Sabtu, 24 Januari 2009

Cinta yang Sejati dalam Perkawinan

Perkawinan merupakan salah satu bentuk sosialisasi manusia yang paling intim (closer socialization), yang dibangun oleh seorang pria dan seorang wanita dalam ikatan cinta kasih yang tulus. Ketulusan terpancar pada kesediaan untuk saling menerima satu sama lain secara terbuka dan bebas, tanpa paksaan atau ancaman dari siapa pun juga. Ketulusan juga terpancar pada kesediaan untuk saling memberi satu sama lain tanpa pamrih, bahwa pasangannya adalah “anugerah yang terindah dalam hidupnya”, anugerah yang tak tergantikan dan tak tertandingi oleh siapa pun dan apa pun juga. Pasangannya adalah unik dan khas. Pasangannya adalah seorang yang utuh, yakni seorang pribadi yang diciptakan dan dicintai oleh Allah tanpa syarat.
Kesediaan untuk saling menerima dan memberi secara tulus, bebas, dan bertanggung jawab merupakan suatu keharusan dalam kehidupan perkawinan. Perkawinan perlu dibangun dan ditata untuk kesejahteraan suami-istri, anak-anak, dan keluarga lainnya. Perkawinan perlu menjadi media persatuan, pendewasaan, pengembangan, pembentukan, dan penghormatan terhadap karakteristik setiap pribadi yang ada di dalamnya. Setiap pribadi adalah “serupa dan segambar dengan Allah.” Setiap pribadi adalah refresentatif Allah bagi yang lain. Setiap pribadi tidak tergantikan. Setiap pribadi adalah sama dan sejajar-sepadan.
Dalam kesederajatan itu, setiap pasangan perlu membangun kerjasama partisipatif, komunikasi yang terbuka, kejujuran, ketulusan, dan penghargaan satu sama lain sampai akhir hayat. Seperti Bunda Teresa yang setia sampai mati mencintai dan hidup bersama orang-orang yang menderita, terbuang, dan tersingkirkan di Kalkuta. Cinta yang sejati dibangun dan dihayati dengan memberikan diri seutuhnya pada kebahagiaan dan kesejahteraan orang yang dicintai.
Kemampuan untuk membangun hidup perkawinan seperti itu tentu membutuhkan kematangan dari masing-masing pasangan. Setiap pasangan perlu matang secara emosional, biologis, psikis, pola pikir, cinta, dan tentu saja juga matang secara religius (iman). Kematangan dalam aspek-aspek ini akan menjadi pondasi yang kokoh dalam bangunan perkawinan. Setiap pasangan dapat merencanakan dan membangun keluarga dengan mendasarkan diri pada kemampuan diri yang real. Dalam kesadaran itu, cinta diri dan egoisme perlu dijauhkan. Cinta suci dan tanpa syarat perlu dikedepankan. Seperti Yesus, yang memberikan seluruh diri-Nya demi kebahagiaan dan keselamatan orang yang dicintai.
Cinta Yesus yang tanpa syarat adalah cinta yang tanpa pamrih, yang mengorbankan diri-Nya di salib demi keselamatan dan kebahagiaan orang yang dicintai-Nya. Cinta Yesus adalah cinta yang memberikan kebebasan, kebahagiaan, ketentraman, dan keselamatan bagi orang yang dicintai. Yesus mencintai setiap orang seperti apa adanya dirinya. Kaya, miskin, jelek, cantik, ganteng, muda, tua semua dicintai tanpa syarat dan tanpa pamrih. Inilah cinta sejati, yaitu cinta yang memberikan dan mengorbankan diri seutuhnya demi kebahagiaan dan keselamatan orang yang dicintai sampai akhir hayat. Cinta tidak menuntut, tetapi memberi. Cinta tidak menguasai, tetapi membebaskan dan saling berbagi. Cinta tidak memiliki, tetapi menerima sebagai anugerah.

“Jadilah pelaku dan pelaksana cinta yang sejati, tanpa syarat dalam hidup anda, seperti Yesus, yang anda imani sebagai Juru selamat anda.”

Tidak ada komentar: