Minggu, 03 Juni 2012

PONDASI HIDUP BERKELUARGA

Layaknya membangun sebuah rumah, kita membutuhkan perencanaan yang matang, pelaksanaan yang baik, dan perawatan yang kontinu. Rumah yang dibangun tanpa perencanaan, pelaksanaan, dan perawatan yang baik akan segera rusak. Demikianlah hidup berkeluarga membutuhkan perencanaan yang sungguh-sungguh matang (fisik, psikologis), pelaksanaan komitmen yang kuat, dan perawatan komitmen yang kontinu. Komitmen bukan hanya perlu dirawat, tetapi juga perlu terus menerus disegarkan dan dimaknai dalam seluruh aktivitas kehidupan kita. Pemaknaan akan komitmen mengawal dan mengarahkan kita pada tujuan hidup berkeluarga, yaitu kebersamaan seluruh hidup, kebahagiaan suami istri sebagai pasangan, kelahiran dan pendidikan anak. Hidup berkeluarga menjadi suatu panggilan Allah untuk ambil bagian dalam karya penciptaan-Nya dan sekaligus pilihan bebas dari setiap pribadi. Pilihan Hidup berkeluarga merupakan pilihan bagi setiap orang yang hendak ambil bagian dalam panggilan Allah “beranakcuculah dan bertambah banyak....” (Kej 2: 28). Sebagai pilihan, hidup berkeluarga tentu merupakan bentuk pengabdian kepada Allah yang telah terlebih dahulu mengasihi dan mencintai manusia. Pilihan untuk mengabdi Allah melalui hidup berkeluarga merupakan panggilan khas bagi setiap pasangan suami-istri. Mereka dipanggil untuk meneruskan karya besar Allah, yaitu “melanjutkan karya penciptaan-Nya” yang bermartabat dan bermanfaat bagi kehidupan yang lain supaya “semua baik adanya.” Oleh karena itu, agar pilihan kita menjadi berkat dan anugerah bagi diri kita dan orang lain, kita perlu membangun dan menjalani pilihan itu dengan pondasi yang kuat, dikehendaki, tahan terhadap berbagai macam gelombang, riak, badai kehidupan, dan diberkati oleh Allah. Sehingga pilihan kita mencerminkan cara Allah meneruskan ciptaan-Nya. Pondasi Pondasi adalah dasar yang kuat yang menopang seluruh bangunan yang ada di atasnya. Tuhan Yesus memilih Petrus sebagai pondasi bagi Gereja-Nya karena Petrus dianggap mampu berdiri kokoh di tengah-tengah gelombang dan badai yang mengancam Kerajaan Allah. Ketika ia ditanya berulang kali: “Petrus apakah engkau mencintai Aku?” Petrus menjawab: “Ya, Tuhan, aku mencintai Engkau.” Lalu Yesus berkata: “... Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya” (Matius 16:18). Berikut beberapa pondasi dalam menjalankan kehidupan berkeluarga agar tetap utuh. 1. Visi-misi Membangun keluarga perlu dilandasi oleh visi dan misi yang fokus pada tujuan yang mau dicapai bersama antara suami dan istri. Visi dan misi harus jelas dan dibuat serta dijalankan secara bersama-sama. Visi dan misi harus mengakomodasi keberagaman suami dan istri. Banyak keluarga hancur hanya karena perbedaan visi dan misi dalam menjalankan biduk rumah tangganya. 2. Kejujuran Kejujuran terhadap diri sendiri dan terhadap pasangan merupakan nilai yang tidak dapat dibandingkan dengan apapun juga. Karena dalam kejujuran kita menemukan keutuhan diri kita sendiri dan keutuhan pasangan kita. Dalam kejujuran, kita belajar memberikan diri secara utuh kepada pasangan dan sekaligus belajar menerima pasangan apa adanya. “Pasanganku adalah yang terbaik bagi hidupku.” 3. Iman Iman mendasari semua tindakan kita. St. Yakobus menegaskan: “iman menjadi sempurna dalam perbuatan-perbuatan kita...” Dengan iman yang kuat kita dapat menghargai karya Allah yang terjadi atau terlaksana dalam diri pasangan kita. “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr 11:1). Iman yang sama akan memermudah komunikasi kita dengan pasangan. Juga memermudah kita merencanakan kegiatan-kegiatan menjelang hari-hari special. Iman dapat memererat ikatan cinta kasih antarpasangan, memerdalam penghayatan iman keluarga. Bahwa kasih yang ada di antara mereka berasal dari kasih Allah sendiri. 4. Komitmen Komitmen adalah perjanjian antara suami-istri untuk melakukan sesuatu. Komitmen menjadi kesepakatan bersama antara suami dan istri yang dibangun atas dasar mau, sadar, dan penuh tanggung jawab. Dalam komitmen terkandung tanggung jawab yang tidak dapat dilanggar. Pelanggaran terhadap komitmen berarti mencederai keindahan perkawinan. “Peliharalah komitmen dengan penuh kesadaran seperti saat kita membuatnya.” 5. Growth (psbrahmana.blogspot.com) G--> Go to God in daily prayer - Menghadap kepada Allah dalam doa setiap hari (Yohanes 15:7) R--> Read God's Word daily - Membaca Firman Allah setiap hari (Kis. 7:11). O--> Obey God moment by moment - Mentaati Allah setiap saat (Yohanes 15:8). W--> Witness for Christ by our life and words - Memberi kesaksian tentang Kristus lewat kehidupan serta ucapan kita (Matius 4:19; Yohanes 15:6). T --> Trust God every detail of our life - Mempercayakan setiap detail kehidupan kita kepada Allah (1 Petrus 5:7). H --> Holy Spirit: Allow him to control and empower our daily life and witness -Membiarkan Roh Kudus mengendalikan serta memberdayakan kehidupan serta kesaksian kita sehari-hari (Galatia 5:16,17: Kis. 1:8) 6. Pengampunan Kemampuan dan kesediaan untuk mengampuni (memaafkan) adalah kunci dari kebahagiaan pasangan. Setiap pasangan (suami-istri) dapat saling memaafkan kesalahan tanpa rasa dendam (fair). Dalam suasana pengampunan itu, suami-istri mampu bersikap adil satu sama lain, sehingga dapat mencegah konflik biasa menjadi luar biasa. Karena itu, belajarlah untuk mengampuni (memaafkan) kesalahan pasangan; belajarlah untuk memahami bahwa setiap peristiwa hidup menggoreskan makna/nilai untuk hidup. “TUHAN itu berpanjangan sabar dan kasih setia-Nya berlimpah-limpah, Ia mengampuni kesalahan dan pelanggaran…” (Bil 14:18). “... baik dan suka mengampuni dan berlimpah kasih setia bagi semua orang yang berseru kepada-Mu.” (Mzm 86:5). 7. Melupakan Mengampuni (memaafkan) ada kaitannya dengan melupakan. Kita tidak bisa melupakan kesalahan seseorang jika kita tidak bisa mengampuni kesalahan-kesalahan tersebut atau bahkan mengungkitnya. Kita harus menyadari bahwa semua orang mempunyai masa lalunya sendiri dan jika pasangan mengungkitnya, ini hanya akan menimbulkan konflik yang tak berkesudahan sehingga bisa terjadi dendam yang membuat hati keras. Jadi, kemampuan untuk mengampuni berarti pula kemampuan untuk “melupakan.” Mengampuni → melupakan → memberi → menerima → membahagiakan → merayakan. Rayakanlah kehidupan perkawinan anda dengan sikap rendah hati: saling mengampuni dan menerima satu sama lain dalam berbagai kekurangannya. 8. Sabar Sabar berarti tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati). Sabar juga berarti tabah, tenang, tidak tergesa-gesa. Menjadi seorang yang sabar memang bukan hal yang mudah namun ini bisa menjadi kekuatan dahsyat untuk mencapai kehidupan yang sehat lahir dan batin. Sikap sabar memampukan kita menjadi lebih pasrah kepada kehendak Allah dan mendekatkan diri kepada Allah. Kita percaya bahwa Allah akan mengerjakan yang terbaik bagi hidup kita. Kita jadi bisa memberdayakan mekanisme hidup kita untuk menghadapi saat saat sulit dalam hidup. “... orang yang sabar memadamkan perbantahan.” (Ams 15:18). “Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota.” (Ams 16:32). “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.” (Ef 4:2) 9. Fleksibel Fleksibel berarti luwes, dinamis, lentur. Orang yang fleksibel adalah orang dapat menyesuaikan diri di dalam situasi yang dihadapi atau dimasuki. Ia ibarat air yang dapat membentuk dirinya sesuai dengan tempatnya. Dalam hidup berkeluarga, sikap dan perilaku fleksibel perlu terus diupayakan. Artinya setiap pasangan perlu memahami dan mengerti bahwa pasangannya tidak sama seperti yang dipikirkannya. Banyak pernikahan tidak bahagia karena pasangan tidak bisa mengembangkan sikap fleksibel dan lentur. Kita jangan berharap pasangan kita dapat mengubah sikap atau perilakunya dalam waktu singkat kecuali jika ada kesadaran bahwa sikap atau perilakunya ada yang salah dan harus diubah. Jangan pula berharap pasangan mampu berperilaku sama persis dengan diri kita, karena setiap manusia punya kepribadian khas. Tetapi alangkah baiknya kita saling menghormati asalkan sikap atau prinsip kita tidak bertentangan dengan tujuan pernikahan/keluarga. 10. Persahabatan Persahabatan dalam hidup berkeluarga sangat penting. Karena melalui persahabatan kita saling menghormati, menghargai, menerima dan menyanyangi, meski kita juga memiliki perbedaan. Dalam persahabatan, suami-istri mengembangkan sikap dan perilaku yang menguntungkan keluarganya. Bukan yang menguntungkan dirinya dan merugikan keluarganya. Sikap dan perilaku pasangan mengutamakan kebahagiaan keluarga, sehingga mereka mampu menghadapi tekanan dari luar. Persahabatan ini diarahkan untuk kebahagiaan pasangan, anak, dan anggota keluarga yang lain. 11. Bersenang-senang Kehidupan berkeluarga perlu dirayakan dengan fun. Pasangan perlu meluangkan waktu berdua untuk menikmati keindahan sebagai pasangan. Mungkin dengan pergi berlibur ke pantai atau ke tempat-tempat romantis lainnya. Karena hal itu makin menguatkan ikatan tali kasih keduanya. Banyak orang yang mengalami kekosongan dalam pernikahan karena mereka tidak bisa meluangkan waktu berdua karena kesibukannya. Oleh karena itu, utamakanlah kebahagiaan keluarga dengan meluangkan waktu setiap anda bisa untuk berduaan dengan pasangan anda. Ekspresikan apapun perasaan dan perilaku cinta anda pada pasangan. Jangan malu-malu. Sebab “dunia adalah milik anda berdua.” 12. Setia Setia adalah pondasi yang tidak bisa di tawar dalam pernikahan. Kesetiaan adalah kunci dari indahnya hidup pernikahan. Karena itu, masing-masing pasangan harus bisa menjaga kepercayaan masing-masing pihak, menjaga diri mereka agar tidak terbawa, memulai atau apapun perselingkuhan yang ditawarkan dunia. Mengingkari kesetiaan berarti berdosa terhadap diri sendiri, pasangan, dan terutama terhadap Allah yang telah memberkati kesetiaan anda. Disamping itu, akibat paling buruk dari pengingkaran kesetiaan adalah pernikahan lama-lama menjadi rapuh. Kebahagiaan mungkin hanya tinggal mimpi. “Jadilah setia dengan kesetiaan anda sebagai pasangan.” 13. Adil Adil berarti memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Bertindak adil berarti memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya berdasarkan semangat belas kasih Allah. Karena itu, ketika rasa marah atau rasa tidak suka menimbulkan rasa ketidakadilan, maka ingatlah firman Allah bahwa " janganlah bersikap tidak adil dalam keadaan apapun" “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?" (Mikha 6:8). 14. Keuangan Keuangan kelihatannya sepele padahal bisa merusak dan memengaruhi kebahagiaan pernikahan. Solusinya komunikasikan masalah keuangan. Gunakan perencanaan keuangan yang matang: apakah pengelolaannnya diserahkan pada satu pihak atau kedua belah pihak memegang sendiri-sendiri. Aturlah sedemikian rupa supaya antarpasangan nyaman. Jadi bijaklah dalam mengaturnya. Suami-istri sebaiknya bersikap seperti yang dikatakan St. Paulus: “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau" (Ibrani 13:5). 15. Kekeluargaan Membangun sebuah keluarga yang dilandasi oleh iman, pengharapan, dan cinta kasih yang tulus tidak mudah. Banyak tantangan yang harus dihadapi, baik dari dalam diri sendiri (kemampuan untuk menerima kekurangan pasangan) maupun dari luar diri (tawaran dunia yang selalu tampak lebih baik). Apalagi jika keduanya tidak dibekali pengetahuan yang cukup tentang tujuan dibangunnya keluarga, bagaimana menerima dan menghormati pasangan, atau bagaimana menjadi orangtua yang efektif. Oleh karena itu, perbanyaklah mencari pengetahuan, tanyalah pada ahli atau orang yang anda teladani. Berusahalah berdiskusi tentang apa yang akan dilakukan, keluaga adalah prioritas utama sehingga jika terjadi konflik carilah waktu untuk menyelesaikannya. 16. Kebebasan Pernikahan terjadi harus didasari oleh sikap bebas dari kedua belah pihak. Masing-masing bebas untuk memilih dan menentukan pasangannya atas dasar cinta kasih yang total dan yang tidak dapat ditarik kembali. Artinya kedua belah pihak memberikan 100% cintanya hanya kepada pasangannya. Karena itu, kebebasan pernikahan adalah kemitraan bukan perbudakan. Masing-masing pasangan saling melengkapi satu sama lain (komplementer), saling memperhatikan kebutuhan suami istri agar tahu batasan mana yang harus atau tidak boleh dilakukan. Juga penghormatan terhadap kreatifitas atau apapun kesukaan, prinsip dll dari masing-masing, sehingga keluarga bisa berjalan bersama tanpa harus terkekang. Dalam hal ini baik diperhatikan nasihat St. Paulus: “Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang” (1 Kor 9:19). “Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain” (Rom 7:3). “Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya” (1 Kor 7:39). 17. Jangan Malu Setiap pasangan perlu dan harus mengungkapkan perasaan atau keinginannya terhadap pasangan. Jangan malu menunjukkan cinta, bujuk rayu, atau romantisme-gairah pada pasangan. Hal ini penting, karena pasangan kita tidak selalu mengetahui apa yang sedang bergejolak di dalam hati kita. Sama seperti saat anda pacaran. Inilah cara untuk melanggengkan pernikahan. 18. Terus Terang Munkin anda masih ingat dengan lagu lawas yang syairnya berbunyi: “Terus terang saja, kamu katakan…” Syair lagu ini kira-kira menuntut kejujuran dan keterbukaan bagi setiap pasangan. Berterus terang, sikap jujur-terbuka sangat penting dalam suatu hubungan, agar pasangan merasa aman dan bebas mengatakan apapun, tentu saja dengan memperhatikan perasaan masing-masing. “Berterus teranglah, maka anda akan bahagia.” 19. Fasilitator Yesus bersabda: “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Mat 6:33). Komitmen terhadap Allah ini menjadikan seseorang memiliki kemampuan memfasilitasi peningkatan keimanan pasangan. Pasangan saling memfasilitasi dalam mengembangkan dirinya dan meningkatkan relasinya dengan Allah. “Allah menjadi kepala keluarga, sementara suami-istri menjadi wakil-Nya.” 20. Saling Memuji Pujian merupakan salah satu cara untuk menghangatkan hubungan. Saling memuji merupakan cara termurah untuk menenangkan suami istri. Bukankah setiap orang senang dipuji? 21. Kepuasan Merasa puas dengan pasangan merupakan pengalaman yang sangat berharga, jatuh cinta berarti saling memberi dan menerima dan tidak bersikap egois. 22. Berbuat Salah Semua manusia bisa melakukan kesalahan jangan berharap lebih, seringkali harapan kita lebih tinggi dari kenyataan. Selalu ingat bahwa yang sempurna adalah Allah. Manusia adalah mahluk yang tidak sempurna, pahami kemudian maafkanlah. 23. Fondness Banyak pernikahan gagal hanya karena pasangan tidak bisa melihat pasangannya sebagai pribadi yang unik dan istimewa. Oleh karena itu, jika ingin menciptakan suasana itu sediakanlah waktu untuk membangun kasih sayang diantara anda. 24. Masa depan Pasangan suami istri yang pandai akan membuat perencanaan masa depan bersama-sama. Cara ini sangat baik karena kini mereka bukan satu individu lagi melainkan berdua. Rencana satu individu akan berkaitan dengan yang lain pula. Jadi apapun itu ketika menyangkut hubungan berdua komunikasikanlah. 25. Perasaan (Feeling) Setiap pasangan perlu dan harus memperhatikan perasaan masing masing pasangan sehingga segala rasa, kata, dan laku dapat diatur agar tidak menyakiti hati satu sama lain. Pahami bahwa setiap orang mempunyai kepribadian yang berbeda. Sesuaikanlah apa yang ingin dikata, dilakukan dengan cara yang baik agar idak terjadi kesalahpahaman.

Tidak ada komentar: