Senin, 26 Januari 2009

Pendidikan Pembebasan

Refleksi kritis atas kiprah sekolah (pendidikan) dalam membina manusia-manusia muda, melahirkan berbagai macam metode dan teori pembelajaran yang pada masanya menjadi sangat penting dan diyakini cukup efektif mengembangkan kemampuan dasar siswa. Masing-masing metoda dan teori memiliki kelemahan dan keuntungannya. Meskipun demikian, semuanya mengacu pada tujuan yang sama, yakni siswa berhasil mengembangkan potensi diri dan menyelesaikan pendidikannya pada setiap jenjang yang diikutinya.
Improvisasi pada praktik di lapangan ditentukan oleh sumber daya manusia (SDM) sekolah dan faktor budaya (kultur) masyarakat yang dilayani. Soliditas dan keterbukaan untuk saling mengoreksi (corectio fraterna) antarsemua SDM sekolah menjadi hal sangat penting untuk mencapai tujuan pendidikan. Kejujuran, perhatian, dan penghargaan terhadap guru menjadi kunci terbangunnya pendidikan pembebasan, yaitu pendidikan yang membebaskan manusia-manusia muda dari berbagai macam persoalan hidup yang melingkupinya. Pendidikan yang mengembalikan fungsi manusia menjadi manusia sehingga mereka terhindar dari berbagai bentuk penindasan, kebodohan, dan ketertinggalan (Freire, 2002).
Pendidikan pembebasan dapat diimplementasikan bila SDM sekolah – terutama penentu kebijakan - memiliki pola pikir, pola asuh, pola laku, dan tentu saja pola kebijakan yang membebaskan terbangunnya ruang-ruang kreativitas, komunikasi yang fair dan dialog partisipatif antarsemua stakeholders. Ini berarti segala bentuk irasionalitas pendidikan, seperti pemalsuan data, pembedaan-pembedaan perlakuan, pelecehan hakekat kemanusiaan, indoktrinasi atas nama otoritas, penyempitan (pembatasan) akses-akses teknologi (internet) atas nama kedisiplinan, atau pem-black list-an pada teman sekerja harus segera dihapuskan. Karena bentuk-bentuk ini adalah wujud konkrit betapa primitif, konservatifnya, dan tidak logis-bijaknya pola pikir, pola tindak, dan pola sikap kita dalam menyingkapi kritisnya analisis-evaluasi atas suatu kebijakan yang tidak diekspos kepada seluruh stakeholders.
Pendidikan pembebasan menfokuskan perhatiannya pada realitas sosial yang tidak adil, yang menindas, dan yang menyebabkan manusia mati sebelum waktunya (kematian prematur). Artinya pendidikan dalam segala bentuknya harus membebaskan manusia (anak didik) dari realitas sosial yang tidak adil, dan dengan demikian mereka dapat mengambil peran dan tanggungjawab untuk membebaskan masyarakatnya dari ketidakadilan, penindasan, dan kekerasan (fisik, psikologis).
Persoalannya adalah beranikah kita menumbuhkan dan mewadahi pemikiran-pemikiran pembebasan dalam praksis pembelajaran kita? Beranikah kita bersikap dan bertindak fair terhadap pertanyaan, respons, dan evaluasi-masukan dari team kerja kita? Beranikah kita menjadikan lembaga pendidikan ini sebagai tempat belajar mencintai orang lain, tempat belajar berbagi bersama orang lain, tempat belajar menghargai hak-hak orang lain, dan tempat mendewasakan diri kita? Sebab menurut Khrisnamurti (Butler-Bowdon, 2005: 181-183), ”pendidikan adalah tentang cara mencintai, cara hidup sederhana, cara membebaskan pikiran kita dari prasangka, takhyul, dan rasa takut.” Pendidikan harus mendewasakan manusia secara integral (holistik). Artinya manusia-manusia muda dibimbing, dibina, dibentuk, dikembangkan, dan diarahkan pada usaha penemuan diri yang sejati, diri yang otentik di tengah-tengah dunia yang kompleks. Manusia-manusia muda memiliki kepribadian yang seimbang. Ia menjadi manusia yang utuh. Seperti yang ditegaskan Zukav (Butler-Bowdon, 2005: 398) bahwa ”ketika kepribadian berada dalam kesimbangan total, Anda tidak bisa melihat di mana akhir kepribadian dan awal jiwa. Itulah manusia yang utuh.”
Namun, sangat disayangkan proses pendidikan kita nihil eksplorasi dan semata-mata menekankan pada pencapaian nilai raport, lulus ujian. Akibatnya, anak-anak didik kita menutup diri dari tipe-tipe kebenaran yang lain. Seperti yang dikatakan Zukav (Butler-Bowdon, 2005: 399) ”jika kita menjalani kehidupan kita hanya sebagai makhluk berpancaindra, hanya menerima kebenaran dari hal-hal yang bisa kita lihat, dengar, rasa, cium, atau sentuh, berarti kita menutup diri kita dari tipe-tipe kebenaran yang lain.”
Realitas ini menunjukkan bahwa pendidikan kita belum sepenuhnya menjadi media pembebasan bagi anak-anak didik untuk keluar dari keterpurukan penemuan diri dan kemiskinan aktualisasi diri. Mencuri, berkelahi, dan penyimpangan seksual adalah contoh real yang terjadi pada anak-anak kita. Ini sangat bertentangan dengan hakikat pendidikan, yaitu mengeksplorasi dan mengembangkan potensi anak didik secara integral-menyeluruh. Inilah pekerjaan rumah kita.

Tidak ada komentar: