Senin, 26 Januari 2009

MENJADI PELAYAN

Dalam kehidupan sehari-hari, judul tulisan ini sudah tidak asing lagi bagi kita. Mungkin hampir setiap hari kita menerima pelayanan. Misalnya dari suami, istri, anak, atau teman-teman kantor. Bahkan juga tidak jarang kita memberi pelayanan. Menjadi pelayan berarti memberikan pelayanan kepada setiap orang atau tamu yang datang ke tempat dimana kita menjadi pelayan. Misalnya pelayan toko akan memberikan pelayanan, seperti menyambut pembeli dengan ramah dan senyum, membantu mencarikan barang yang mau dibeli, membungkuskan barang yang dibeli, agar pembeli atau tamu yang datang merasa nyaman dan suatu saat kembali lagi ke toko tersebut. Pekerjaan seorang pelayan adalah melayani dengan seluruh dirinya. Integral. “Saya ada untuk melayani Anda.”
Menjadi pelayan berarti berani merendahkan dan memberikan diri bagi orang lain dengan penuh cinta kasih dan pengorbanan. Seperti Yesus yang rela membasuh kaki para rasul-Nya. Demikian juga Maria yang melayani Yesus ketika Yesus datang ke rumahnya. Seorang pelayan menyediakan diri untuk orang yang dilayani supaya yang dilayani memeroleh kebahagiaan (kepuasan). Begitu mulianya pekerjaan seorang pelayan.
Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana dengan kita sebagai murid-murid Kristus, sanggupkah kita menjadi pelayan bagi sesama kita, terutama yang berkekurangan? Adakah kita melayani dengan hati yang tertuju kepada kebesaran nama Tuhan, Allah di tengah-tengah dunia ini? Adakah kita melayani dengan hati yang tertuju pada pembebasan sesama yang menderita, tersingkir, dianiaya, dan dikucilkan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas mengingatkan kita bahwa menjadi murid-murid Yesus berarti juga harus menjadi pelayan-pelayan-Nya bagi setiap orang yang ada di sekitar kita. Alkitab menegaskan: ”Saudara-saudara, … layanilah seorang akan yang lain oleh kasih” (Gal 5:13). “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah” (1 Ptr 4:10).
Menjadi pelayan Kristus berarti melayani dengan seluruh diri. Melayani dengan hati yang tertuju kepada kebesaran dan kemuliaan nama Allah, bukan kebesaran dan kekayaan diri. Kita menjadi Pelayan, seperti Yesus yang “memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Mat 20:28). Pelayan yang mengosongkan diri demi kepenuhan dan keselamatan yang dilayani.
Mengosongkan diri berarti membiarkan diri ditarik, digerakan dan dipenuhi oleh kekuatan Allah. Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus dengan indah melukiskan hidup yang digerakan dan dipenuhi oleh kekuatan Allah. “Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (2 Kor 12:10). Dengan mengosongkan diri (Kenosis) berarti kita memersilahkan Allah menguasai dan mendayagunakan diri kita seutuhnya sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Dengan mengosongkan diri, seseorang berhasil mencapai puncak kepenuhan dirinya, yaitu mengalahkan keinginan-keinginan dirinya, seperti keangkuhan diri, kesombongan diri, egoisme, dan sifat ingin dihormati. Kita menjadi manusia yang digerakan oleh Roh. Rendah hati, suka menolong, jujur, tanggung jawab, empati, simpati, terbuka, tulus, dan mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan dirinya.
Yesus menegaskan: "Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya" (Mrk 9:35). Ini berarti menjadi pelayan berarti memberikan diri untuk kebaikan dan kebahagiaan orang yang dilayani. Pelayanan harus dilakukan secara total dan tanpa pamrih. Tanpa memandang siapa yang dilayani. Tanpa memedulikan harta atau imbalan. Sebab semua yang dilakukan dan dikerjakan semata-mata demi kemuliaan nama Tuhan (ad maioram Dei gloriam).
Seorang pelayan yang bersekutu (ditarik, digerakan, dan dipenuhi) dengan Allah, melayani dengan hati yang tertuju kepada Allah. Ia tidak memilih tempat pelayanan. Ia menerima dimana pun ia ditempatkan. Fokus pelayanannya adalah keselamatan orang yang dilayaninya. Bukan kehormatan, harga diri, harta, atau prestisenya. Dalam melayani, ia tidak bertanya: ”Apa yang saya peroleh atau dapat dari apa yang saya lakukan/kerjakan pada orang lain?” Tetapi ”Bagaimana Ia dapat membebaskan, menyelamatkan, dan membahagiakan orang-orang yang dilayaninya?” Fokus pelayanannya adalah kebutuhan dan kepentingan orang yang dilayani.
Untuk menjadi seorang pelayan Allah dibutuhkan minimal tiga hal, yaitu (1) keberanian untuk mengosongkan diri dari keangkuhan diri, keinginan untuk menerima lebih (harta), kesombongan diri, egoisme, dan sifat ingin dihormati; (2) keberanian untuk menjadikan umat (orang yang kita layani) sebagai fokus dari seluruh pelayanan kita. Umat (orang yang kita layani) adalah ibarat harta surgawi yang tidak akan pernah pudar oleh panas teriknya matahari atau oleh derasnya hujan dan ganasnya badai. Seorang pelayan harus menempatkan orang yang dilayaninya sebagai partner dalam mencapai kesempurnaan diri. (3) memiliki hati yang tertuju kepada kebesaran nama Allah. Bukan kebesaran diri, kekayaan diri, atau keuntungan diri. ”Kalau demikian apakah upahku? Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil” (1 Kor 9:18). ”Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya” (Kol 3:24) .

Selamat melayani.

Tidak ada komentar: