. “Seperti kita ini, miskin harta, tapi kaya cinta dan kasih sayang”, puji Patrick. “Inilah yang ditegaskan Yesus dalam khotbah-Nya di bukit (Mat 5: 3-12): ‘Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur. Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi. Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan. Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.’", tambah Nico.

Kebahagiaan hidup dapat diraih dalam cinta dan kasih sayang yang kita bagikan kepada orang lain. Kita bahagia ketika kita merasa cukup dengan apa yang kita miliki. Untuk itu, jadilah pribadi yang penuh syukur, penuh kasih, dan penuh dalam keberadaan kita, maka kita akan bahagia.

BERDOA

Menjelang istirahat malam, Lukas memanggil kedua orang tuanya dan seorang kakaknya. “Pak, Bu, Kakak cepat ke sini”, teriak Lukas. Mereka kaget. “Jangan-jangan…”, pikir Ibunya. “Ah… ngelantur”, seru Bapaknya. Dengan perasaan agak cemas, mereka perlahan-lahan mendekati kamar Lukas. “Pelan-pelan…”, bisik sang Bapak.
Sesampai di pintu kamar Lukas, mereka diam dan dengan sangat hati-hati melongok ke dalam kamar. “Ada apa, Pak?”, tanya Ibunya. “Gak ada apa-apa. Lukas sedang membaca Kitab Suci. SSSttt…”, seru Bapaknya.
Melihat kejadian itu, mereka diam dan memutuskan untuk kembali lagi ke kamarnya masing-masing. “Ayo kita tidur lagi. Biarkan Lukas membaca Kitab Sucinya. Besok baru kita tanya-tanya dia”, ajak sang Bapak. “Ayooo…”, jawab sang ibu dan kakak.
Namun sebelum sampai di kamarnya masing-masing, Lukas berteriak lagi dengan suara lebih keras. “Pak, Bu, Kak….. cepat ke sini!!! Kalian ngapain sih koq gak sampai-sampai di kamarku? Cepetannnnnnnnnnn!!”, teriak Lukas. “Ya, ya, ya, Nak”, jawab ibunya.
Mereka segera bergegas menuju kamar Lukas. “Ada apa, Nak? Malam-malam koq teriak-teriak”, tanya ibunya. “Bapak, Ibu, sama Kakak cepet masuk ke kamarku!”, teriak Lukas.
Mereka segera masuk ke kamar Lukas. Lalu duduk dan siap mendengarkan apa yang mau disampaikan Lukas.

Bapak : “Ada apa Nak. Ceritalah pada kami.”

Ibu : “Ia, Nak. Malu kita mendengar teriakan malam-malam.”

Kakak : “Ia, ngapain sih teriak-teriak begitu?”

Lukas : “Bapak selalu bilang kalau kita berdoa jangan pendek-pendek. Sementara Yesus memberitahu para murid-Nya, berdoa itu jangan panjang-panjang. Ibu juga selalu bilang jangan lupa berdoa dimanapun kita berada. Sementara Yesus memberitahu para murid-Nya kalau berdoa masuk ke dalam kamar dan kuncilah kamar itu. Kakak juga selalu bilang sama aku, kalau berdoa jangan doa Bapa Kami terus, padahal Yesus mengajarkan kepada para murid-Nya kalau berdoa, berdoa Bapa Kami. Bagaimana itu?”

Bapak : “Ya. Bapak tahu. Tapi, Yesus juga tidak melarang kita berdoa lebih panjang dari doa Bapa Kami, kan? Yesus ingin kalau kita berdoa, berdoa dengan tulus dan rendah hati. Jangan dibuat-buat seperti orang munafik. Seperti orang-orang Farisi. Kalau dilihat orang rajin berdoa. Tetapi kalau tidak ada orang tidak pernah berdoa. Yesus juga menghendaki agar di saat kita berdoa, kita berdoa dengan penuh syukur, memuliakan Allah, dan mengakui bahwa kita adalah orang berdosa. Karena itu, kita perlu berdoa dengan penuh syukur, iman, dan penuh harapan untuk menerima pengampunan atas segala perilaku kita yang tidak baik.”

Lukas : “Tapi, Pak, Yesus juga sering berdoa sendirian. Kenapa Bapak selalu nyuruh aku berdoa bersama?”

Bapak : “Ya, semuanya baik. Doa pribadi baik. Doa bersama juga baik. Dalam doa pribadi kita berdialog dengan Tuhan secara pribadi dan lebih intensif. Dalam doa bersama kita membangun persekutuan dengan Tuhan dan sesama. Bersama dengan sesama kita memuji dan memuliakan Tuhan. Yesus juga melakukan hal sama, kan? Kadang Ia berdoa sendirian dan lain waktu Ia berdoa bersama para murid-Nya. Jadi semuanya baik.”

Lukas : “Oh… berarti kalau kita berdoa, kita tidak boleh marah, ya Pak?”

Bapak : “Marah sama siapa?”

Lukas : “Sama teman atau siapa saja yang menjadi musuh kita.”

Bapak : “Saat kita mau berdoa, hati kita mesti rela untuk mengampuni. Maka Tuhan memerintahkan kita untuk berdamai terlebih dahulu dengan sesama sebelum kita bersekutu dengan-Nya. Kalau tidak, kita menjadi orang munafik. Seperti yang ditegaskan oleh Yesus: barangsiapa mengaku mengasihi Allah, tetapi membenci sesamanya yang kelihatan, ia munafik.” Jadi dalam berdoa hati kita harus tertuju kepada Allah, penuh syukur, penuh pengampunan untuk memuliakan Allah.

Lukas : “Ya, ya….”

Dalam berdoa kita patut bersyukur, memuliakan Allah, dan menyampaikan dengan rendah hati pengharapan kita. Doa yang baik perlu diawali dengan hati yang tulus, rela mengampuni, dan menerima sesama sebagai saudara.

Pencobaan

Pak Jusuf, seorang tukang kayu yang hidupnya jujur dan baik. Sehari-sehari pekerjaannya adalah membuat kusen jendela dan kusen pintu. Ia juga menerima pesanan untuk memerbaiki lantai atau dinding rumah yang rusak. Juga ia sering dipanggil tetangga-tetangganya untuk mengecat rumahnya. Baginya apa pun pekerjaan, akan ia lakukan selagi ia bisa mengerjakannya. Ia menekuni pekerjaannya sejak ia menamatkan sekolah di STM.
Suatu hari, ketika ia sedang mengecat dinding rumah Pak Johan, ada seorang kaya memerhatikannya dengan seksama. Orang kaya itu berhenti dan turun dari mobilnya hanya untuk memerhatikan cara Pak Jusuf mengecat rumah. Orang kaya itu mengamatinya selama beberapa hari dan pada suatu hari ia akhirnya memerkenalkan diri kepada Pak Jusuf.

“Maaf, Pak. Kenalkan saya Pak Marthen”, sapa Pak Marthen.
“Saya Jusuf, Pak”, sahut pak Jusuf.

Setelah perkenalan itu, mereka ngobrol serius tentang pekerjaan, honor yang diterima Pak Jusuf, bila mengerjakan pekerjaan seperti itu (mengecat rumah).

Pak Marthen : “Pak Jusuf sudah berapa lama menekuni pekerjaan ini?”
Pak Jusuf : “Sudah hampir 26 tahun, Pak. Sejak saya tamat STM”
Pak Marthen : “Lho, kenapa Bapak tidak lanjut kuliah?”
Pak Jusuf : “Orang tua saya tidak memiliki biaya untuk kami sekolah. Kami semua tamat STM, Pak”
Pak Marthen : “Ya, ya, ya. Tapi kalau Bapak bekerja seperti ini, Bapak dibayar harian atau borongan?”
Pak Jusuf : “Tergantung Pak. Ada yang harian, ada yang borongan”
Pak Marthen : “Kalau harian, Bapak dibayar berapa? Kalau borongan, satu rumah begini berapa?”
Pak Jusuf : “Harian: perhari 75.000; Borongan: 4.000.000;”
Pak Marthen : “Oh… murah sekali… (sambil mengangguk-anggukkan kepalanya). Bagaimana kalau Bapak mengerjakan rumah saya? Untuk harian saya bayar Bapak 150.000 dan Borongan saya bayar 6.000.000. Bagaimana?”
Pak Jusuf : “Maaf, Pak. Saya belum bisa. Saya harus menyelesaikan pekerjaan ini.”
Pak Marthen : “Bagaimana kalau hariannya 200.000; dan borongan 6.500.000?”
Pak Jusuf : “Maaf, Pak. Saya belum bisa. Saya harus menyelesaikan pekerjaan ini.”

Meskipun Pak Jusuf sudah memberikan jawaban tidak, namun Pak Marthen tetap mengejarnya dan mengejarnya agar Pak Jusuf mau meninggalkan pekerjaannya dan segera mengerjakan rumahnya. Pak Marthen memberikan honor yang fantastik untuk menarik Pak Jusuf.

Pak Marthen : “Ayolah Pak. Bapak minta berapa? 250.000/ hari? Silahkan. Yang penting rumah saya segera selesai. Soalnya tukang-tukang lain, pekerjaannya kurang bagus.”
Pak Jusuf : “Maaf, Pak. Untuk ketiga kalinya saya harus mengatakan tidak. Saya harus menyelesaikan pekerjaan ini. Saya bertanggung jawab atas apa yang saya setujui dengan Pak Johan. Perjanjian harus ditepati kan, Pak? Meskipun upahnya lebih rendah, tapi tanggung jawab harus dilaksanakan dengan baik.
Pak Marthen, dalam hidup saya juga selalu ingat sabda Guru Agung saya: ‘Kita hidup bukan hanya dari roti saja, tetapi dari setiap Firman yang keluar dari mulut Allah.’
Meskipun Bapak membayar saya mahal, tetapi saya tidak bisa membohongi kesepakatan saya. Saya ingat apa yang dialami oleh Guru Agung saya waktu Ia ditawari berbagai macam kemegahan, kekuasaan, dan harta, Ia tetap setia pada pilihan-Nya. Bahkan Ia dengan keras menegur pembujuk-Nya: ‘Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbhakti!’ Jadi, Pak Marthen, saya mohon maaf, dan mudah-mudahan saya bisa belajar setia dengan hidup saya, seperti Guru Agung saya itu.”
Pak Marthen : ?????????????

Kesetian pada pilihan/panggilan hidup dan dibarengi oleh kekuatan iman akan memampukan kita mengatasi berbagai macam cobaan hidup yang hadir menyapa kita. Dalam kesetian dan kekuatan iman kita dapat menemukan indahnya kehidupan karena Allah memampukannya.