Senin, 22 Agustus 2011

PENYESALAN

Penyesalan selalu datang kemudian. Karena penyesalan pada hakikatnya merupakan akumulasi sikap dan tindakan kita yang jauh dari harapan Allah. Dan celakanya, penyesalan yang kemudian itu menjadi semacam “duri dalam daging” yang menusuk-nusuk dan melemahkan kita. Atau bahkan penyesalan kadang menjadikan kita linglung, stress berkepanjangan, atau bahkan mematikan kekuatan kita. Diri kita kehilangan nilai-nilai luhurnya. Lemah. Lumpuh. Gelap.
Pengalaman seperti ini lama saya geluti. Saya mencoba untuk melupakannya, tetapi sungguh sulit. Bahkan semakin saya berusaha untuk melupakannya, semakin intens pula dia menghampiri saya. Ibarat udara, semakin banyak saya buang saat bernafas, semakin banyak pula saya hirup kembali. Sungguh ia menjadi bagian dari proses hidup kita yang selalu hadir, hadir, dan hadir lagi.
Beberapa tahun lalu, dalam satu episode kehidupan saya, ketika saya merasa diri lebih pandai dan lebih sempurna dari adik saya yang bisu, saya selalu merendahkannya. Bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan sikap dan tindakan saya yang kasar kepadanya. Sungguh menyedihkan. Sampai Ibu saya sering marah kepada saya. “Jangan kamu sombong. Adikmu kan tidak tahu. Jangan dimarahi. Kasihan dia.”
Namun, celakanya, saya tidak menghiraukan sapaan Allah yang “mengalir” dari mulut Ibu saya. Saya tetap saja menjalankan aksi-aksi kasar sampai dua hari sebelum adik saya diambil dan dipeluk mesra oleh Allah (meninggal). Adik saya, entah kenapa bisa lepas dari pengawasan Ibu, meninggal karena tenggelam di kolam di samping rumah. Mungkin waktu itu ia ingin mencoba menyeberangi kolam tersebut. Karena kami (saya dan kakak) diperhatikan sering menyeberangi kolam itu untuk memberi makan malam pada ternak kami: sapi dan kerbau. Itu menjadi tugas saya dengan kakak.
Sayang, entah bagaimana proses kejadiannya, ia ditemukan Ibu di kolam sudah tidak tertolong lagi. Saat itu, Ibu menangis sejadi-jadinya. Sementara saya tenang-tenang saja. Bahkan dalam hati ada perasaan senang: “hilang sudah penggangguku.” Oh..Tuhan. Sungguh jahat dan kejamnya saya. Saya sungguh menyesal. Namun, penyesalan selalu tinggal penyesalan.
Penyesalan akan sikap dan tindakan saya itu menghiasi dan mewarnai keseharian hidup saya. Kadang saya berhenti dari segala aktivitas saya dan diam seribu bahasa. Hati sedih dan menangis, tetapi yang ditangisi telah berlalu. Saya mencoba untuk menenangkan diri dengan mengambil beberapa retret pribadi. Saya ingin membuka dan membuang jauh-jauh sejauh yang saya bisa pengalaman itu serta memohon bantuan Allah agar saya dikuatkan untuk mampu menerima pengalaman itu sebagai bagian dari pembelajaran.
Saya memulai usaha dengan berdoa mohon agar Roh Kudus berkenan hadir, masuk, diam, dan membimbing saya kepada yang Dia kehendaki. Setelah itu, saya membaca sabda Tuhan dan merenungkannya. Saya diam, diam, dan diam sambil menikmati heningnya malam dengan angin sepoi-sepoi sampai pada suatu titik, saya merinding. Tubuh saya gemetar. Bulu-bulu berdiri semua. Detak jantung semakin kencang. Sekujur tubuh saya seperti bintik-bintik.
Walaupun saya mengalami pengalaman itu, saya tetap diam, diam, dan diam. Tetapi, secara perlahan-lahan saya mulai menikmati makna sebuah penyesalan. Ia menghadirkan makna indah bagi saya. Ia membuka kekelaman hati saya untuk menerima dan memelajari apa pun yang terjadi dalam hidup ini: entah baik atau pun buruk. Karena semuanya membantu kita menjadi seperti sekarang ini. Nilai-nilai yang dihadirkan dan ditempakan dalam diri kita beranekaragam. Yang semuanya menjadi bagian pembentuk dan pendewasa diri kita sekarang. Kita menjadi lebih peduli dan cinta terhadap sesama yang berkekurangan. Kita menjadi lebih ramah dan bersahabat dengan orang lain apa pun itu kondisinya.
Penyesalan mendekatkan saya dengan Allah secara lebih pribadi. Ia menyinari mata hati kita sehingga kita dapat memandang setiap “yang lain” (the others) sebagai bagian dari hidup kita. Penyesalan menembus tembok hati kita sehingga kita dapat “menguyah” sabda Yesus: “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu” (Mat 7:1-2). Sabda Yesus ini semakin menegaskan kepada saya maksud Allah menjemput adik saya itu, yakni Allah tidak tega melihat anak yang dikasihi disakiti terus menerus. Allah menyelamatkan adik saya dari siksaan duniawi yang dilakukan oleh saudaranya sendiri. Allah lebih memilih mengambil anak-Nya yang kudus dari cengkeraman kekerasan dunia. Allah segera menyelamatkan anak-Nya sebelum jatuh dalam genggaman dunia yang angkuh dan sombong.
Sungguh luar biasa. Allah menggendong dan memayungi adik saya dengan kepakan sayap-Nya yang kudus dan mulia. Dan kini, saya bahagia karena Allah memuliakan adik saya di surga. Juga saya bahagia, karena Allah mencegah saya untuk terus-menerus berbuat dosa. Sungguh Allah kita adalah Allah yang hebat. Ia begitu dekat dan peduli dengan kita. Bahkan Ia rela mengosongkan diri, mengambil rupa seorang hamba dan menjadi manusia.

Terima kasih Bapa,
Engkau begitu baik dan peduli dengan hidupku,
Engkau begitu mengasihi dan mencintaiku,
Engkau juga begitu setia menjaga dan melindungiku,
Bapa,
Aku mohon, tariklah dan tegurlah hamba-Mu ini,
Bila hamba-Mu ini berpaling dari jalan-Mu,
Bila hamba-Mu melanggar perintah-Mu,
Bila hamba-Mu ini ingin menang sendiri,
Bila hamba-Mu ini merendahkan orang lain,
Bapa,
Jadikanlah hamba-Mu ini,
jalan bagi kemuliaan-Mu,
saluran bagi cinta-Mu yang tulus dan suci,
bejana bagi kabaikan-Mu,
sehingga dengan demikan,
hamba-Mu ini dapat terus memuji dan memuliakan nama-Mu,
dalam seluruh aktivitas hidup sehari-hari,
bersama dengan Putra-Mu dalam persekutuan dengan Roh Kudus,
kini dan sepanjang masa.
Amin.


Bukit rahmat, 11 Agustus 2011
Pukul 0.00 -02.30 wita

Tidak ada komentar: