Senin, 02 Februari 2009

Waktu dan Keheningan

Keriuhan dunia dengan berbagai macam asesorisnya, sedikit banyak memengaruhi pola pikir dan pola hidup manusia yang mengalaminya. Dalam banyak hal, manusia mulai kurang sabar dan selalu terburu-buru mengejar waktu yang selalu mendeadlinenya. Seakan-akan hidup manusia dikendalikan dan diatur oleh waktu, yang ada di luar dirinya. Time is my life. Waktu adalah hidupku. Bukan aku hidup mengatur waktu. Waktu menguasai hidup manusia. Manusia terperosok ke dalam perangkap waktu.
Pola kehidupan yang demikian menyebabkan terjadinya berbagai macam kerenggangan dalam ruang komunikasi antarmanusia, baik secara personal maupun secara komunal. Waktu perjumpaan menjadi semakin terbatas dan bahkan hampir tidak ada ruang untuk berguruau. Setiap kita mau bertemu seseorang, sebelumnya harus membuat janji. Kalau tidak, kedatangan kita ditolak. Dianggap tidak etis. Dianggap seenaknya. Inilah kenyataan yang menggeser bentuk relasi yang intim, yaitu face to face. Inilah kenyataan yang memasung kejujuran dan kepolosan perjumpaan, seperti yang dipraktikkan nenek moyang kita secara turun temurun.
Manusia terkungkung dalam perangkap waktu. Waktu menguasai hidup manusia. Hal ini menyebabkan terjadinya gap antarkelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Kelompok berkuasa selalu ingin mengontrol atau kalau perlu menguasai kelompok yang tidak berkuasa. Kelompok mayoritas selalu ingin menang sendiri, dan seterusnya.
Riuhnya persaingan itu membuat manusia melalaikan pencarian dirinya yang ke dalam (siapa aku) dan lebih menekankan pada pencarian yang keluar, seperti harta, ketenaran, atau kekuasaan. Kita cenderung melekatkan diri pada angan-angan yang ada di luar diri. Kita jarang atau bahkan tidak pernah berusaha mencari ketenangan ke dalam diri, sebagai pusat kekayaan hidup kita. Kita senantiasa menggantungkan hidup pada peredaran waktu yang semakin gila.
Apa yang dapat kita lakukan? Satu jawaban pasti yang dapat kita lakukan dengan mudah dan gratis adalah hening sejenak. Kita meluangkan waktu untuk mengosongkan diri dari rutinitas yang mendesak dan menghimpit. Kita meruangkan kejernihan hati untuk mendengar bisikan-bisikan Alam Semesta yang begitu Indah dan menarik.
Dalam keheningan manusia mencoba masuk ke dalam diri untuk menemukan khasanah-khasanah rohaniah yang menstimulasinya untuk terus berjuang menjalani berbagai macam pola-pola kehidupan yang semakin gila dan terpaku oleh sempitnya ruang dan waktu. Berjalan ke dalam diri mengandaikan bahwa kita memiliki keberanian untuk meneropong secara lebih dalam dan pribadi kekayaan diri kita yang selama ini dirampas oleh beban-beban pekerjaan atau harapan-harapan yang melampaui daya kemampuan kita. Berjalan ke dalam diri menuntun manusia pada kesadaran akan “siapa dirinya?” Manusia mampu mengalami dirinya secara total. Manusia menjadi semakin memahami dirinya sendiri dan dengan itu ia juga semakin memahami orang lain. Keheningan menjadikan manusia penuh dengan dirinya dan dengan alamnya. Manusia menyatu dengan diri dan lingkungannya.
Perjalanan ke dalam diri, - oleh para sufi – biasa disebut pencarian spiritualitas kehidupan dalam kebersamaan dengan “yang lain.” Aku ada karena kau ada. Aku adalah engkau, engkau adalah aku. Kosong adalah berisi, berisi adalah kosong. Aku adalah sama baiknya dengan “yang lain.” Aku dan “yang lain” adalah satu.
Oleh karena itu, pencarian spiritualitas yang sejati membutuhkan keheningan jiwa, keheningan pikiran, dan keheningan hati. Dengan keheningan itu, obor-obor kehidupan di dalam diri dapat ditemukan secara kasat mata. Keheningan adalah pintu masuk pada spiritualitas diri.

Tidak ada komentar: