Senin, 26 Januari 2009

NATAL: Kebersahajaan dan Ketulusan

Natal (natalis, natalitas) berarti kelahiran. Kelahiran terjadi karena adanya proses atau rencana yang disiapkan, diharapkan, dan didambakan. Kelahiran berarti hadirnya yang (makhluk) baru di tengah-tengah keluarga, masyarakat, maupun bangsa. Kelahiran menyiratkan adanya kehidupan, kebahagiaan, kedamaian, dan sukacita yang besar. Dalam suasana damai, bahagia, dan sukacita itu, kehidupan dirayakan dengan penuh makna dan nilai.
Demikian juga kelahiran Yesus, yang diperingati setiap tanggal 25 Desember, . telah dipersiapkan oleh Allah, diwartakan oleh para nabi, dan dinanti-nantikan oleh bani Israel sebagai Mesias (Kristus). Mesias berarti ”yang diurapi oleh Allah.” Kelahiran-Nya dipersiapkan melalui: pertama, mengutus para nabi untuk mewartakan bahwa akan datang seorang Mesias dari keturunan Daud dan kerajaan-Nya tidak akan pernah berakhir. Ia akan menebus, menyelamatkan, dan membaptis dengan Roh Kudus. Kedua, Allah memilih seorang Perawan Nazareth, Maria, yang hidup sederhana, suci, tulus, bersahaja, dan percaya total kepada Allah untuk mengandung Yesus. Ketiga, Allah mengutus Malaikat Gabriel untuk menyampaikan kehendak-Nya kepada Maria bahwa ia akan mengandung dari Roh Kudus. Dan anak itu akan disebut kudus, Putra Allah yang mahatinggi (Luk 2: 26-38). Keempat, Allah mengutus Malaikat kepada Yusuf untuk mengambil Maria sebagai istrinya. Malaikat menyakinkan Yusuf bahwa anak yang di dalam rahim Maria adalah dari Roh Kudus. Kelima, Yusuf mengambil Maria sebagai istrinya. Mereka kemudian mengikuti sensus penduduk. Dalam perjalanan sensus itu, Maria melahirkan Yesus di sebuah kandang domba yang hina, ”kotor”, dan jauh dari kemewahan kota.
Kelahiran-Nya di kandang yang hina di Betlehem memancarkan pesan kedamaian, kesederhanaan, kebersahajaan, ketulusan, dan kehidupan rohani yang tulus, yang jauh dari kemewahan, jauh dari hingar-bingar keduniawian. Ia tidak datang dari dan ke dunia yang penuh kemewahan. Ia datang untuk masuk, hidup, terlibat, dan tinggal bersama yang miskin, menderita, disingkirkan, dan yang diperlakukan tidak adil. Seperti ditegaskan-Nya: "Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang" (Luk 4:18-19)

Makna Natal
Natal bukan sekadar nyanyian, pakaian baru, dan tarian. Juga bukan hanya pesta dan makan minum. Makna Natal jauh lebih dalam dari semua itu. Pertama, Allah berinisiatif membuka diri untuk menjalin dan memulihkan kembali hubungan manusia yang retak, bahkan terpisah dari diri-Nya akibat dosa. Allah berkenan menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada manusia agar manusia tidak binasa.
Kedua, Allah berkenan merendahkan diri dan turun-masuk ke dalam dunia (manusia) yang penuh dosa, kejahatan, dan kemunafikan. Allah ingin terlibat dalam seluruh hidup manusia dan merasakan suka duka hidup manusia: lapar, haus, menderita, sakit, “kotor”, dan gelap. Dengan keterlibatan dan kebersamaan-Nya itu, Ia membersihkan, menyucikan, dan membebaskan-menyelamatkan manusia dari kegelapan dosa. Seperti ”terang yang mengusir kegelapan malam.” Inilah solidaritas Allah kepada manusia. “Yesus lahir untuk semua dan di dalam semua.”
Ketiga, Allah hendak mengangkat manusia menjadi putra-putri-Nya yang terkasih, yang bersama-Nya menerangi dunia dengan cinta kasih, kedamaian, sukacita, kesederhanaan, kesetiaan, kebersahajaan, pengosongan dan pengorbanan diri. Ia mau mengangkat harkat manusia yang diinjak-injak oleh orang-orang yang angkuh. Ia mau menjadikan manusia-yang paling hina, kotor-sebagai sahabat-Nya. “Apa saja yang kamu lakukan untuk salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, itu kaulakukan untuk Aku.”
Keempat, Allah menghendaki kita untuk menjadi sederhana, tulus, bersahaja, dan memiliki kehidupan rohani yang tulus di tengah-tengah kehidupan dunia yang semakin materialistis-hedonistis dewasa ini. Artinya kita hidup bukan sekadar hura-hura, bukan perselisihan, bukan pertengkaran, bukan kebencian, dan bukan pula saling bunuh. Tetapi, hidup ini adalah kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama.
Kelima, kemuliaan hidup dapat diraih melalui hidup sederhana, tulus, dan bersahaja. Hidup sederhana dihadapan Allah tidak berarti tidak punya apa-apa, tetapi lebih pada keterbukaan kita pada kekuatan Allah. Kita memberikan diri ditarik dan dikuasai Allah. Dengan hidup seperti ini, kita bersama Maria berujar: ”Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut parkataanmu itu” (Luk 1: 38). Kita saling menghadirkan wajah Allah kepada yang lain.

Tantangan Bagi kita
Bagaimana dengan kita? Beranikah kita hidup sederhana dan bersahaja? Mampukah kita menghadirkan wajah Allah yang ramah dan penuh cinta kasih kepada sesama kita? Beranikah kita merendahkan diri untuk membantu saudara-saudari kita yang terpinggirkan, terbuang, dan disingkirkan? Beranikah kita menyuarakan kebenaran dan keadilan untuk semua?
Akhir-akhir ini, keberadaan kita sebagai pribadi yang luhur, tampaknya menemui titik rendah. Demi kekuasaan, demi uang, demi prestise, demi keindahan kota, hak hidup seseorang dapat kita rampas dengan kejamnya. Kita menjadi serakah, egois, dan cenderung beorientasi pada “yang penting aku hidup, berkuasa, kaya, peduli amat orang lain.” Hedonisme, materialisme, dan darwinisme menguasai hidup kita. Akibatnya, kematian prematur selalu menunggu di depan mata. Dan korbannya adalah yang lemah, yang terbuang, dan yang terpinggirkan.
Kehadiran Allah tentu tidak dapat dibatasi atau dibentengi oleh sekat-sekat pemisah seperti status sosial, ekonomi, atau agama. Allah hadir dalam diri setiap orang, tanpa terkecuali – kaya-miskin, besar-kecil, kuat-lemah. Kehadiran-Nya memancarkan kesederhanaan, ketulusan, kejujuran, dan kasih bagi semua orang. ''Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri, dan kasihilah Tuhan Allahmu dengan sepenuh hatimu dan sepenuh akal budimu.'' Mengasihi Tuhan, berarti juga harus mengasihi sesama kita. “Bagaimana kita dapat berkata bahwa kita mencintai Allah yang tidak kelihatan, sementara saudara yang kelihatan kita benci atau bahkan kita siksa!” Kalau ini yang terjadi berarti kita munafik.
Allah tidak mencintai kekerasan. Allah tidak mencintai pembunuhan, penganiayaan. Allah tidak menuntut kita untuk menguasai orang lain dengan dalih uang, suku, agama, ras, atau golongan. Allah menuntut kita untuk mencintai Diri-Nya dan semua ciptaan-Nya, tanpa terkecuali.
Oleh karena itu, alangkah indah bila pada peringatan Natal kali ini, kita menghadirkan, menghidupkan, dan mengobarkan kembali kasih Allah kepada umat manusia. Kasih Allah yang memancarkan kesederhanaan, kesetiaan, ketulusan, kebersahajaan, dan keindahan. Kasih Allah yang menerima, menghargai, mencintai, dan menghormati setiap orang apa adanya. Seperti Yesus lahir di tempat apa adanya.
Mari kita menjadikan diri kita penuh kasih, sederhana, tulus, setia, dan bersahaja bagi setiap orang, kapan dan dimana saja. Bukan manusia penuh kebencian, keangkaramurkaan, dan keserakahan. Mampukah kita?
Selamat Natal dan Tahun Baru, semoga kelahiran Yesus menghadirkan cinta kasih tanpa syarat kepada semua ciptaan-Nya.

Tidak ada komentar: